6. Angetin, sini!

1377 Words
| "Aku sudah bilang jangan sampai ada kesalahan!" tekan Markus, memandang  perempuan yang terbaring lemas. "Pelanggan itu yang membuat Hana sampai begini, B-bos." Mer mencoba menyela. Hana mencekal tangan Mer, tanda agar gadis itu tak gegabah dan asal menyahut. Satu sahutan itu mampu membuat atensi Markus teralihkan. Lalu menatap gadis yang sejak tadi berdiri tak jauh dari Hana. Lelaki itu seolah menelisik, memindai Mer dari ujung rambut hingga kaki. "Nanti kalau kau sudah sembuh, bawa dia ke salon," perintahnya pada Hana. "Bos? Dia nggak bisa," cicit Hana. "Ohya? Itung-itung untuk mengganti kerugianku karena kau pastinya akan lama terbaring di sini. Masa dia nggak bisa?" Markus mengitari bed Hana dengan tatap intens ke arah Mer. "Dia s-sakit, Bos. Dia berbeda denganku," deham Hana, berusaha senetral mungkin. Sungguh, dia tak ingin Mer seperti dirinya. "Sakit? Dia terlihat sehat dan menjual," kukuh Markus makin dalam menatapnya. "Dia penyuka sejenis, Bos!" dusta Hana cepat. "Wow! Dia pacarmu? Dia yang suka diomongin si Kribo?" selidik Markus ingin tahu. Hana mengangguk lemah, dia tahu Mer keberatan di labeli sesuatu yang bukan labelnya. Oh, tenang saja Hana melakukan semua ini demi kebaikan Mer. Markus tak suka gadis-gadis penyuka sejenis. Hana hanya mencoba  menjauhkan Mer dari lelaki bejad yang jadi bosnya. Mer tak tahu sejak kapan lelaki itu sudah berada di hadapannya dan tengah menatapnya lekat tak berkedip. Menilik gesturnya Mer berasumsi lelaki itu akan melakukan hal buruk padanya. Tangannya terulur, menyusuri wajah Mer dengan jemarinya. Mer melotot, dia mundur mengambil jarak dari sang marabahaya. Lalu Markus terkekeh-kekeh,"Masih ternyata..." Rahang Mer berkedut, kedua tangannya mengepal. Maksudnya apa? "Pokoknya bawa dia nyalon, aku tak peduli dia bencong sekalipun!" hentak Markus bergegas pergi. Hana merngernyit, apa maksud bosnya? Hal yang tak mungkin Hana lakukan. Mer menatap Hana dengan mimik bertanya. "Ini yang kutakutkan, Mer... Bos Markus akan menyuruhmu bahkan memaksamu kayak aku," lirihnya. Mer tersenyum remeh,"Kebetulan." Lalu Mer gegas keluar menyusul Markus, panggilan Hana tak digubrisnya. Enak saja main perintah, dia bukan budaknya. Begitu punggung lelaki itu dapat ia temukan, Mer mengejarnya. "Pak Markus! Tunggu!" serunya. Dia tak peduli beberapa orang yang memandangnya merasa terganggu. "Pak Markus!" teriakannya walau tak keras tapi mampu menghentikan langkah Markus. Lelaki yang 11-12 tahun lebih tua dari darinya itu berbalik dengan kerutan yang dalam di dahinya. Mer menatap tajam dan berani pada lelaki itu. "Untuk apa aku harus ke salon? Aku bukan p***n! Aku juga punya pekerjaan. Jangan seret sembarang orang untuk masuk dalam pusaran dosa Anda, Pak Markus." Sanggah Mer  seraya maju beberapa langkah. "Hm... Dosa? Kamu tahu, kamu juga bukan orang suci," kilah Markus merasa menang. "Nggak sebesar dosa Anda tentunya," balas Mer semakin bertekad menundukkan Markus. "Terserah, pokoknya begitu Hana-mu itu sembuh, ke salonlah. Nanti aku kirim Kribo untuk mengawalmu," tandas Markus. Sepertinya lelaki itu tak mau dibantah lagi. Mampus! Itu artinya sama dengan hidupnya tak akan sebebas dulu. Sama saja artinya dengan ia harus terus memberi dan memberi jatah pada Suroso, hanya saja sekarang ada sosok lain yang sama meminta jatah dan entah apa. Sama-sama memuakkan!  Mer benar-benar tak suka suasana begini. Ia membenci tekanan, paksaan, hinaan. Sudah cukup sejak sepuluh tahun lalu. Kenapa ia harus mengalami hal serupa?  "Katakan, untuk apa? Aku bukan pelacurmu, Bos Markus!" ketus Mer. "Menemaniku minum," sahutnya santai. Mer menyeringai,"Maaf, Anda bukan level saya." "Kita liat saja nanti," Markus mencolek ujung hidung Mer dan berlalu. "Siapa dia?" Greb. Gubrak! Mer langsung membanting orang yang merangkulnya secara tiba-tiba itu. "Aaaa!" "Pinggang gue..." "Hah? Jay?" * Rasanya kalau Mer itu cowok, Jayusman akan mengajaknya berantem. Itulah sepertinya yang Jayusman rasakan sebagai pembalasan dari sakit pinggangnya saat dibanting tadi. "Sejak kapan lo latihan bela diri?" tanya Jayusman. "Udah lama. Perisai diri, kita sebagai cewek butuh itu. Nggak selamanya cowok-cowok lindungi kita, justru dari merekalah kita mendapat masalah." Mer menyilangkan kedua tangannya di d**a. "Woo, woo... Tunggu, jangan bahas feminisme, oke?" ringis Jayusman sambil berbalik dari rebahannya.  Sakit di pinggangnya saja sudah tak karuan, apalagi kalau ditambah dengan khutbah Mer tentang kesetaraan gender, isu sosial dan lain-lain. Akan terasa makin tak karuan tubuhnya. Jayusman lebih milih aman. Tadi Jayusman ngotot menolak dirawat di rumah sakit, dia mending di pijat Mer atau ke bengkel tulang. Lagi pula saat ini Mer tengah mengurusnya, tadi gadis itu telah membalur param di punggung dan pinggangnya. Yang penting bukan rusuknya yang patah. Badannya sudah mulai enakan, tapi yang membuat perasaannya tak enak adalah sampai detik ini Mer tak mau buka mulut soal lelaki tadi yang ia lihat bersamanya. "Apa dia masa lalu lo?" Jayusman bangkit lalu duduk dengan masih bertelanjang d**a. "Masih nyambung yang tadi?" Mer balik tanya. "Senggaknya gue tahu siapa dia," tuntut lelaki gondrong itu. Mer berdecak, lalu menoleh ke arah Jayusman yang ternyata masih memandanginya. "Bosnya Hana," sahutnya. "Markus?" Anggukan Mer membuat Jayusman ingin memastikan dengan meraup kedua bahu gadis itu. "Lo bilang dia bahaya, terus dia mau apa? Nggak mungkin kan dia datang cuma pengen ngejenguk Hana?" Jayusman masih penasaran juga. "Karena Hana keguguran itulah yang bikin Markus murka. Kesalahan perempuan kayak Hana, adalah hamil. Itu tandanya mereka nggak bisa ngurus diri, nggak hati-hati yang artinya juga mereka ngerugiin Markus. Otomatis Hana harus ganti rugi dengan menjadikan teman atau siapapun itu menjadi p*****r. Bisa baca situasinya kan sekarang?" Jelas Mer tanpa ada yang ditutup-tutupi. "Hana numbalin lo?" mata Jayusman terbelalak tak percaya. Mer menggeleng,"Nggaklah! Dia mana tega. Tapi gue yang nggak tega," "Mer..." Tangan Mer menepuk pipi Jayusman yang brewok,"Takut bener lo gue jadi p***n?" "Bukan, gue lebih takut lagi lo jadi milik Markus." Mer menjauhkan kepalanya dengan alis bertaut,"Kenapa? Gue bukan milik siapa-siapa, apalagi Markus. Bos satu itu belum kena getahnya aja," Gue yang kena getahnya, Mer... "Dia punya backing kuat, Mer. Si Markus ini emang lagi aku susuri. Bisnis ilegal lainnya susah banget gue dapetin, selain bisnis esek-esek ini," urai Jayusman. "Serba bingung, paling mereka Kong kali Kong, simbiosis mutualisme. Kadal burik emang!" Mer tersenyum pahit. Hujan sudah reda. Mer akan kembali ke rumah sakit, tadi dia menelpon Noni agar menunggui Hana sebentar. Dia harus bertanggung-jawab pada Jayusman, bukan? Setelah mencuci tangan Mer menghampiri Jayusman. "Jay, gue balik lagi ke rumah sakit," pamitnya. "Bareng," "Ngapain?" "Gue nggak mau ya lo ntar ketemu lagi sama Markus," ingatnya. Mer mengembuskan napas,"Gue juga males kali. Tapi masa masalah harus dihindari?" "Lo janji sama gue, lo nggak bakal kenapa-napa, lo nggak bakal jadi gadisnya Markus, lo--" "Idih, makanya gue kerja serabutan gini buat apa, Jay? Gue nggak mau jadi p***n. Soal Markus lo nggak usah khawatir," tampik Mer sambil memakai kembali jaketnya. "Mer, serius lo nggak bakal ngadep Komandan Iskandar? Gue yakin dia pasti mau bantu lo. Senggaknya liat keadaan Hana," lanjut Jayusman. Mer bukan tak mau menolong Hana. Makanya diam, tutup mulut dan tak mengindahkan ajakan Jayusman bertemu Komandan Iskandar adalah cara Mer untuk menolong Hana. Karena bila dia buka mulut sembarang, bukan tak mungkin dia dan Hana jadi incaran Markus. Yang akhirnya jadi sia-sialah semua usaha perlindungan yang ia lakukan untuk Hana. Markus bukan jenis orang yang mudah disentuh aparat hukum. Temannya di pemerintahan banyak karena sang backing. "Markus itu mata dan telinganya banyak, Jay. Kamu yakin bawa gue ketemu Pak Is dan bikin semua kacau? Sekarang aja Markus udah kasih warning, lo nggak tahu aja segimana berbahayanya Markus." Sergah Mer tak peduli, ia segera memakai sepatunya.  Jayusman tahu kalau sosok gadis di depannya ini adalah sosok emosian, tapi solidaritasnya tinggi. Mer yang pemberani. "Gue sebutuh-butuhnya duit nggak bakal jual diri, Jay. Gue nggak sebodoh itu!"  tukas Mer yang sudah bersiap pergi. Jayusman bangkit,"Masih mendung. Ntar hujan lagi. Bukannya lo nggak suka kehujanan?" "Masih ada waktu sebelum hujan turun gue udah sampe rumah sakit. Apalagi kalo lo yang antar," senyum terkembang dari belahan bibir Mer, yang selalu membuat Jayusman mengerang menghindar. "Ayo!" balasnya sambil menenteng tas ranselnya. "Kamera lo bawa-bawa nggak ribet?" usik Mer. Jayusman menggeleng,"Wartawan keliatannya dari kamera kan?" "Bangga bener jadi wartawan, Jay..." "Banggalah! Cita-cita gue sedari kecil, masa nggak bangga. Lo pengen jadi apa?" Jayusman mengeluarkan motornya, memberikan satu helm pada Mer. Gadis itu sepertinya tak mau menjawab segala tanya Jayusman. Cita-cita apa? Cita-citanya sudah karam pada hari itu, menyisakan jejak dendam yang tak berkesudahan. "Ayo naik," "Angetin, sini! Peluk gue," kelakar Jayusman sambil menarik tangan Mer untuk memeluk perutnya. Mer tersenyum. Di balik awan kelabu yang senantiasa menggelayuti hari-hari Mer selama ini, setidaknya ada hari-hari lain yang membuatnya tersenyum seperti pelangi. |
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD