13

1527 Words
Siang itu suasana istana yang ramai dengan para pelayan berlalu lalang, berubah semakin ramai disertai kericuhan saat Pangeran yang sudah selama satu bulan diasingkan tiba-tiba datang kembali ke istana. Seluruh orang yang berpapasan dengan Gabriel tidak ada yang berani menegur secara langsung, hanya memilih menyingkir sambil berbisik-bisik. Apalagi mereka tidak bisa mendapati wajah ramah dari Pangeran pertama itu yang biasanya mereka lihat semasa Gabriel masih ada di istana. Kini Pangeran kecil itu hanya terus berjalan dengan diikuti oleh dua pengikut setianya dan juga beberapa pengawal kerajaan yang berjalan paling belakang. Dipikiran semua orang, Gabriel akan berbelok ke sisi istana Putra Mahkota yang dulu menjadi tempat tinggal Gabriel, namun mereka semua terkejut saat Gabriel justru berjalan menuju istana utama yang merupakan kediaman Yang Mulia Raja. "Dimana Yang Mulia Raja sekarang?" tanya bocah kecil itu saat berpapasan dengan pelayan pribadi ayahnya. Pelayan itu menunduk dalam, memberi salam pada Gabriel yang justru diabaikan anak itu. "Dimana Ayah?" tanya Gabriel lagi, kali ini dia bahkan menekankan kata Ayah pada ucapannya. Dia mungkin hanya anak kecil, tapi dia sangat mengerti bahwa fakta dirinya yang diusir dari istana membuat banyak orang memandangnya sebelah mata, dan salah satunya adalah pelayan wanita yang kini berada di depannya. Meski wanita itu menunduk dan memberi salam padanya, namun wajah angkuh itu seakan menegaskan bahwa hormat yang diberikannya hanyalah formalitas. "Yang Mulia Raja sedang beristirahat dan tidak bisa diganggu. Saya harap Pangeran dapat mengerti dan kembali saat waktunya sudah tepat," jawabnya dengan isyarat yang jelas. Dia melarang Gabriel untuk bertemu sangat Raja. Gabriel menatap datar pada pelayan itu, dia bergerak ke samping sebelum kemudian menggedor pintu kamar Raja di depannya dengan sangat keras. "Ayah, saya Gabriel. Saya meminta ijin untuk bertemu!" teriaknya. Gabriel bahkan tidak perduli pada tangannya yang terluka karena terlalu keras memukul pintu besar itu. Juga tidak perduli pada pelayan pribadi ayahnya yang mulai berani berteriak padanya, memintanya untuk pergi bahkan mengancam akan meminta para pengawal kerajaan untuk menyeret Gabriel keluar. Hal yang justru membuat Caravan marah dan mencekal tangan wanita itu hingga yang bisa dilakukan oleh pelayan itu hanya meronta. Kehebohan itu terjadi beberapa saat sebelum akhirnya berubah hening saat pintu besar di depannya terbuka, menampilkan Balendin yang hanya menggunakan jubah tidur berwarna hitam gelap dengan pola lambang kerajaan. "Semoga berkat Dewa selalu menyertai Yang Mulia Raja!" salam mereka serempak dengan menundukkan kepala dalam. "Apa kalian tahu membuat keributan di kediaman Raja adalah hal yang harus ditebus dengan nyawa kalian?" Balendin bertanya dingin. Sedangkan semua orang semakin menunduk tanpa berani mengangkat wajahnya. "Apa yang membuatmu kembali ke istana hanya terhitung satu bulan setelah pergi, Gabriel?" tanyanya kemudian pada anaknya yang berdiri paling depan. Yang baru beberapa saat lalu menggedor pintu kamarnya dengan cukup keras. "Ada yang perlu saya katakan pada Yang Mulia Raja," jawabnya dengan tetap menunduk. Tak ada jawaban beberapa saat kemudian, sampai akhirnya Balendin kembali berujar, "Masuk lah. Dan kalian jangan lagi berani membuat keributan," katanya. Gabriel bergegas mengikuti langkah kaki ayahnya yang kembali masuk ke dalam kamar. Matanya mengedar, mengingat sekitar satu bulan yang lalu di saat dia menangis bersama dengan ayahnya sesaat sebelum dirinya pergi meninggalkan istana. Dia tidak menyangka jika saat ini dirinya kembali berada di ruangan ini meskipun hanya untuk sesaat guna menyelesaikan hal yang menimpa dayang pribadinya. "Keperluan sepenting apa sampai kamu datang kesini dengan resiko menerima gunjingan dari seluruh penghuni istana?" Gabriel menatap lurus punggung ayahnya yang berdiri membelakanginya itu. "Kenapa Yang Mulia memberikan perintah untuk menangkap Acelia dan menghukum mati dia?" tanyanya langsung. Barulah ketika mendengar pertanyaannya itu, Balendin berbalik badan dengan kening berkerut. "Kamu datang hanya untuk menanyakan itu?" "Iya. Acelia tidak pernah melakukan kesalahan apapun yang bisa membuat dirinya harus menerima hukuman mati, karena itu saya memilih untuk langsung datang dan bertanya pada Yang Mulia. Saya tidak akan membiarkan Acelia menerima hukuman yang tidak adil di saat dia tidak melakukan kesalahan." Balendin terdiam dengan tatapan tajam pada anaknya itu. Dia bergerak pelan hingga akhirnya berdiri tepat di depan Gabriel yang tidak menatapnya. "Apa kamu tahu semua orang sudah tidak berada di pihakmu semenjak kamu meninggalkan Istana?" tanyanya dengan nada rendah. "Saya tahu, Yang Mulia." "Dan menurutmu apa yang akan mereka pikirkan jika mengetahui kamu datang ke istana demi membela dayang rendahan yang berani mengijinkan rakyat biasa memasuki kediaman keluarga Kerajaan?" Gabriel terkejut, dia langsung mendongak ke arah Balendin tanpa pikir panjang. "Rakyat biasa memasuki kediaman keluarga kerajaan?" tanyanya. "Benar," jawab Balendin. Tangannya ia lipat di belakang tubuh dengan masih menatap dingin ke arah anak kecil di hadapannya itu. "Kristof mengatakan jika dayangmu itu mengijinkan pada orang tua untuk memasuki rumahmu dan bertemu denganmu secara langsung. Itu adalah penghinaan terhadap keluarga kerajaan yang perbuatannya pantas untuk dihukum mati." Tanpa sadar Gabriel mengepalkan tangan kecilnya di samping tubuhnya. "Apa Ayah benar-benar ingin aku hidup seorang diri?" gumamnya. "Apa?" Gabriel mendongak, menantang tatapan mata Ayahnya itu. "Apa Ayah memang ingin aku hidup seorang diri di dunia ini? Aku sudah kehilangan ibuku, Satu-satunya orang yang selalu ada di pihakku. Lalu aku harus terusir dari istana di saat aku sendiri kebingungan mengapa terlahir tanpa kekuatan suci yang seharusnya aku milikku. Dan di saat dalam hidupku aku hanya memiliki Caravan dan Acelia di sisiku, Ayah kini juga berniat mengambil satu persatu dari mereka?" Tangisnya kembali pecah, di kamar ayahnya itu. Tangan kecilnya bergerak mengusap air mata yang tak kunjung berhenti. Sedangkan Balendin menatap anaknya dengan tatapan terkejut. Tidak menyangka jika Gabriel akan menangis layaknya anak kecil di depannya, dengan menanggalkan bahasa formal di hadapannya. Namun bukan itu masalahnya, perasaan Balendin menjadi aneh saat lagi-lagi harus melihat anaknya itu menangis. Dan kali ini karena membela seorang dayang. "Aku yang mengijinkan Acelia membawa semua orang itu masuk. Karena aku tidak ingin rumah besar itu sepi dan hanya ada aku, Acelia dan Caravan saja. Aku senang karena ada meraka rumah menjadi ramai dan aku tidak kesepian, namun jika Ayah ingin menghukum Acelia atas tuduhan membawa orang masuk dan menemuiku, maka hukum lah aku juga, Ayah. Aku bersedia mati bersama dengan orang yang setia kepadaku. Karena rasanya pasti akan sangat menyakitkan kembali ditinggalkan oleh orang yang berharga bagiku." Ruangan besar itu hanya terisi isak tangis Gabriel. Balendin berdiri mematung, kali ini dia tidak lagi memeluk Gabriel untuk menenangkan tangis anak itu. Otaknya masih terkejut karena anaknya sampai menangis bahkan bersedia dihukum bersama dayang nya tanpa berpikir panjang. "Kamu membuat keributan dengan datang ke istana dan menggedor pintu kamarku hanya demi membela dayang itu. Kamu bahkan berkata bersedia mati bersama dengan dayang itu tanpa memikirkan posisimu?" Setengah kesadaran Gabriel kembali, dirinya langsung menunduk dengan begitu dalam. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya hanya tidak bisa kembali kehilangan apa yang menjadi milik saya," katanya penuh sesal. Balendin menarik napas, "tapi kamu tidak perlu sampai melukai tanganmu untuk menggedor pintu besar itu," balasnya. Matanya melirik pada telapak tangan Gabriel yang memerah. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya bersalah. Itu karena Pelayan Anda melarang saya masuk untuk bertemu dengan Anda, dia bahkan mengancam akan memanggil Pengawal untuk menyeret saya keluar," jawabnya. Balendin terkejut. Kemarahan tercetak jelas di wajah tegasnya itu. Matanya menatap pada pintu, dimana di balik pintu itu terdapat pelayan pribadinya yang menunggu di luar. "Baiklah. Aku akan mencabut perintah untuk menghukum dayangmu itu," putusnya. Gabriel langsung mendongak, wajahnya yang basah menampilkan senyum cerah yang membuat Balendin tertegun. "Terima kasih, Yang Mulia!" Serunya seraya berlutut. Namun tangan besar Balendin dengn segera memegangi pundak anak itu dan memintanya kembali berdiri. "Kembalilah ke rumah mu, sebelum lebih banyak orang yang akan membicarakan mu," titahnya. Tanpa menolak, Gabriel mengangguk. Dia berjalan mundur sebelum kemudian pergi meninggalkan kamar ayahnya. * "Yang Mulia memanggil hamba?" Sedikitpun Balendin tidak membalikan badan tubuhnya. Tangannya justru sibuk memilih buku yang kali ini ingin ia baca. "Apa yang kamu lakukan di hadapan Pangeran?" tanyanya dengan nada rendah. Pelayan itu terkejut, tubuhnya langsung merinding saat menyadari jika dirinya kini dalam masalah. "Ha-hamba hanya meminta Pangeran untuk kembali lain kali karena Yang Mulia sedang beristirahat," jawabnya. Brak Bunyi bantingan buku tebal itu membuat sang pelayan lebih terkejut. "Apakah kamu berpikir bahwa derajat mu lebih tinggi dari anakku hanya karena dia diasingkan?" Pelayan itu langsung berlutut, hingga wajahnya hampir menyentuh tanah. "Ampuni hamba, Yang Mulia. Mana mungkin hamba berpikir seperti itu," sangkalnya dengan suara bergetar. "Nyatanya kamu memang berpikir seperti itu sampai berani mengancam Gabriel untuk menyeretnya keluar," desis Balendin mengerikan. Lalu tubuhnya berbalik, tangannya mengibaskan jubah tidur yang dipakainya ke belakang. Matanya menyorot menyeramkan ke arah pelayan yang sudah melayaninya sejak dirinya masih muda. "Siapapun yang ada diluar, masuklah!" Hanya beberapa detik saja sampai dua pengawal yang ada di luar masuk ke dalam kamar Balendin. "Bawalah dia ke penjara bawah tanah, dan jadwalkan eksekusi matinya," titahnya. "AMPUNI HAMBA, YANG MULIA! HAMBA BERSALAH. TOLONG AMPUNI HIDUP HAMBA!" teriakan itu membuat suasana terasa bising. Namun Balendin tidak terganggu sama sekali, dirinya membiarkan dua pengawal itu menyeret pelayan pribadinya keluar. Meskipun teriakan bercampur tangisan itu terdengar memilukan namun Balendin lebih tidak senang memikirkan bagaimana pelayan itu dengan lancang mengancam putranya dengan pongah. "Benar-benar perasaan yang menyebalkan," gumamnya ketika tangannya kembali menjatuhkan satu buku hingga menimbulkan bunyi keras. Niatnya untuk membaca buku sudah lenyap, terganti dengan amarah yang muncul hanya karena harus memikirkan perilaku orang lain pada Gabriel, anak yang selama ini tidak terlihat di pelupuk matanya dan hanya sebagai maskot putra mahkota. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD