14

1525 Words
"Acelia, berhentilah menangis. Kamu membuat Pangeran semakin kesulitan," tegur Caravan yang sedang merajuk kereta kuda dengan kecepatan sedang. Mereka menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke istana, tapi walaupun begitu mereka tidak mengambil waktu sekedar bermalam atau beristirahat sejenak, karena setelah pembicara Gabriel dengan Balendin usai, Gabriel langsung meminta Caravan dan Acelia mengikutinya pulang. Bahkan Acelia yang tahu bahwa dirinya tidak jadi dihukum dan dijatuhi eksekusi sempat berteriak histeris hingga Caravan harus membopongnya hingga keluar istana agar Acelia tidak mempermalukan Gabriel lebih dari itu. "Saya masih merasa terharu karena Pangeran membela saya yang hanya seorang dayang. Padahal Pangeran tahu, dengan datang ke istana Pangeran akan menerima ucapan yang menyakitkan dari pada orang itu. Juga akan banyak kesimpulan yang salah tentang Pangeran, namun Pangeran masih mau melakukannya demi saya," ujarnya masih dengan terisak. Gabriel tersenyum, jenis senyum penuh syukur karena masih bisa mendengar celotehan yang keluar dari mulut dayang nya itu. "Aku sudah bilang jika aku tidak akan melepaskan apa yang menjadi milikku lagi," balasnya. Suara kecilnya yang rendah dan sedih itu semakin membuat tangis Acelia pecah. Dayang itu bahkan tanpa berpikir langsung memeluk tubuh kecil Gabriel dengan erat, menangis sambil memeluk bayi kecil yang dulu begitu tampan dan menggemaskan. Seorang Pangeran yang dicintai oleh ibunya dengan sepenuh hati, namun kemudian harus hancur saat orang yang paling mencintainya itu pergi. "Meskipun harus berdarah-darah, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk hidup dengan sangat lama, Pangeran. Agar Pangeran tidak kesepian, agar Pangeran tidak kesakitan lagi. Saya akan menjadi dayang untuk Pangeran bahkan sampai Pangeran menikah dan memiliki anak yang tampan," ujarnya dengan isak tangis tertahan. Gabriel tanpa sadar memekik, "Me-menikah? Aku sudah bukan Putra Mahkota jadi aku tidak perlu menikah," tolaknya gugup. Caravan yang mendengar suara terkejut dari tuannya itu tertawa kecil. Gabriel memang masih delapan tahun, namun jika posisinya saat ini masih pewaris tahta Raja maka Gabriel sudah akan dipilihkan calon pendamping yang akan menjadi permaisurinya nanti, tapi karena Gabriel hanya seorang Pangeran biasa maka dirinya tidak diwajibkan untuk menikah dalam waktu dekat. "Kenapa Pangeran tidak ingin menikah? Saat Pangeran menginjak usia dewasa, tentu saja Pangeran harus menikah," tanya Acelia sambil melepas pelukannya dari Gabriel. Anak kecil itu menunduk, menautkan jemarinya dengan tatapan sedih. "Jika aku menikah, maka aku akan menjadi suami yang seperti Ayah, kan? Suami yang tidak pernah tersenyum kepada ibu dan juga aku, suami yang tidak menangis meskipun ibu meninggal. Aku..tidak ingin menjadi yang seperti itu." Acelia memandang tuannya dengan sedih, begitupun Caravan yang hanya bisa mendengar dalam diam keluhan yang selama ini disimpan rapat oleh anak kecil berusia delapan tahun tentang sosok Ayahnya. "Pangeran tinggal jadi yang tidak seperti itu saja. Jadilah seperti bangsawan Frederick, Pangeran mengenalnya?" Gabriel mengangguki ucapan Acelia. Dulu ketika masih berusia sekitar enam tahun, guru pedangnya tiba-tiba saja diganti dengan alasan yang tidak dia ketahui. Dan bangsawan Frederick adalah ahli pedang yang menjadi gurunya. "Kenapa dengan dia?" tanyanya penasaran. Acelia tersenyum lembut, tangannya terangkat membelai kepala Sang Pangeran dengan lembut. Hatinya senang, merasa beruntung karena Gabriel mengijinkan dirinya untuk melakukan hal itu. "Dia adalah bangsawan yang sangat mencintai keluarganya, Pangeran. Ketika istrinya jatuh sakit setelah melahirkan anak terakhir mereka, dan kekayaan mereka terkuras untuk membayar tabib istana, dia bahkan rela menjual gelar bangsawannya untuk bisa menyembuhkan istrinya. Dan kabar terkahir yang saya dengar, Frederick berhasil membuat istrinya sembuh dan kemudian membawa keluarganya tinggal di negara lain yang sangat jauh dari Kerajaan kita," terang Acelia. Mata bulat Gabriel menatap takjub ke arah Acelia. Binar itu tampak jelas, menandakan bahwa Gabriel tertarik dengan cerita yang baru saja dayangnya itu bicarakan. "Dia memang orang yang sangat baik. Tapi aku tidak pernah menduga jika dia bahkan rela menjual gelarnya hanya untuk menyelamatkan hidup istrinya," komentar Gabriel. Lalu kepalanya menunduk, tatapan sedih itu kembali terlihat dari mata bulatnya. "Andai saja Ibu memiliki suami yang seperti itu, mungkin Ibu bisa tersenyum lebih lebar dan lebih bahagia lagi," lirihnya. Tak ada yang mampu membalas ucapan itu. Karena baik Acelia maupun Caravan sama-sama tahu bahwa Gabriel sudah menyimpan rasa kecewa yang begitu besar pada sosok ayahnya yang merupakan seorang Raja. Walaupun Gabriel mungkin mengetahui bahwa seorang pemimpin tertinggi harus bisa menyembunyikan perasaannya agar tidak nampak kelemahan yang dia punya, namun kecewa terbesar yang Gabriel dapatkan dari Ayahnya adalah karena di akhir hidup Garcia, Balendin tidak ada. * "Hanya seperti ini? Kita perlu menyirami nya dengan rutin?" tanya Gabriel. Kedua tangan kecilnya itu menepuk-nepuk gundukan tanah yang di dalamnya sudah terisi bibit kentang. Acelia mengangguk. Dengan cepat dirinya bergerak, mengambil tangan Gabriel kemudian melapnya dengan kain basah. "Untuk itu biarkan saya dan Caravan yang melakukannya, Pangeran tidak usah bersusah payah mengerjakan tugas berat atau nyawa kami yang akan melayang," katanya kemudian. Gabriel menyengir lebar dengan giginya yang tanggal satu di bagian depan. Gigi itu lepas beberapa hari yang lalu saat tanpa sengaja Gabriel terpeleset di tangga dan membuat Acelia menangis meraung bahkan sampai berkata bahwa dirinya pantas mati karena tidak bisa menjaga Gabriel dengan baik, pun dengan Caravan yang melakukan hal yang sama. "Bukankah Caravan sudah memastikan jika tidak akan ada lagi yang dapat mengetahui apa yang kita lakukan di rumah ini?" tanya dengan wajah polos. Setelah mengetahui bahwa ada yang dikirim oleh pihak kerajaan untuk memantau segala aktivitasnya, Gabriel menulis surat untuk pertama kalinya untuk Balendin. Surat yang mengatakan jika Gabriel memohon agar Ayahnya itu menarik kembali pengawal yang sengaja dikirim untuk memata-matainya. Gabriel juga mengatakan bahwa dirinya sedang dalam pengasingan, jadi dia berjanji tidak akan menimbulkan masalah. Dan tanpa diduga, permintaannya itu dikabulkan oleh sang Raja. Ketika Caravan memeriksa sekitar rumah bahkan hampir seluruh kota tua, tidak ada seseorang yang mencurigakan yang sekiranya menyerupai pengawal kerajaan. "Tetap saja, kalaupun hukuman mati itu tidak datang atas perintah Yang Mulia Raja, tapi jika kejadian seperti waktu itu kembali terulang maka kami yang akan langsung membunuh diri kami sendiri," sanggah Acelia. Senyum Gabriel luntur, wajahnya menatap sedih pada Acelia yang baru saja mengatakan sesuatu yang menakutkan. "Padahal kamu sendiri yang berkata bahwa dirimu akan hidup sangat lama bahkan sampai aku memiliki anak. Tapi kenapa sekarang kamu dengan mudahnya mengucapkan kata bunuh diri?" Harusnya Acelia merasa sedih seperti biasanya ketika mendengar keluhan yang datang dari Gabriel, namun karena Gabriel mengatakannya dengan wajah cemberut yang lucu dan juga gigi depan yang tanggal, membuat Acelia tanpa sadar justru tertawa. "Jadi sekarang Pangeran sudah berpikir untuk menikah suatu saat ini?" godanya. Wajah pria kecil itu langsung bersemu samar, bibirnya yang tadi mengerucut berubah terkulum ke dalam. "Itu masih sangat lama," cicitnya pelan. Acelia kembali tertawa, ia kemudian mengulangi untuk mengelap tangan Gabriel hingga benar-benar bersih. "Baiklah, seperti janji yang saya ucapkan maka saya akan hidup dengan sangat lama sampai bisa menjadi dayang bagi anak-anak Pangeran juga," setuju nya. Ketika suara tapak kaki terdengar semakin dekat, ia menoleh dan mendapati Caravan yang baru kembali dengan tubuh yang kotor. "Bagaimana para orang tua itu?" tanya Acelia. Sebelum menjawab pertanyaan Acelia, Caravan lebih dulu menunduk untuk memberi salam pada tuannya. "Mereka masih berkebun seperti biasa. Ketika mendengar jika Pangeran juga tertarik untuk berkebun, mereka menawarkan untuk mengirimkan pupuk yang biasa mereka gunakan pada tanaman mereka," jawabnya kemudian. Gabriel berjalan menyusul kedua pengikutnya yang berdiri di ambang pintu kecil yang menghubungkan dengan bagian dalam rumah besar itu. "Pupuk? Apakah itu sejenis obat yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman?" tanyanya. Caravan mengangguk dalam, "Benar, Pangeran. Namun karena pupuk yang mereka buat berasal dari kotoran hewan, maka saya menolaknya." Acelia meringis, "bagaimana mereka membuat pupuk dengan kotoran hewan? Apakah makanannya justru layak di makan?" Gabriel mengangguk kecil, menyetujui pertanyaan yang diajukan oleh Acelia karena dirinya juga berpikiran yang sama. "Mereka bilang itu aman. Tapi saya tidak mungkin memberikan makanan yang terbuat dari hasil kebun yang disirami dengan kotoran hewan kepada Pangeran. Karena itu aku langsung menolak," ujar Caravan menjawab pertanyaan Acelia. "Kita bisa cari yang lain untuk bisa menumbuhkan kebun Pangeran tanpa pupuk itu. Aku yang akan mencari tahu," kata Acelia mengajukan diri. Gabriel yang merasa tidak cukup mengerti perihal cara berkebun, hanya dapat mempercayakan pada Acelia dan Caravan yang jelas lebih paham darinya. Ia berjalan masuk ke dalam rumah, duduk menunggu di sebuah kursi besar dengan tinggi yang cukup untuknya. "Tolong tunggu sebentar sampai air hangatnya siap, Pangeran," pintar Acelia. Setelah Gabriel mengangguk, wanita itu langsung berlalu ke arah pemandian yang ada di lorong sebelah kanan dari rumah besar itu. Kini yang bertugas menjaga Gabriel adalah Caravan. Pria itu tiba-tiba saja sudah kembali dengan kondisi yang lebih layak daripada tadi. "Apakah pekerjaan membantu perkebunan para orang tua itu berat, Caravan?" tanya Gabriel. Caravan menggeleng pelan, "Sama sekali tidak, Pangeran. Saya justru merasa senang karena mereka begitu berterimakasih karena saya sudah mau membantu mereka. Katanya, pekerjaan mereka lebih cepat selesai," jawabnya. Gabriel mengulum senyum. Dia juga ingin membantu para orang tua itu untuk berkebun, namun Caravan dan Acelia melarang tegas keinginannya. Itulah yang akhirnya membuat Caravan yang pergi untuk membantu para orang tua itu. "Jika di gudang masih banyak persediaan makanan, bagilah dengan mereka. Pasti rasanya akan membosankan karena mereka hanya makan kentang dan ubi setiap hari," titah Gabriel. Caravan tentu saja tidak membantah. "Saya akan melihat gudangnya terlebih dahulu." Dengan mengayunkan kakinya pelan, Gabriel duduk bersandar. Matanya sudah akan terpejam karena merasa ngantuk saat tiba-tiba Acelia kembali datang dengan membawa handuk di tangannya. "Pangeran, air hangat nya sudah siap." **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD