10

1532 Words
"Saya harus merapikan rumah ini agar lebih layak ditempati Pangeran," ujar Acelia dengan meringis. Sebuah rumah yang terletak di beberapa meter saja dari pusat kota. Bangunan yang paling besar diantara semua bangun yang ada dan lebih terkesan seperti sebuah kediaman bangsawan yang ditinggalkan dalam waktu yang lama. Menurut pengurus istana, rumah ini dulunya ditempati oleh keluarga bangsawan yang diasingkan dan kemudian meninggal. Sejak saat itu rumah ini hanya ditempati oleh orang-orang yang singgah saat harus melalui kota tua sebelum mencapai istana. "Aku juga akan membantu membersihkan rumah ini." Sebuah kalimat yang kemudian membuat Acelia dan Caravan berlutut di hadapan Gabriel. "Jika Pangeran melakukan itu, maka hidup kami sudah tidak berguna," ujar Caravan. Acelia mengangguk, "Pangeran hanya perlu tunggu sebentar. Saya akan merapikan kamar Pangeran dengan cepat sehingga Pangeran bisa beristirahat saat kami membersihkan ruangan yang lain," katanya. Gabriel berdiri tanpa bisa dibantah. Dia tulus ingin membantu, namun jika dia melakukan itu bisa-bisa kedua orang yang sedang berlutut di hadapannya akan langsung bunuh diri. "Baiklah," ujarnya mengalah. Kemudian dengan gerakan cepat, Caravan berdiri dan berjalan tergesa ke sudut ruangan. Dengan tangannya yang kokoh, ia memindahkan sebuah kursi mewah yang tertutup debu itu ke hadapan Gabriel. Mengebasnya dengan tangan sebelum kemudian melapisi dengan kain putih. "Silahkan duduk, Pangeran." Gabriel mengangguk, dengan kaki kecilnya yang menggantung saat duduk dia memperhatikan Caravan dan Acelia yang mulai bergerak. Kedua orang itu mulai membagi tugas, Acelia yang langsung masuk ke salah satu kamar yang akan menjadi kamar bagi Gabriel dan membersihkannya, sedangkan Caravan diminta untuk membersihkan bagian dapur agar begitu selesai berbenah, Acelia akan langsung memasak makanan untuk Gabriel makan. Sedangkan dalam duduknya, Gabriel hanya bisa terdiam sambil memindai seisi ruangan yang nyaris semuanya tertutup debu dan juga sarang laba-laba. Walaupun begitu rumah ini masih tampak kokoh dan sangat layak untuk ditinggali, yang perlu dilakukan hanya membersihkan dan membuang barang-barang yang sekiranya sudah tidak terpakai. "Pangeran, kamar Pangeran sudah bisa ditempati," lapor Acelia. Dayang itu tersenyum lebar meskipun keringat sebiji jagung berjatuhan dari wajah dan keningnya. Gabriel tersenyum, dia mengangguk dan langsung bergerak turun. "Kalau begitu aku akan beristirahat sebentar," katanya. Langkahnya langsung menuju pada sebuah ruangan yang tadi dibersihkan oleh Acelia. Sebuah ruangan kamar yang besar meskipun tidak sebesar kamarnya di istana, ada satu buah lemari kayu tinggi yang tampak bersih. Juga sebuah kursi baca yang dihadapkan ke jendela. Gabriel tersenyum, sepertinya Acelia berusaha membuat kamar ini mirip dengan kamar milik Gabriel di istana. Ketika dia naik ke atas ranjang, lelahnya sepanjang perjalanan baru terasa. Ia merebahkan diri, matanya menatap awang-awang yang masih ditempati sarang laba-laba di berbagai sisi. Masih sulit baginya untuk percaya jika kini dia akan tinggal di luar istana. Padahal sejak dulu tidak sejengkal kaki pun Gabriel diijinkan untuk keluar dari lingkungan istana karena itu bisa membahayakan dirinya yang merupakan calon putra mahkota. Namun yang terjadi kini justru dia diusir keluar dari istana dan dibiarkan berkeliaran di luas istana yang dulu menurut mereka berbahaya. Kantuk menyerang Gabriel, matanya terasa sangat berat meskipun dia merasa bersalah pada Caravan dan juga Acelia yang masih bekerja keras membersihkan seisi rumah. Padahal Gabriel tahu bukan hanya dirinya yang lelah, tapi kedua pengikut setianya bahkan lebih lelah daripada dirinya. Namun begitu Gabriel gagal menahan kantuk yang dirasakan nya dan akhirnya jatuh terlelap. * Entah berapa lama dirinya tertidur saat Gabriel terjaga dadi tidurnya karena mendengar suara berisik dari arah luar kamar. Dia bangkit, tangan kecilnya mengusap kedua mata yang masih terasa mengantuk. Lalu dia berjalan keluar, langkahnya terhenti ketika menyadari bahwa kini rumahnya tidak hanya terisi oleh dia dan kedua pengikutnya melainkan ada banyak sekali orang tua yang duduk saling tertawa dan memakan camilan yang Gabriel yakin disajikan oleh Acelia. "Oh! Pangeran sudah bangun?" Acelia adalah yang pertama menyadari keberadaan dirinya. Wanita itu langsung berjalan cepat ke arahnya, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Gabriel berjalan. "Seharusnya Pangeran tidur lebih lama," katanya. Kemudian matanya membulat dan menatap panik pada Gabriel, "apakah kami terlalu berisik sehingga menggangu waktu istirahat Pangeran?" tanyanya. Gabriel menggeleng, meskipun pada kenyataannya memang seperti itu. Dia tidak ingin membuat Acelia merasa bersalah hanya karena tidak sengaja membuat dirinya terbangun. "Siapa mereka?" tanya Gabriel sambil kembali menatap para orang tua yang sedang memandang ke arahnya dengan tatapan penasaran itu. Acelia tersenyum lebar, lalu dengan pelan menarik tangan Gabriel hingga berhasil sampai di depan para orang tua itu. "Pangeran, mereka ini adalah orang-orang yang merupakan penghuni asli kota ini. Mereka tidak pindah kemanapun di saat penduduk yang lain memilih pindah setelah ada wabah menyerang kota ini sepuluh tahun yang lalu. Dan mereka juga yang membuat kota ini menjadi terkenal dengan para lansia yang menghuni nya, karena yang lain yang lebih muda dari mereka sudah memilih pindah ke kota yang lebih baik," terang Acelia dengan semangat. Gabriel terdiam, dia baru mengerti mengapa kota ini juga disebut sebagai kota tua. Bukan karena kota ini berumur ratusan tahun atau sebagainya, tapi karena semua penduduk kota ini adalah orang tua seperti orang-orang yang kini tersenyum ke arahnya. "Saya tidak menyangka di akhir hidup saya bisa bertemu dengan Pangeran. Ini sebuah kehormatan yang luar biasa, dan rasanya kalaupun saya mati saat ini saya juga tidak akan menyesal," ujar salah seorang wanita tua dengan senyum lebar yang menampilkan giginya yang kosong. Gabriel balas tersenyum, "Nenek tidak boleh mati sekarang karena saya membutuhkan kalian untuk membuat kota ini tetap ada," balasnya. Wanita tua yang lain kemudian bersorak. "Lihatlah! Lihatlah bagaimana anak lelaki yang tampan ini berbicara seperti orang dewasa!" Kemudian binar di mata wanita itu meredup, "Nak, pasti selama ini sulit hidup di dalam istana. Harusnya Pangeran masih bermain dan berlarian kesana kemari bersama teman-teman yang lain, seperti yang cucuku lakukan ketika kecil," katanya prihatin. Ucapan itu menyentuh hati Gabriel, dia tersenyum dan kemudian menundukkan kepalanya. "Mulai sekarang saya akan lebih banyak bermain bersama nenek. Jadi mohon bantuannya." Para orang tua itu kembali bersorak, namun beberapa dari mereka tampak hanya asik menghabiskan camilan yang terhidang di atas meja. "Pangeran, saya sudah menyiapkan makanan untuk Pangeran," bisik Acelia pelan. Gabriel menoleh, kemudian dia baru menyadari ada yang kurang di rumah ini. "Dimana Caravan?" tanyanya. "Caravan sedang pergi ke kota sebelah untuk membeli bahan makanan. Persediaan yang kita bawa dari istana sudah mulai menipis karena sebagian kita makan dalam perjalanan kesini, jadi saya meminta Caravan untuk langsung membeli bahan yang lain agar kita tidak kehabisan," jawab Acelia. Rupanya begitu. Gabriel merasa tidak tertidur terlalu lama, tapi rumah ini sudah tampak lebih layak ditinggali daripada saat mereka pertama sampai. Ditambah Caravan yang menjadi kusir kuda selama beberapa hari dan kemudian membantu membersihkan rumah, sekarang sudah pergi lagi ke tempat yang lumayan jauh untuk membeli makanan. Padahal yang dilakukan oleh Gabriel justru hanya tidur dan tidak melakukan apapun. "Saya akan menyiapkan makanan untuk Pangeran." Gabriel menggeleng ketika Acelia sudah siap untuk bergegas ke dapur. "Nanti saja. Aku akan makan denganmu dan juga Caravan saat Caravan sampai," tolak nya. Ia sudah tahu jika Acelia akan menolak, namun Gabriel tetap bersikeras. Dirinya tidak ingin makan sebelum Acelia dan Caravan yang lebih bekerja keras makan juga. "Biarkan aku menemani para orang tua ini dulu. Lagipula tidak sopan jika aku harus makan sedangkan mereka tidak," lanjutnya lagi. Acelia akhirnya tidak bisa membantah. Dirinya ikut duduk di lantai, sedangkan Gabriel ia larang untuk duduk di lantai bersama dirinya dan para orang tua. "Apakah kalian sudah makan?" tanya Gabriel. Para orang tua yang tadi sedang saling mengobrol itu berhenti, mereka menoleh pada Gabriel yang bertanya. "Kami sudah makan, tapi karena camilan yang disajikan oleh anak ini sangat enak, kamu jadi tidak bisa berhenti," jawab salah satunya sambil menunjuk Acelia. Acelia tertawa kecil mendengar pujian dari salah satu orang tua itu. Sedangkan Gabriel hanya tersenyum kecil, merasa senang karena keadaan rumah ini menjadi ramai berkat kehadiran dari para orang tua. "Dengan apa kalian biasa makan?" tanya Gabriel lagi. Ia bertanya karena hampir dari semua orang tua yang ada disini memiliki badan yang kurus. "Kami makan ubi atau kentang. Kami taburkan sedikit gula atau garam yang kami punya saat memakannya," jawab yang lain. Gabriel terkejut, dia menoleh pada Acelia yang juga berwajah sedih mendengar jawaban dari orang tua itu. "Kalian sudah tidak punya keluarga?" tanya Acelia kali ini. Serempak, mereka semua menggeleng. Namun salah satu dari mereka hanya terdiam dengan senyum kecil. Gabriel menyadari perbedaan dari satu orang itu. "Nenek masih punya keluarga?" tanyanya. Nenek itu mengangguk dengan senyum lebar. "Aku punya satu orang cucu yang mungkin seumuran denganmu. Saat ini dia tinggal bersama dengan pamannya untuk berlatih menjadi Ksatria dan biasanya akan datang berkunjung saat akhir pekan atau di hari tertentu," jawabnya. Senyum polos nenek itu saat menceritakan soal cucunya membuat Gabriel ikut tersenyum juga. Dia merasa senang entah apa alasannya, karena sejak kecil dia tidak pernah melihat nenek atau kakeknya. Ayah dari Yang Mulia Raja dan juga ibu suri meninggal sejak ia belum lahir, sedangkan kakek nenek dari pihak ibunya tidak pernah terlihat mengunjungi istana. "Dia pasti anak yang baik kan?" Si nenek mengangguk menjawab pertanyaan dari Acelia. "Dia menangis saat pamannya akan membawanya. Dia meminta agar pamannya juga membawaku, tapi aku menolak karena aku tahu keadaan anakku yang satu itu juga kesulitan. Maka aku hanya meminta dia berkunjung setiap akhir pekan saja," jawabnya lagi. Hanya dengan obrolan kecil dan tingkah apa adanya dari para nenek itu, Gabriel merasa hatinya menghangat dan tidak lagi kesepian. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD