4. bos pangkalan

1808 Words
| Lelaki sipit keturunan Tionghoa-Manado, Alex Korompis, ayah Alford itu menatap kesal anaknya sambil bertolak pinggang. "Kamu hidup mau ngaco terus? Nggak kasian sama si Mama, hah? Liat adek kamu udah gede, sebentar lagi lulus kedokteran. Lah kamu? Papa kuliahin  bukan buat jadi gembel!" hardik Alex. Alford hanya menunduk lesu. Malam naas bagi Alford, ternyata temannya kedapatan membawa pil biru, saat ada penggerebekan di kafe miliknya. Alford sebagai pemilik kafe terpaksa ikut diinterogasi polisi. Hal itu membuat Alex berang, karena berimbas pada nama baik keluarga dan marga. Seperti biasa, Alford selalu membawa Mer sebagai tameng kalau-kalau papanya itu kelewatan. "Jangan nyusahin si Mer mulu! Hidupnya udah susah dibikin susah terus. Harusnya malu sama si Mer, masih muda udah punya tekad, masih punya semangat. Kamu ngapain, coba? Serba nggak jelas. Apalagi nanti kalo udah kawin, mau dikasih makan apa anak istrimu!" racau Alex. "Ya nggak usah kawin aja, gampang." "Udah salah masih jawab!" Alford kembali tertunduk. Mer menepuk-nepuk bahu sang sahabat. Lalu Mama Alford, Wanda, ikut duduk di sebelah anaknya. "Makanya jangan dimanja, jadinya bikin susah!" desah laki-laki tua itu. "Udah, Pa. Nanti naik lagi darah tingginya. Dari tadi anak di ceramahin terus, mana betah Alford di sini." Wanda melerai keduanya walau sejak tadi yang hanya Alex yang buka suara. "Biar mikir Ma, dia bukan anak SMA lagi. Mer mana laporannya?" Alex mengalihkan atensinya. "Oh, ini Om." Mer maju memberikan buku catatan yang biasa Mer bawa dan mendata berapa tabung gas yang keluar. Tugasnya mencatat tabung-tabung yang keluar beserta nama pelanggannya. "Jadi ada tambahan tiga pelanggan ya, Mer?" "Iya Om. Ya, mereka dari toko-toko kecil yang cuma beli 10 sampai 15 tabung, Om." Mer lalu menjelaskan dengan rinci pada Alex. Lelaki tua itu manggut-manggut. "Prospeknya gimana?" "Kan sekarang orang-orang pada beralih ke tabung gas yang kecil Om. Kalo untuk prospek bagus, orang-orang komplek juga sekarang belinya tabung kecil. Cuma masalahnya di gudang ada sekitar 50 tabung gas 12 kilo. Kita udah hubungi depo juga sih, terus jawabannya mereka nggak nerima kita return atau ganti tabung." Alex manggut-manggut lagi,"Ya udah, urusan ke depo biar Om sama Yayan ke sana. Kemarin kamu nggak ke kafe?" "Nggak Om, minta libur sehari ada urusan," cengur Mer. "Kamu jangan terlalu kerja keras, kasian, punya kamu tinggal sebelah.  Mama akan selalu berutang nyawa sama kamu, Mer." Wanda mengusap kepala Mer dan gadis itu tertunduk. "Mama Wanda bisa aja... Kan aku juga butuh Ma. Daripada dikejar-kejar mulu, capek!" sahut Mer diselingi kekehan kecil.  "Kalo si Alf macam-macam bilang sama Om, Mer." "Siap Om!" Alford menatap tajam ke arahnya yang dibalas dengan cengiran. "Yan! Kita sekalian ke depo, bawa bon yang kemaren," kata Alex pada salah satu asistennya. "Ya Koh," Yayan keluar setelah mengambil kunci mobil. "Mer, sekalian Om antar pulang. Kan lewat ke rusun nih," ajak Alex. "Nggak apa-apa, Om. Nanti aja," tolak Mer. "Nanti sama Alford, Pa. Kalo Papa yang nganterin si Mer ribut lagi sama warga rusun," cetus Alford. Mer melotot, memperingatkan lelaki itu. "Kenapa Mer?" tanya Wanda. "Pokoknya nggak enak aja, Ma. Tetangganya pada rese!" jawab Alford. "Oh, pantesan si Cici toko material bilang katanya Papa punya simpenan. Ini toh masalahnya? Ya ampun, orang bikin gosip sama fitnah suka seenaknya," ujar Wanda. "Terus Mama bilang apa?" "Ya Mama nggak bilang apa-apa, orang nggak tahu kalo yang diomongin itu si Mer." Alex geleng-geleng kepala lalu mengembuskan napas. "Sabar ya, Mer. Orang baik mah emang suka digituin. Ya udah nanti kamu dianter Alford aja," Alex bangkit dari duduknya. "Nih, gajian kamu hari ini." "Makasih Om," Mer menerima amplop itu dengan girang. Seperginya Alex dan Yayan, Mer pun ikut pamit. "Tere bentar lagi pulang loh, Mer." "Iya Ma, nanti ajalah ketemuannya. Masih banyak kerjaan. Salam aja buat Tere," Mer pun pamit, Alford menstater motornya. "Tere jadi ambil psikologi?" tanya Mer. "Jadilah! Itu kan cita-citanya sejak SMP. Papa mah gitu, anak udah jadi dokter masih nggak sreg juga karena ambil psikologi. Papa kan pengennya Tere ambil penyakit dalam," cerocos Alford. Mer cuma mengangguk-angguk mendengar ocehan Alford. Mer jarang bertemu Tere akhir-akhir ini di masa sibuknya seperti sekarang. Biasanya dulu mereka masih sempat hangnout bertiga. Tere atau Theresia adalah adik kesayangan Alford. Jarak rumah orangtua Alford dan rusun memang tidak jauh. Pangkalannya pun terlihat dari tempat Mer berdiri. "Thanks ya Bro, tumpangannya. Udah sore juga, anak-anak biasanya nyariin." Mer melambai ke arah Alford. Alford cukup mengangguk. Namun, ia merasa penasaran kira-kira apa lagi yang dikatakan warga rusun ini pada Mer. "Ya bapaknya ya anaknya, diembat juga Bo... Hehehe..." bisik Uci. "Biarin dong, yang penting duitnya ... Bapaknya Bos pangakalan gas, anaknya punya kafe. Udah, tajir pasti!  Apalagi denger-denger ya istri si Koko lagi sakit tuh, pantesan aja ngelirik dia. Hadeuh cewek  jaman now matree semua, heran deh!" cerocos Dora. "Eh, Tante Dora. Pantesan ya situ namanya Do.Ra., kepo-an sih! Kenapa? Sirik jangan dipiara, Tanteeee... Ntar keriputnya nambah, botox sama detox mahal, Tante mending ke bengkel aja, benerin otak Tante yang sengklek!" cetus Mer berani. "Hehh... berani ya ngata-ngatain? Awas kamu!" Dora melotot "Kagak takut, wlee!" cibir gadis itu sambil melenggang ke lantai tiga. Alford yang mendengar hanya geleng-geleng kepala. Ck, cewek itu... * Martinah tengah menyetrika baju seragam anak-anaknya saat Mer selesai mandi. "Mer, Ibu denger omongan warga rusun--" "Bu, lain kali jangan ditanggapi. Biarin aja, capek denger gosip nggak mutu kayak gitu." Mer harus menyela Martinah, kalau tidak pasti bakal panjang. "Kamu bener simpenannya Koh Alex, Bos pangkalan itu?" Mer celingukan, tak ingin ketiga adiknya mendengar hal buruk tentangnya. "Lalu Ibu percaya?" Martinah diam, lalu,"Kamu selalu dapet uang tiap hari. Ya gimana Ibu nggak curiga? Kamu bawa makanan enak-enak buat adik-adik kamu," "Aku kerja Bu. Tenang aja, kerjaku halal. Nggak ada itu jual diri! Daripada jadi l***e, aku memilih mati Bu. Ingat itu," setelah mengatakan itu Mer pergi ke kamar Dika dan Desta. Dika ternyata sedang mengerjakan tugas sekolahnya. "Dik, ini uang sangu buat besok, bagi tiga. Hati-hati nyimpennya nanti ketahuan Bapak. Kalo Mbak kasih ke Ibu, yang ada habis." Dika mengangguk sambil menerima uang itu. Sedang Desta sudah tertidur. "Mbak, Desta katanya mau ikut ekskul. Boleh nggak?" "Ekskul apa?" "Futsal," Mer mengangguk,"Ya, boleh. Dik, selama Mbak kerja, tolong ya jagain adik-adik dari Bapak." "Iya, Mbak. Mbak nginep di kosan Mbak Hana lagi?" tanya Dika. Mer mengerjap, melirik jam dinding yang tampaknya sudah ngaco. Lalu melirik ponselnya menunjukkan pukul sembilan malam. "Kalo beresnya cepet ya Mbak pulang cepetlah. Bentar lagi Mbak pergi," Mer mengusak kepala adiknya. "Sekolah yang rajin, maafin Mbak nggak bisa ngurus kalian." Dika tersenyum simpul,"Apa sih Mbak? Kan Mbak yang nyari duit, itu juga ngurus kan?" Mer balas senyum. Dia hanya ingin bersama keluarganya. Cita-citanya menyekolahkan tiga adiknya sampai kuliah. Titik. "Doain Mbak, biar dapet duit banyak buat kalian." "Aku selalu doain Mbak pulang dengan selamat," balas Dika. Malam ini Hana mengabari kalau dia ada job di hotel. Namun gadis itu belum mengirim lokasi hotelnya. Maklum, jaringan pasar sekelas mucikari Markus adalah  mencakup seluruh Jakarta, bahkan meluas sampai Bogor. Mer cukup penasaran dengan Markus-Markus ini. Namun sayangnya dia belum punya kesempatan menyelidiki lebih dalam lagi. Selama ini cukup agar Hana terlindungi. "Kamu mau ke mana malam-malam begini?" tanya Martinah, melihat Mer dengan pakaian ala lelaki. "Kerja, Bu." Martinah menatapnya penuh telisik, matanya seolah alat pindai, memperhatikan sedetail mungkin. Sampai Mer jengah dibuatnya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, karena Martinah ibunya. Ia berhak berbuat seperti itu, minimal karena merasa khawatir pada anak gadisnya. "Kerja apa toh?" "Bu, kerjaanku banyak. Serabutan. Aku udah pernah cerita kan sama Ibu?" Mer memakai sepatu conversenya. "Nggak usah dipikirin Bu, yang penting aku kerja halal. Cukup Ibu doain aku. Aku pergi, Bu." Mer pamit. Ketika membuka pintu, dia mulai mengantisipasi akan ocehan-ocehan warga rusun yang lagi-lagi pastinya mendapat sambutan pedas. Pertama, siulan menggoda. Mer tetap berjalan, dia tak begitu peduli pada bocah-bocah baru gede yang senengnya mengintip orang mandi  atau nonton film porno berjamaah di unit Deden. Orang-orang dewasa tak bertanggung-jawab. Anak-anak sebesar itu dicekoki hal-hal buruk. Bagaimana mau maju dan berakhlak terpuji, bila mereka di cekoki paha dan d**a dan dikelabui manisnya dunia? Bila mengingat itu Mer akan selalu over protect terhadap adik-adiknya. Khawatir hal buruk yang  pernah menimpa dirinya, terulang pada adik-adiknya. Lalu beberapa bapak-bapak masih kumpul di halaman rusun. Sepertinya  berkumpul untuk meronda. Meronda? Mer mencibir dalam hati. Ronda, yang ada mereka main gaple atau kartu remi sambil judi kecil-kecilan. Maling anteng, yang judi anteng, yang maksiat pun anteng. "Eh, ada Mer..." sapa Pak De'. "Malam Pak. Permisi," sahut Mer. "Kerja Mer?" "Iya Pak," "Kerja apa toh?" "Ngumpulin duit, Pak." "Lah iya, kalo kerja ngumpulin duit, masa ngumpulin tuyul?" Pak De' memelintir sebelah kumisnya. "Nah itu Pak, saya kerja ngumpulin tuyulnya. Permisi ya Pak, udah malam ini. Mari..." Mer bergegas, dia menjawab hanya sebagai basa-basi saja karena Pak De' termasuk orang berpengaruh di rusun. Ponselnya berdenting. Hana mengirim lokasi hotelnya. Dia lalu memesan ojek online untuk mengantarnya ke sana. Hana memang  meminta jasanya untuk melindungi dirinya. Tepatnya Mer yang mengajukan diri. Walaupun ilmu bela dirinya masih mentah, tapi setidaknya jurus-jurusnya cukup untuk melumpuhkan orang biasa yang berniat jahat. Lumayan... Tiba di hotel yang dituju, Mer segera masuk dan menunggu di lobby. Seorang sekuriti sampai menanyainya. "Temen saya lagi sebentar lagi turun kok, Pak." Mer memang harus pintar bersilat lidah pihak keamanan seperti mereka. Lima menit. Lebih lima menit dari waktu yang dijanjikan Hana. Gadis itu sudah mulai resah, maka ia bangkit dari duduknya. Namun kegelisahannya berakhir saat Hana keluar dari lift dengan memakai scarf yang melingkari lehernya. Mer lagi-lagi curiga. "Si Markus sengaja ngumpanin lo ke psikopat, apa?!" cetusnya marah. "Udah, Mer. Yuk pulang," tarik Hana. "Ini yang kesekian kalinya, Na. Gila! Yang bener aja," dengkusnya kesal. "Sstt... ada anak buah Markus. Lo jangan macem-macem, Mer. Gue  nggak mau lo kena," mohon Hana. Demi melihat kedua mata nanar Hana, Mer patuh untuk tak macam-macam. "Gue sesekali pengen ketemu bos lo yang gila itu," ucapnya penuh penekanan. "Jangan, Mer. Gue malah nggak mau banget lo ketemu sama dia," Hana menggeleng panik. "Oke, oke. Nanti kita ke apotik dulu," ditariknya tangan gadis yang lelah itu keluar dari hotel. "Kayaknya sebelum gue ketemu Markus, gue harus habisi Si Kribo dulu. Ck," decaknya. "Makasih lo mau nemenin gue pulang, Mer." Hana menggenggam tangan Mer yang dingin. Mereka berjalan beriringan, bercerita sepanjang jalan, sambil mencari sebuah apotik yang masih buka. "Lo dandan kayak gini persis cowok banget, Mer..." komentar Hana. "Lah, tiap jemput lo emang gue dandan gimana? Gue dandan manis, bisa-bisa malah gue yang laku..." kilah Mer seraya terkekeh. Hana mendorong bahunya. Akhirnya mereka menemukan apotik. "Lo tunggu di sini," Mer masuk untuk membeli salep obat luka, plester, parasetamol dan perban untuk persediaan. Ketika ia keluar Hana tengah diganggu beberapa lelaki berandalan. "Hei, dia lagi sakit jangan diganggu. Tolong," cetusnya. "Aduh Mbak, sakit ya? Jam segini dari mana?" "Biasanya kalo pulang jam segini cewek burtok nih atau pereks, Bro!" "Tolong ya, bayangin kalo kita ini adek lo, kakak lo atau pacar lo, diganggu kayak gini, mau kalian?" sembur Mer. |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD