11

1550 Words
"Maafkan saya karena saya lupa meminta ijin dan juga meminta maaf pada Pangeran karena membawa mereka masuk ke rumah ini." Acelia menunduk dalam di depan Gabriel yang duduk di sebuah kursi kayu panjang yang ada di halaman belakang rumah itu. "Saat saya sedang membuang sampah, para orang tua itu langsung berdatangan. Katanya setelah beberapa tahun baru kali ini ada yang menempati rumah ini lagi," terangnya. Gabriel mengangguk, segelas coklat hangat menjadi temannya duduk santai sambil menunggu kepulangan Caravan untuk kemudian bisa makan bersama. "Tidak masalah. Berkat itu rumah ini menjadi lebih hidup, suasananya hangat seperti saat Ibu masih hidup," balas Gabriel. Nyatanya dirinya masih lah anak berumur delapan tahun yang baru saja kehilangan ibunya. Meski terlihat tegar dan baik-baik saja, pada kenyataannya kehilangan orang yang paling dicintainya di dunia juga diusir dari tempat kelahirannya membuat Gabriel terpuruk. "Mereka biasanya berkebun setiap pagi di sebuah lahan kosong bekas perang, Pangeran. Jika Pangeran ingin bertemu kembali dengan mereka, Pangeran bisa datang ke sana," beritahu Acelia. Gabriel menoleh dengan kepala yang dimiringkan. "Tanah bekas perang?" tanyanya. Acelia mengangguk, "Walaupun kota ini hanya ditinggali para orang tua, namun bangunan di kota ini cukup padat. Bangunan yang kemudian kosong setelah ditinggal oleh pemiliknya, dan yang tersisa hanya lahan kosong bekas perang itu yang bisa para orang tua itu gunakan untuk bercocok tanam. Walaupun tanahnya menumbuhkan apa yang ditanam, namun kualitasnya tidak terlalu bagus. Umbi-umbian yang ditanam oleh mereka terasa keras saat dimasak, dan juga rasanya kurang enak." "Dan mereka makan dengan itu setiap hari?" Acelia kembali mengangguk. Sebuah fakta yang baru saja Gabriel mendengar, membuat hatinya merasa sedih. Kawasan ini masih merupakan bagian dari Kerajaan Aloysius, namun hanya karena dianggap sebagai kota yang telah ditinggalkan, kota ini tidak mendapat perhatian dari pengurus Kerajaan dan penduduknya yang merupakan orang tua harus bersusah payah hidup dengan diri mereka sendiri dan memakan apa saja yang ada. "Acelia, bisakah kamu mengajari ku berkebun juga?" tanya Gabriel. Acelia yang mendengar pertanyaan dari tuannya, langsung terbebelalak kaget. "Pangeran..ingin berkebun?" Gabriel mengangguk, matanya memandang jauh pada halaman yang kosong di depan matanya. "Halaman belakang ini cukup besar, tapi tidak memiliki apapun. Jika ini dijadikan kebun, mungkin akan terlihat sedikit indah," katanya. "Apakah Pangeran ingin menanam jenis bunga agar halaman ini menjadi seperti taman lotus yang ada di istana?" Acelia beranggapan bahwa mungkin saja Pangeran-nya berbuat menjadikan rumah ini agar memiliki rasa yang mirip dengan istana. Namun ketika Gabriel menggeleng, dirinya malah jadi kebingungan. "Aku mau menanam umbian seperti yang dilakukan para nenek itu. Setidaknya itu bisa mengurangi jumlah pengeluaran kan?" Ucapan Gabriel kembali membuat Acelia terkejut. Entah dirinya harus merasa bangga atau sedih di saat tuannya itu dapat berpikir secara dewasa di saat umurnya baru menginjak delapan tahun. Bahkan Gabriel sudah memikirkan soal anggaran belanja dan berharap bisa menguranginya dengan bercocok tanama sayuran sendiri. "Ampun, Pangeran. Bukannya saya meragukan keinginan Pangeran, tapi untuk masalah pengeluaran Pangeran tidak usah memikirkan itu. Yang Mulia Raja memberikan perbekalan emas yang cukup bahkan sampai Pangeran dewasa," sanggahnya. Namun Gabriel hanya tersenyum. Kaki kecilnya bergerak menapak tanah. "Jika kita berhasil menanam sayuran untuk diri kita sendiri, uang yang kita punya bisa kita gunakan untuk melakukan hal lainnya. Sebagai contoh, kita bisa merenovasi ulang penginapan yang ada di pusat kota agar nantinya bisa disewakan kepada pada Ksatria atau bangsawan yang melewati kota ini, karena dari yang aku dengar dari Caravan penginapan yang ada di kota sebelah sangat mahal dan tidak begitu layak." Acelia tidak lagi dapat membantah. Ujaran yang keluar dari tuannya sungguh menakjubkan, dia tidak menyangka jika Gabriel akan berpikir sejauh itu. Obrolan mereka lantas terputus ketika terdengar suara kuda dari arah depan. Acelia pamit untuk membantu Caravan yang baru datang dari berbelanja, sedangkan Gabriel memilih mengikutinya dari belakang. "Apakah Pangeran sudah cukup beristirahat?" tanya Caravan begitu melihat Gabriel yang berjalan di belakang Acelia. Gabriel mengangguk, "Sudah," jawabnya. Lalu matanya memindai pada bahan makanan yang dibeli dalam jumlah banyak. Padahal mereka hanya akan tinggal bertiga saja di rumah ini. "Apakah ini tidak terlalu banyak untuk kita bertiga?" tanya Gabriel heran. Pertanyaannya justru membuat Caravan dan Acelia saling pandang. "Ini semua adalah untuk Pangeran. Untuk saya dan Acelia sudah ada perbekalan yang kami bawa dari Istana," ralat Caravan. Gabriel sedikit terkejut, namun ini bukan hal yang aneh karena di dalam istana pun makanan untuk para pesuruh istana dengan sorang bangsawan di bedakan jenisnya. "Tidak usah. Buat semua makanan ini menjadi makanan untuk kita bertiga, sedangkan persediaan yang kalian bawa dadi istana, berikan itu pada para orang tua," titahnya. Meskipun sempat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Gabriel, namun pada akhirnya Acelia dan juga Caravan mengangguk patuh. "Dan satu lagi, jika nanti kamu hendak pergi ke kota sebelah, tolong belikan aku bibit tanaman sayur dalam berbagai jenis. Dan pastikan bibit itu adalah bibit dari tanaman dengan kualitas baik," pesan Gabriel. Caravan menoleh bingung pada tuannya, kemudian beralih pada Acelia yang masih menunduk. "Pangeran bilang, Pangeran hendak bercocok tanaman di halaman belakang," jelas Acelia yang mengerti kebingungan Caravan. Untuk kesekian kalinya Caravan terkejut. Begitu banyak keinginan Gabriel yang sebenarnya bertolak belakang dengan sifat bangsawan, apalagi Gabriel bukanlah bangsawan biasa melainkan putra dari orang termulia di Kerajaan itu. Namun Caravan tidak memiliki hak apapun untuk membantah. Lagipula semua yang dilakukan tuannya adalah kebaikan, kebaikan yang sering dirinya lihat dari mendiang Permaisuri Garcia yang merupakan ibunda dari Pangeran Gabriel. * "Pangeran Putra Mahkota sudah memulai pelatihan resmi tentang Kerajaan, pelajaran yang Putra Mahkota dapatkan juga lebih banyak dari sebelumnya. Tersisa sekitar 8 bulan lagi sampai upacara agung kembali diadakan. Selir Lauretta memastikan jika apa yang terjadi di upacara Pangeran Gabriel tidak akan terulang di upacara Pangeran Putra Mahkota Falerious." Balendin tidak menanggapi laporan yang baru saja dikabarkan oleh Kristof, ajudannya. Matanya hanya terus menekuri buku yang dia pegang, sebuah kitab kuno yang membahas tentang berbagai macam sihir yang bisa muncul di tubuh manusia. "Untuk pemilihan calon permaisuri yang akan mendampingi Pangeran Falerious setelah dewasa, lebih dari lima negara mengirimkan informasi diri tentang putri mereka. Yang Mulia Raja dapat meminta mereka datang kapan saja," lanjut Kristof. "Bagaimana keadaan anak itu?" Kristof mengulum senyum saat akhirnya Balendin membuka suara. "Pangeran Putra Mahkota tampaknya sedikit terkejut dengan kegiatan yang lebih banyak dari biasanya. Walaupun begitu menurut para guru, Pangeran Putra Mahkota--" "Bukan dia yang aku tanyakan. Tapi Gabriel." "Maaf?" Kristof terkejut setelah mendengar ucapan dari Balendin. Ia beberapa kali menyentuh telinganya, seakan apa yang baru saja dia dengar itu hanyalah efek karena dia sudah tua. "Bagaimana keadaan Gabriel? Apakah kamu tidak mengetahui tentang dia sampai kamu tidak menjawab pertanyaan ku?" ulang Balendin dengan nada dingin. Kristof langsung menundukkan kepalanya dalam. "Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba sedikit terkejut karena Yang Mulia kebanyakan tentang Pangeran Gabriel," akunya jujur. Balendin yang sejak tadi tidak mengangkat pandangannya itu, akhirnya mengangkat kepala. "Kenapa terkejut? Apakah hanya karena dia diasingkan lantas dia bukan lagi anakku?" Kristof merasa dirinya dalam masalah jika berbicara asal lebih dari ini. Ia kembali meminta maaf dan menyesali perkataannya. "Dari yang saya dengar, sesaat setelah Pangeran tiba di rumah bangsawan, sekelompok orang tua yang merupakan penduduk asli kota itu mendatangi Pangeran." Kerutan di kening Balendin terlihat samar, matanya menyipit seakan tidak mengerti dengan apa yang baru saja dilaporkan oleh ajudannya itu. "Apa maksud dari itu? Apakah mereka menolak kedatangan Gabriel kesana?" Kristof menggeleng pelan. "Justru sebaliknya, Yang Mulia. Mereka menyambut kedatangan Pangeran Gabriel dengan baik, lalu dayang Pangeran mengajak para orang tua itu masuk ke rumah bangsawan untuk bertemu langsung dengan Pangeran," jelas Kristof. Balendin menatap tajam pada Kristof. Dirinya bahkan sampai menutup buku yang sejak tadi tidak luput dari perhatiannya. "Itu penghinaan terhadap keluarga Kerajaan. Berani-beraninya dayang itu membiarkan mereka bertemu dengan Gabriel secara langsung! Seret dayang itu kesini dan eksekusi mati," titahnya. Kristof memejamkan matanya sekilas sebelum kemudian menunduk dengan meletakan satu tangannya di d**a. "Laksanakan, Yang Mulia," ujarnya patuh. "Tapi sebelum itu, Selir Lauretta berkali-kali meminta untuk bertemu dengan Yang Mulia. Saya sudah pernah menolak dengan alasan bahwa Yang Mulia sedang sibuk dengan masalah Kerajaan, namun Selir Lauretta berkata bahwa ini adalah hal yang mendesak." Balendin menghela napas berat, sebuah perilaku yang membuat Kristof justru menahan napasnya. Dia sudah melayani Balendin sejak Balendin masih Putra Mahkota, dan sejak dulu Kristof mengetahui walaupun Balendin adalah sosok yang dingin pada permaisuri, namun Balendin tidak pernah menolak segala macam permintaan yang datang dari mendiang permaisuri. Berbeda dengan Lauretta, secara terang-terangan semenjak kejadian dimana Balendin tanpa sengaja meniduri Lauretta hingga hamil, Balendin tidak pernah memperlakukan Lauretta dengan baik. Bahkan posisi yang didapat Lauretta yang dulunya adalah kepala pelayan dan berubah menjadi kepala Selir hanya kerena desakan dari pada bangsawan dengan alasan menjaga citra baik Kerajaan dengan tidak menelantarkan wanita yang memiliki keturunan dari Raja. "Suruh dia datang," titah Balendin sambil lalu. Kristof langsung menunduk dan kemudian pamit undur diri. Langkahnya bergerak mundur hingga mencapai pintu kamar dan kemudian berbalik. Dua tugas sudah ia kantongi, pertama dirinya harus memerintahkan pada Ksatria untuk membawa dayang Gabriel dan mengeksekusi matinya. Dan yang kedua adalah memberitahu Selir Lauretta untuk menemui Yang Mulia Raja. Namun nampaknya Kristof tidak harus repot-repot mengunjungi istana Selir karena baru beberapa langkah dirinya meninggalkan kamar Yang Mulia, wanita itu sudah berjalan dari arah yang berlawanan dan semakin mendekat ke arahnya. Kristof hanya tersenyum sopan untuk menyapa, sedangkan wanita itu mengangkat dagunya dengan tinggi seakan ingin menegaskan perbedaan status di antara keduanya. "Yang Mulia Raja mengijinkan anda untuk berkunjung," beritahu nya yang langsung membuat Selir itu tersenyum senang. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD