5. wonder woman

1868 Words
| "Tolong ya, bayangin kalo kita ini adek lo, kakak lo atau pacar lo, diganggu kayak gini, mau kalian?" sembur Mer. "Oh ya? Kalian tentu aja beda sama mereka," salah satunya maju dan melepas scarf yang menutupi leher Hana.  Begitu terlepas, keempat orang itu terbelalak. Terlebih Mer. Tangannya terulur pada luka memar melingkar di leher Hana, semacam bekas  jeratan. Di bahunya ada bekas gigitan bahkan ada darah kering di sekitarnya.  "Mbak dapet tamu vampir?" kerjap anak-anak lelaki itu.  "Kalian pikir pelanggan kami orang-orang baik? Lebih kejam dan buas dari hewan!" sarkas Mer datar.  "Maaf ya Mbak, kita bakal jagain Mbak. Tenang aja, kami tadi cuma iseng aja kok."  "Ya udah, kami mau pulang. Tolong panggilin taksi dong,"  "Siap, Mbak."  Hana menoleh ke arah Mer. Andai tak ada gadis itu, entahlah. Andai Mer tak menguatkannya, dirinya pasti sudah menyerah berkalang tanah. Anak-anak itu sudah mendapat taksi.  "Makasih ya, heh, pada pulang nanti kena jaring polisi loh!" peringat Mer pada anak-anak itu.  "Iya, Mbak! Hati-hati ..." Sang sopir taksi melirik lewat spion,"Kenal anak-anak tadi, Mbak? Mereka hobi tawuran loh," "Nggak kenal sih,  kenapa gitu Pak?" "Yaaa secara mereka terkenal kalo di daerah sini mah, suka tawuran, suka bikin resah," ulas Pak sopir. Mer tersenyum,"Namanya juga anak-anak yang lagi cari jati diri, Pak. Banyak faktor yang bikin mereka kayak gitu, nggak bisa nyalahin mereka aja. Pendidikan, pola asuh orang tua, pengayaan ilmu, pendampingan, rasa kasih sayang, sikap empati simpati mulai tergerus antar sesama. Ya mereka itu mencontoh kita yang bersikap egois,"  "Eh, maaf Neng. Kirain Eneng laki, hehehe..."sela Pak sopir.  "Nggak apa-apa, Pak. Saya lebih aman kayak gini, syukurlah kalo Bapak ngira saya cowok."  "Istirahat, Na. Lo butuh tidur," ucap Mer. Lalu Hana menyandarkan kepalanya di bahu Mer. Seketika si Pak Sopir mendelik, dalam sekejap ia berasumsi lain terhadap dua perempuan yang naik taksinya. Walau Mer tahu apa yang dipikirkan laki-laki paruh baya itu, tapi ia tak peduli. Toh, ia terbiasa dengan asumsi bahkan cap buruk dari  warga rusun.  Perjalanan setengah jam itu cukup membuat tubuh Hana rileks. Nyatanya sudah sampai mulut gang, tapi perempuan itu masih terlelap. "Bangun, Na. Dah sampe nih," Mer nepuk-nepuk pipi Hana.  "Hana..."  Mata Hana mengerjap, saat meregangkan tubuh, leher dan bahunya terasa perih.  "Dah, ntar gue obatin. Lain kali lo bilang sama Markus kalo lo nggak mau layanin si psikopat itu lagi," kata Mer sambil membayar ongkos taksi.  "Makasih Pak," "Iya Neng,"  Mereka lalu berjalan beriringan. Jalanan gang itu telah sepi, apalagi sehabis hujan sore udara biasanya akan  lebih dingin. Pastinya orang akan lebih memilih menghangatkan diri di rumah berselimut tebal di atas kasur yang empuk.  "Lo belum makan?" tanya Mer. Hana menggeleng, dia memilih diam, seluruh tubuhnya sakit. Dia tak paham mengapa dirinya kerap mendapat pelanggan yang kejam, yang aneh-aneh.  "Apa perlu gue ngomong sama Markus?"  "Mer, jangan cari mati lo!" langkahnya terhenti.  "Ya senggaknya dia tahu kalo lo dalam bahaya, kalo lo bisa mati gini mulu." cetusnya.  "Lo nggak tahu kayak apa dan sekejam apa Markus," imbuh Hana.  "Yang pasti dia manusia, masih bisa mati, masih berdarah. Kecuali dia makhluk immortal," debat Mer tak mau kalah. "Merr..." "Udah, ayo pulang. Makin dingin nih!"  Mer kembali menarik tangan Hana.  "Hei, hei... Baru pulang?" tiga laki-laki menghadang mereka.  "Primadona kita baru pulang, berapa laki-laki yang kau layani malam ini, Cantik?" seorang dari mereka menjawil dagu Hana. Mer tahu lelaki itu, yang tempo hari ia kata-katai. Lelaki beristri yang gemar mengumbar nafsu.  "Ini udah malam," putus Mer sambil terus menarik Hana.  "Gue nggak ngomong sama lo ya, bocah!" teunjuknya mendorong bahu Mer.  "Ayolah, primadona kalian ini lagi sakit. Bisa minggir?" Mer memandang ketiganya.  Ketiga lelaki itu cengengesan.  "Wah, lagi sakit? Jebol? Hahaha.... Tapi kalo sama aku, kamu nggak bakalan kesakitan, aku akan memperlakukanmu dengan lembut," kekehnya sambil mengerling. Hana terlihat lelah dan tubuhnya mulai demam.  "Tolong, apa pernah lo mikir kalo seandainya yang ngalamin ini semua anak lo, adik lo, bahkan istri lo, hah? Hana lagi sakit! Dia bukan hewan, setidaknya itu nyantol di otak lo yang cuma seuprit itu!" geram gadis itu yang masih menjadi tameng Hana. "Apa lo bilang? Anak gue, adik gue, istri gue?" lelaki itu menunjuk dirinya.  "Ya, atau senggaknya, biarin Hana sehat dulu, dia udah ngalamin hari yang buruk." Sedang Mer semakin cemas dengan keadaan Hana.  "Masalahnya aku belum mencecap primadona kita ini," tolaknya tak mau tahu.  Mer bisa merasakan tubuh Hana yang menggigil. Kalau mereka lari itu adalah hal yang tak mungkin. Hana dalam keadaan tak baik-baik saja. Mer berdoa dalam hati agar mereka lolos dari setan jejadian ini.  Hana mengaduh seiring remasan tangannya di lengan Mer.  "Na, lo kenapa?"  "P-perutku Mer..." desahnya dengan tubuh merosot di pelukan Mer. "Ya Allah, d-darah?! Bilang kamu diapain sama setan itu, Na? Hana!" Mer menepuk-nepuk pipi Hana. Ketiga lelaki itu terdiam hanya memandangi dua perempuan yang tengah kepayahan.  "Lo! Lo masih mau menggagahi perempuan sakit ini?! Hah?!"pekik Mer lantang. "Aku nggak ikutan, Bang! Cabut!" dua lainnya sudah melarikan diri terbirit-b***t.  "Bukannya lo mau nidurin dia? Tidurin, ayo tidurin! Siapa tahu sekalian lo ikut meregang nyawa!" tantang Mer. Lelaki itu bergidik.  Sungguh, dalam keadaan seperti itu Mer mencecar layaknya orang gila.  "Gendong dia! Kita bawa ke rumah sakit. Cepat!" Mata Mer melotot marah.  Lelaki itu mau tak mau menggendong Hana sampai mulut gang. Di sana ada beberapa orang yang Mer kenal. "Mbak Hana kenapa?"  "Diperkosa!" jawab Mer asal. "Siapa yang perkosa?"  "Udah, lo ada mobil nggak?" "Ada, bentar." Mer mengenal anak lelaki yang suka nongkrong di komplek kontrakan para p*****r itu. Namanya Doni kalau Mer tak salah ingat. Bukan mobil Mercedes melainkan sebuah mobil angkot. Ya, Doni itu sopir angkot yang nyambi mencarikan tamu bagi para p*****r di komplek itu.  Sedangkan lelaki yang sejak tadi dengan jumawanya hendak meniduri Hana, bagaikan kapas yang terkena air. Atau istilahnya tak bernyawa. Sebab sudah dari tadi juga, dia hanya diam seribu bahasa, kerjanya memandangi Hana yang lemas, pucat dengan darah mengucur membasahi paha juga betisnya.  "Mbak Hana diperkosa pelanggan, Mer?" tanya Doni. "Bukan diperkosa lagi, disiksa macam binatang. Tuh buktinya! Kita emang kotoran tapi apa masih kurang? Apa harus disiksa kayak gini? Sakit emang bos kalian itu, Don!" maki Mer berapi.  "Gue nggak pernah paham sama makhluk berbatang macam kalian. Kalian pengen apa sih? Dikasih yang enak, macem-macem. Dikasih yang halal nyari yang haram. Nggak tahu diri! Kalian mandang p***n kayak apaan, coba, gue pengen tahu, Don?" cecar Mer, sepertinya kepalanya sudah berasap sejak tadi.  Doni, sang sopir angkot yang ditanya, malah bungkam. Dia tak tahu harus menjawab apa. Dan sepertinya segala pertanyaan yang terlontar dari bibir Mer itu tak butuh jawaban.  "Ada yang udah dihalalin masih komplen, bukannya bersyukur! Nggak sadar apa  kita yang disalahin bawa penyakit, padahal mereka yang celup sana-celup sini, nggak tahu udah nularin penyakit sama anak istrinya di rumah. Dasar bego!" lagi, Mer terus mencemooh tiada henti.  "Mer, udah sampe." Doni menghentikan angkotnya di depan lobby IGD.  Mer segera turun dan membantu lelaki yang satunya membopong Hana. Untunglah suster sigap membawa brankar. Seorang suster memandang ke arah Mer dan dua lelaki yang ikut mendorong brankar. Sepertinya dia paham apa yang terjadi pada Hana.  "Salah satu dari kalian nanti isi data pasien," titahnya. "Iya Sus," sahut Mer masih menatap panik.  Hana dibawa ke dalam untuk diberi pertolongan. Kini Mer merasa plong walau masih sesak di dalam dadanya. Ia tahu pihak rumah sakit akan berkepanjangan bertanya ini-itu padanya tentang ikhwal kejadian yang menimpa sahabatnya itu.  Sedang ia tak tahu kronologisnya. Entah si lelaki itu apa orang yang sama yang memesannya tempo hari.  Lalu, Mer teringat pada Jayusman. Segera ia menelpon lelaki gondrong dan tampan itu. Semoga si gondrong mau membantu. "Jay, tolongin gue..." * Benar saja, maksud hati Mer ingin tak jadi masalah, makanya ia menelpon dan minta tolong pada Jayusman. Ternyata, laki-laki itu membuatnya harus berhadapan dengan Iskandar nantinya, komandan intelijen hanya untuk mengurusi masalah Hana!  "Mer, temen lo artinya dia juga temen gue, kali!" semburnya saat Mer tak setuju harus membawa masalah tersebut ke ranah hukum. Walaupun ia baru bertemu Hana baru kali ini.  "Iya, makanya karena temen gue juga, Jojon! Mikir kek, Hana tuh siapa, kerjanya apa. Yang ada gue sama Hana habis, Jay! Gue tahu se-kredibel apa tuh Pak Iskandar. Kalo cuma buat lapor ke beliau mah gue juga bisa. Tapi gue lebih mikir soal keselamatan Hana, gue sama keluarga gue!" dengus  Mer.  "Ya ampun, kalian masih aja bahas yang kemarenan. Guenya juga udah baikan," sela Hana merasa tak enak sama tetangga bed sebelah. Mereka dapat kelas dua, tadinya Mer ngotot agar Hana di rawat di kelas satu. Tapi Hana melarangnya. Katanya sayang duitnya, mending buat nambah-nambah  tabungan masa depan. Lelaki yang satunya lagi tampak cemberut, kesal karena tak diberitahu tentang musibah tersebut.  Terlebih lagi saat ia mau membantu agar temannya dirawat di ruang VIP, tapi gadis itu menolak.  "Beneran deh gue pengen cincang tuh makhluk yang udah bikin lo kayak gini, Na. Gue doain, anunya dia borokan dan harus diamputasi. Dasar remahnya Dajjal!"  Alford memang hampir sama dengan Mer, sebelas dua belas kalau disuruh mencaci-maki pasti nomer wahid. Sayang, tak ada lomba caci-maki di sini. Jayusman menoleh, berbalik menatap lelaki setengah jadi di matanya itu. Jayusman dan Alford memang tak pernah akur. Jadi, jangan berharap mereka bisa pergi bersama.  Mer melirik jam tangannya. Hana bilang kalau Bos Markus akan datang mengunjunginya. Saat itu bahkan Mer yang menerima telponnya, tapi si Bos kukuh ingin bicara secara langsung dengan Hana. Dan sekarang Mer cukup was-was. Apalagi ada dua teman lainnya, Jayusman dan Alford. Seharusnya Mer tak perlu was-was atau takut karena ada mereka berdua. Masalahnya tak sesederhana itu. Ia tahu sepak terjang seorang Bos Markus dari Hana seperti apa.  Mengetahui Hana memiliki teman sepertinya saja, lelaki yang kata orang sangat kejam itu, over protect terhadap Hana tak main-main.  Apalagi tahu soal duo jantan itu. Mer menggeleng pasti, kedua lelaki itu harus segera enyah dari sana.  "Sebentar lagi jam besuk udah abis, Jay. Lo nggak ngeliput? Lo juga Alf, kafe bentar lagi buka tuh,"  alih Mer.  "Lo kenapa sih demen banget nyuruh gue pergi? Ada apaan? Hayo bilang!" insting Jayusman sebagai wartawan dalam mode on ternyata.  "Kagak ada, Jay." Cicitnya.  "Boong banget sih lo," timpal Alford.  "Tar deh gue cerita, oke? Kalo sekarang bukan waktunya. Itu pun kalo kalian sayang sama Hana," elak Mer. Pokoknya mereka harus segera pergi. Kalau tidak... "Tapi Mer--" "Please..." Mer menangkupkan dua tangannya di d**a.  Jayusman mengembuskan napasnya, lalu mengangguk. Ia paham sedikitnya tentang pemilik kehidupan dunia malam. Hanya saja lelaki itu khawatir pada dua gadis yang justru menyuruhnya pergi.  Emang mereka wonder woman gitu? Namun, tak urung mereka berdua patuh untuk segera angkat kaki dari sana walau benar-benar dibuat penasaran. Mereka berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada kedua gadis itu. Kalau saja sampai terjadi, Jayusman yang akan mati menyesal.  "Kalo ada apa-apa telpon gue, Mer." Pesannya pada gadis tomboy itu.  "Sip kakanda!"  Alford mencibir dan berlagak seperti ingin muntah. Akhirnya kedua lelaki itu keluar dan Mer harap mereka benar-benar pulang.  Selang beberapa lama kemudian, yang kata Hana Bos Markus itu datang.  "Apa pun yang akan kalian lakukan baiknya pikirkan dulu!" ungkap lelaki bertubuh tinggi, memiliki mata bulat, dan berkulit gelap itu saat memasuki kamar inap.  Untuk sesaat tak ada yang menyangka bahwa dialah Markus, si Bos tegas, kejam dan tak ada ampun. Dibalik wajahnya yang cute dan innocent bak malaikat, rasanya tak mungkin.  |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD