bc

Bless of Gabriel

book_age18+
206
FOLLOW
1.4K
READ
dominant
prince
drama
tragedy
bxg
royal
superpower
special ability
like
intro-logo
Blurb

"Aku sekalipun tidak bermimpi hidup dan tinggal di Istana ini sebagai Raja jika harus menjadi Raja seperti mu, Ayah!"

Gabriel tidak menginginkan posisi sebagai Raja, karena Raja yang dirinya lihat dalam diri Ayahnya adalah Raja yang bahkan tidak menangis atau terpukul saat harus kehilangan Permaisuri. Baginya jikapun harus menjadi Raja, maka dirinya tidak akan menjadi sama seperti Ayahnya. Gabriel bertekad menjadi Raja yang dicintai dan mencintai rakyatnya.

Namun apa jadinya jika dirinya justru terusir dari Istana?

chap-preview
Free preview
1
"Kasihan sekali, padahal Pangeran masih kecil. Tapi dia sudah harus melihat ibunya tertidur di peti mati." "Jangan terlalu keras, Pangeran bisa sedih mendengar ucapan mu. Bagaimanapun Pangeran sangat dekat dengan Yang Mulia Permaisuri, pasti sedih sekali ditinggal begitu cepat." Gabriel menoleh, membuat kedua dayang yang berbisik-bisik di belakangnya itu langsung terdiam. Dia merasa bingung, jika memang tidak ingin sampai didengar olehnya, kenapa dua orang itu berbicara tepat di belakangnya? Kemudian langkah kecilnya kembali berjalan, mendekati sebuah peti mati berwarna putih yang dipenuhi dengan bunga-bunga. Ayahnya, sang Raja Aloysius berdiri tepat di hadapan peti. Gabriel mendongak, sekedar ingin tahu apakah Ayahnya juga merasakan kesedihan yang sama dengannya, atau tidak? Namun kemudian Gabriel langsung menunduk dengan senyum sendu, menyadari jika Ayahnya bahkan tidak meneteskan air mata sedikitpun. Gabriel berpikir, apakah menjadi Raja berarti harus tidak memiliki hati? Jika memang begitu, Gabriel sama sekali tidak ingin menjadi seperti ayahnya. "Berikan penghormatan terlahir untuk Ibumu." Suara datar dan dingin dari Ayahnya itu langsung membuat Gabriel mengangguk. Diambilnya satu tangkai daisy kesukaan ibunya dan maju hingga benar-benar berada di dekat peti mati itu. Suara tangis tertahan dari beberapa dayang setia yang melayani ibunya, terdengar begitu jelas ketika Gabriel menunduk, mencium wajah dingin ibunya yang selama ini selalu tersenyum hangat. Tangan kecil Gabriel meletakan bunga daisy tepat ke atas perut Ibunya. Bahkan dengan mata tertutup, ibunya masih terlihat sangat cantik. Gabriel menundukkan kepala dengan langkah mundur. Dirinya sedih, sedih sekali hingga ingin menangis meraung di depan jasad ibunya yang tidak akan bangun itu. Namun sesosok yang berdiri tegak di belakangnya tidak akan suka jika dirinya yang merupakan Putra Mahkota menangis di depan banyak orang. Gabriel menahannya, terus memasang wajah tegar yang mirip dengan ayahnya itu hingga tubuh ibunya terkubur di bawah tanah. Ketika Raja memberikan sepatah dua patah kata di depan para bangsawan yang melayat, yang terdengar hanyalah ucapan bahwa Ayahnya sedih kehilangan istri yang begitu baik dan juga seorang Permaisuri yang berjasa pada Negara. Tidak ada kalimat cinta, ataupun ujaran kehilangan yang dapat menyentuh hari anak kecil seperti Gabriel. Di senja yang mulai digelar di langit, Sang Raja berbalik meninggalkan makam, begitu pula para bangsawan yang tadi mau repot-repot menangis di depan tubuh mati ibunya. Sedangkan Gabriel bergeming, tubuh kecilnya hanya berdiri menatap nisan yang terbuat dari marmer dan tinta emas itu untuk beberapa saat. "Menangislah, Pangeran. Sudah tidak ada yang melihat lagi kecuali aku dan Acelia." Kalimat yang diucapkan dengan bergetar oleh dayang ibunya itu, membuat pertahan yang Gabriel buat menjadi hancur. Tubuh kecilnya jatuh terduduk, dengan tangan yang mencengkeram kuat batu nisan yang kokoh. "Ibu... Ibu...." Ia meratap, dengan raungan yang menyedihkan sekaligus menyakitkan bagi yang mendengarnya. Calista berlutut, memeluk Pangeran kecil itu dari samping dan mulai ikut menangis. "Pangeran boleh menangis sebanyak yang Pangeran mau. Pangeran boleh merajuk sebanyak apapun yang Pangeran ingin, karena Pangeran hanyalah anak berumur tujuh tahun yang belum mengerti apapun. Seperti itulah yang dinginkan oleh Yang Mulia Permaisuri," ujarnya dengan isak tangis yang pecah. Gabriel semakin histeris. Tangannya memeluk Calista dengan kencang, seakan mengadukan bahwa dirinya kesakitan karena sedari tadi menahan duka yang dia rasakan. Acelia yang ada di belakangnya juga sudah menangis, menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan bersandar pada Caravan, pengawal pribadi Gabriel. "Ibu begitu baik, Ibu begitu dicintai banyak orang, tapi kenapa Ibu pergi secepat ini?" Di antara semua orang yang ada di sana, tidak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Pangeran nya. Mereka hanya terus menangis, ikut merasakan rasa sakit yang dirasakan oleh bocah kecil berumur tujuh tahun itu. "Dengan siapa aku setelah ini? Bahkan Raja tidak pernah menghampiriku lebih dulu selama ini, bahkan Raja tidak pernah menanyakan keberadaan ku selama ini. Hanya Ibu yang akan rela berlari tanpa alas kaki dan mengabaikan gelar yang ia miliki hanya untuk menangkap ku yang hendak terjatuh dari kereta kuda. Bahkan hanya Ibu yang terjaga semalaman ketika aku sakit dan melupakan kesehatannya sendiri demi menjagaku. Hanya Ibu.... Hanya Ibu saja." * "Pangeran, Anda diminta untuk pergi ke Istana Raja sekarang." Gabriel yang sedang meringkuk di atas ranjang miliknya, bergegas bangun ketika Acelia masuk dan berdiri di depan tempat tidurnya. "Baik," jawabnya. Ia melompat turun dari ranjang, bergegas merentangkan tangan ketika Acelia sudah siap memakaikan jubah miliknya. Dengan langkah lemah karena seharian menangis, dia berjalan diikuti oleh Acelia dan juga Caravan menuju kediaman Ayahnya yang berada di bagian barat. Caravan menawari untuk menggendongnya yang langsung Gabriel tolak. Ayahnya akan sangat murka ketika mendapati dirinya bersikap manja pada siapapun. "Yang Mulia Putra Mahkota sudah tiba!" seru seorang prajurit yang menjaga pintu kediaman Raja. Pintu besar di depannya langsung terbuka kemudian. Gabriel masuk dan berjalan mendekat ke arah Ayahnya yang sedang duduk di sebuah kursi emas yang terletak di sisi kanan ruangan. Ia membungkukkan badan, memberi penghormatan pada orang yang memiliki gelar tertinggi di Aloysius. "Semoga berkat Dewa selalu menyertai Yang Mulia Raja!" Balendin Dean Aloysius, bangkit dari duduknya. Tubuhnya berdiri menjulang di depan anaknya yang baru berumur tujuh tahun itu. "Jangan berubah lemah hanya karena Ibumu sudah meninggal," ujarnya tegas. Gabriel menunduk, berniat menyembunyikan wajahnya yang telah ia gunakan untuk menangis seharian ini. "Kau adalah Putra Mahkota yang akan menggantikan ku di kemudian hari, tidak akan ada yang bisa menghormati mu jika kau meratapi kepergian satu orang saja begitu lama." Tangan kecil Gabriel terkepal di sisi tubuhnya. Satu orang yang diucapkan oleh Raja adalah ibunya, seseorang yang paling dirinya cintai di jagat raya ini. Bagaimana mungkin pria di depannya bahkan bisa berbicara sekasar itu pada dirinya yang kehilangan? "Kau hanya perlu sehat dan hidup hingga berusia delapan tahun, setelah itu kau boleh melakukan apapun setelah kekuatan suci mu tumbuh. Termasuk menangisi kepergian Ibumu selama yang kau mau. Yang dibutuhkan oleh aku dan Negara ini hanyalah kekuatan suci yang menjadi berkat Dewa pada setiap keturunan Raja," titahnya. Gabriel merasakan hatinya tertusuk begitu dalam ketika mendengar ucapan ayahnya sendiri. Dia mengerti itulah sebabnya Ayahnya hanya pernah memberikannya nama sebelum kemudian mengalihkan tanggung jawabnya pada sang Ibu. Yang dibutuhkan oleh Ayahnya hanyalah kekuatan suci. Tidak lebih dari itu. "Saya mengerti, Yang Mulia," balas Gabriel. "Kau boleh pergi." Tubuhnya Ayahnya langsung berbalik membelakanginya, kembali duduk di kursi mewah dan membuka buku yang terlihat berat ditangannya. Gabriel kembali menunduk, mengucap salam serupa dengan ketika dia pertama datang sebelum kemudian melangkah mundur hingga mencapai pintu dan berbalik. Di depan pintu itu, Acelia dan Caravan sudah menanggungnya. Mereka langsung mengikuti langkah kecil Gabriel kembali menuju kediamannya di istana Putra Mahkota. "Sepertinya Pangeran habis menangis. Wajahnya terlihat kacau." "Kau benar, apakah Pangeran menghadap Yang Mulia Raja dengan wajah seperti itu? Sungguh tidak sopan." Acelia langsung menoleh menatap pada dayang yang dengan lancang membicarakan Gabriel. Ia kemudian melangkah pelan, hingga berhasil berada di depan Gabriel yang langsung berhenti dan mendongak menatap Acelia. "Aku baik-baik saja, Acelia. Kau tidak perlu mencemaskan aku," katanya meyakinkan. Putra Mahkota itu tersenyum lembut, berusaha meyakinkan Acelia bahwa dirinya baik-baik saja. "Bukankah Calista sudah pernah bilang jika Pangeran bisa melakukan apapun yang Pangeran mau? Pangeran boleh marah jika ingin marah, Pangeran boleh menangis jika ingin menangis, Pangeran hanya perlu melakukannya agar hati Pangeran tidak sakit." Melihat bagaimana Acelia begitu sedih dan mencemaskan nya, membuat Gabriel merasa bersalah. "Aku tidak bisa, Acelia. Aku tidak boleh seperti itu," katanya. Kemudian dia meminta Acelia untuk berpindah dari jalannya. "Kita kembali ke kamarku," titahnya. Acelia tidak membantah, dia langsung mundur dan berjalan sejajar dengan Caravan yang sedari tadi hanya terdiam menatap Pangeran yang dilayaninya sejak kecil. Perjalanan mereka menjadi hening, yang ada hanya beberapa dayang yang menepi dan memberi penghormatan pada Gabriel yang berjalan tanpa memperdulikan sekitarnya. Putra Mahkota itu terlihat lebih mencemaskan ketika dia hanya diam dan memasang wajah datar seperti saat ini. Hal yang membuat Acelia tidak berhenti menoleh ke arah Caravan dan meminta Ksatria itu untuk angkat bicara dan menghibur tuannya. Namun Caravan hanya menggeleng pelan, menolak untuk menganggu Gabriel di saat kondisinya seperti ini. "Aku akan langsung tidur, tolong jangan biarkan siapapun masuk," titah Gabriel. Ketika pintu kamarnya dibukakan oleh dua pengawal, langkah kecilnya langsung berjalan masuk ke dalam kamar. "Kau juga tidak usah masuk, Acelia. Aku tidak akan mandi, aku hanya ingin tidur," larangnya. Acelia yang tadi sudah bersiap mengikuti langkah Gabriel akhirnya hanya bisa mematung di depan kamar besar itu tanpa melakukan apapun. Sedangkan Gabriel langsung melepas jubah miliknya dan melemparnya ke sembarang arah. Ia menaiki ranjang dengan susah payah, berbaring terlentang dengan menatap Kuba kamarnya yang berwarna gelap. Lampu kristal yang berwarna putih kebiruan menjadi satu-satunya penerangan di dalam kamarnya. Biasanya setiap kali dia hendak tidur, ibunya akan datang dan menemani Gabriel hingga terlelap. Bukan untuk berdongeng, melainkan ibunya akan menghabiskan waktu dengan menanyakan apa saja yang sudah dilakukan oleh Gabriel seharian ini. Dan Gabriel akan dengan senang hati menceritakan segala kegiatannya walaupun kegiatannya sendiri lebih banyak diisi dengan belajar berbagai jenis pelajaran untuk bangsawan tinggi. "Hari ini Ibu tidak datang..." gumamnya. Ia mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping, menatap ke arah jendela besar yang belum sempat ia tutup. "Atau..sebenarnya Ibu datang tapi aku tidak bisa melihatnya?" Suaranya terdengar nyaring di ruangan yang hening itu. Tidak ada yang dapat menjawab, dan takkan pernah ada yang menjawabnya. Gabriel menarik bantal dari atas kepalanya, ia menutupi wajahnya dengan bantal itu. Membiarkan wajah kecilnya tertelan bantal yang besar dan halus. Beberapa saat kemudian, tubuhnya bergetar disertai isakan tangis yang tertahan. Pangeran Putra Mahkota itu kembali menangis meskipun itu artinya dia harus melanggar perintah Raja. **

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Time Travel Wedding

read
5.4K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
9.0K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.8K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook