9

1538 Words
Suara kereta kuda itu menjadi satu-satunya yang terdengar saat melewati sebuah hutan yang terasa kelam dan senyap. Bahkan suara jangkrik yang seharusnya terdengar, tidak muncul sama sekali. Gabriel yang harus tertidur di dalam kereta, justru terbangun saat menyadari ada yang aneh dalam hutan yang kini dilewatinya. Ia menoleh ke samping, mendapati Acelia yang sedang tertidur dengan bersandar pada badan kereta kuda. Tangannya menyibak tirai jendela, memperhatikan keadaan sekitar dengan seksama. Tak disangka jika hanya dengan gerakan kecilnya itu, Caravan yang sedang mengendarai kuda dengan tenang menyadari keberadaannya. "Pangeran sudah bangun?" tanya Caravan dengan suara yang menggema. Gabriel melongokkan kepalanya keluar, "Kenapa keadaan hutan ini sangat tenang? Apa ini tidak berbahaya?" tanyanya dengan nada sedikit cemas. Caravan berseru agar membuat kudanya berjalan lebih cepat. "Tidak masalah, Pangeran. Konon di hutan ini tinggal seorang penyihir tua yang mengasingkan dirinya sendiri karena tidak suka dengan peraturan yang ada di menara sihir, demi bisa tinggal dengan nyaman di hutan ini beliau memasang sihir pelindung yang membuat hutan ini tidak bisa dimasuki oleh binatang buas ataupun orang-orang dengan niat jahat," terang Caravan. Gabriel membulat kan mulutnya takjub. Karena sejak lahir hanya menghabiskan waktu di dalam istana dengan segala pengajaran yang dia dapat dan juga latihan yang lebih keras daripada anak lain, membuat dirinya kadang tidak mengetahui apa yang terjadi di luar Istana. "Apa ada yang pernah bertemu dengan Penyihir itu?" tanya Gabriel dengan suara pelan seakan dia takut jika penyihir yang dimaksud akan mendengar ucapannya. Bisa Gabriel lihat walau dalam gelap malam saat Caravan sedikit menoleh dengan senyum kecil. "Saya kurang tahu soal itu, Pangeran. Tapi dari yang saya dengar tidak banyak yang berhasil bertemu dengan beliau karena beliau memang menghindar dari bertemu dengan manusia lain," jawabnya. Karena merasa takjub dengan cerita yang baru saja dia dengar, Gabriel tanpa sadar semakin melongokkan kepalanya keluar dari jendela. Meski ada rasa takut melihat betapa kelamnya hutan yang sedang mereka lewati namun dia tidak merasakan jenis ancaman apapun karena cerita yang ia dengar dari Caravan. Dalam benaknya jika memang penyihir itu ada, maka Gabriel bisa membayangkan betapa hebatnya dia karena bisa memasang sihir pelindung di hutan sebesar ini. Lalu suara krasak yang ketara membuat Caravan bahkan sampai memelankan laju kereta kudanya. Gabriel dengan sigap langsung masuk kembali ke dalam kereta kuda karena mulai merasa panik jika sesuatu yang buruk kembali terjadi pada mereka. "Sepertinya seseorang yang barusan kota bicarakan sedang memperhatikan kita diam-diam, Pangeran," bisik Caravan dari luar kereta. Degup jantung Gabriel langsung berpacu usai mendengar kalimat yang diucapkan oleh kstaria nya itu. Dia memang sempat berpikir ingin bertemu walau hanya sekali dengan penyihir hebat yang mampu menciptakan sihir besar di hutan ini, namun ketika Caravan mengatakan bahwa orang itu mungkin saja sedang memperhatikan mereka membuat bulu kuduk Gabriel berdiri dan jantungnya berdegup tidak seperti biasanya. "Apakah..apakah dia akan muncul di hadapan kita?" tanya Gabriel gugup. Beberapa saat yang terdengar hanya desau angin dan juga langkah kaki kuda yang terasa pelan. Tidak ada jawaban dari Caravan yang ditandai barusan membuat Gabriel sudah hendak membangunkan Acelia jika saja kemudian suara Caravan tidak kembali  terdengar. "Sepertinya tidak, Pangeran. Seperti yang saya katakan beliau hanya memperhatikan kita diam-diam karena kalau kita memang berbahaya dan memiliki niat buruk kita pasti tidak akan berhasil masuk ke dalam hutan ini dan akan terpental ke tempat lain," jawabnya agak sedikit terlambat. Gabriel menghembuskan napasnya lega, dia kira terjadi sesuatu pada Caravan karena pria itu sempat terdiam tanpa menjawab pertanyaannya. Ternyata sepertinya Caravan memilih memperhatikan keadaan sebelum menjawab pertanyaan darinya. "Ini adalah perjalanan terakhir kita, Pangeran. Setelah keluar dari hutan ini maka kita akan sampai di kota tua, kota yang akan kita tinggali untuk selanjutnya," lapor Caravan. Gabriel tersenyum kecil. Bahkan Caravan juga mengatakan 'untuk selanjutnya' seakan ksatria nya itu tidak percaya diri untuk kembali tinggal di istana setelah mereka diusir keluar, lebih tepatnya dirinya lah yang diusir keluar. "Baiklah," jawab Gabriel pelan. __ "Ini sudah dua jam dan dia belum kembali. Itu artinya dia gagal dan mati di tangan Ksatria itu kan?" Lauretta tanpa sadar menggigiti kuku jarinya, sebuah kebiasaan yang dia lakukan sejak dulu ketika dirinya cemas. Seorang pria berjubah yang duduk berhadapan dengannya, mengangguk pelan. "Lagipula dari awal saya sudah menduga tidak akan semudah itu untuk melenyapkan Pangeran. Caravan adalah Ksatria terbaik yang dimiliki oleh Kerajaan dan Pangeran sendiri memiliki keahlian pedang yang dapat menandingi Caravan. Meski Pangeran masih kecil namun bukan hal sulit jika harus melenyapkan satu orang saja yang berniat membunuhnya," terangnya. Lauretta dengan cepat menatap tajam pada pria itu. "Jadi maksudmu rencana ku yang mau melenyapkan Pangeran itu mustahil? Kamu juga berpikir jika aku bodoh?" cecarnya tidak senang. Pria itu langsung menegakan tubuhnya dengan sikap waspada. "Mana berani saya berlaku seperti itu pada Yang Mulia calon permaisuri. Saya hanya mengusulkan agar kita mempersiapkan rencana yang lebih matang dan juga lebih bagus dari ini, dengan begitu peluangnya akan semakin besar bagi kita untuk meniadakan segala macam yang menjadi halangan," kilahnya. Tanpa mau mendengar ucapan pria itu lebih jauh, Lauretta mengangkat tangannya dan mengibaskan ke arah pintu. "Keluarlah!" titahnya. __ "Apa ibu masih tidak bisa ditemui?" Dayang itu menggeleng dengan wajah sedih. Dia merasa prihatin pada tuan kecilnya yang bahkan belum tahu apa-apa itu sudah dipaksa melakukan hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Bahkan ketika Falerious menunjukan raut sedih ketika Gabriel diusir dari istana, ibunya langsung mengancam tidak akan menemui Falerious lagi jika Falerious masih bertingkah kekanakan seperti itu. "Apakah Pangeran ingin saya temani jalan-jalan?" tanya dayang itu. Falerious tidak langsung menjawab, dirinya hanya terdiam sambil memandangi sebuah buku dongeng di meja di hadapannya. Buku itu adalah buku kesukaannya, dan sejak dulu dia selalu ingin meminta agar ibunya membacakan buku dongeng itu sekali saja seperti yang dilakukan oleh Ibunda Gabriel setiap Gabriel akan tidur. Namun ibunya yang bahkan bukan siapa-siapa lebih sibuk daripada Ibunda Gabriel yang merupakan seorang Permaisuri dulu. "Bisakah kita mengunjungi taman yang selalu dikunjungi oleh Kakak?" tanya anak kecil itu. Sang dayang terkejut. Dia beberapa kali membuang muka karena merasa bingung bagaimana untuk menjawab pertanyaan dari tuannya. Taman lotus adalah taman peninggalan Permaisuri dan semenjak meninggal hanya Gabriel yang dapat mengunjungi tempat itu karena Gabriel menolak siapapun yang hendak datang ke sana bahkan Raja sekalipun. "Kita akan mendapat hukuman jika kita pergi ke sana, Pangeran," jawab Dayang itu dengan suara pelan. Bertambah lah raut sedih di wajah anak itu. Sudah hilang keinginannya untuk pergi kemana pun karena semua tempat yang ingin ia kunjungi justru tidak dapat ia datangi. Sang dayang pun merasa bersalah karena tidak bisa memberikan penghiburan yang layak bagi tuan mudanya. Dia tidak berani jika harus membawa Falerious ke taman yang bahkan Raja saja tidak bisa seenaknya masuk ke dalam sana. Baru ia ingin memberikan saran baru pada Falerious saat pintu kamar terbuka dengan tiba-tiba. Sosok Lauretta dengan gauh merah memanjang memasuki kamar dengan tingkah yang tidak biasa. Bibirnya tersenyum cerah, namun langkah kakinya tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari bangsawan. Langkahnya tampak terburu-buru dan juga menimbulkan bunyi yang berisik. "Keluar!" perintah wanita itu pada dayang. Hingga di ruangan itu kini hanya tersisa dirinya dengan si anak. Falerious jelas merasa bahagia melihat ibunya datang padanya. Padahal yang dia pikir ibunya masih marah dan tidak mau bertemu dengan dirinya untuk waktu yang lama. "Aku pikir ibu tidak mau menemui ku," ujarnya dengan senyum cerah. Lauretta balas tersenyum, tangannya naik membelai kepala anak semata wayangnya itu. Anak yang dia dapatkan dengan susah payah hingga membawanya pada posisi ini. "Mana mungkin Ibu tidak mau menemui Yang Mulia Putra Mahkota? Tentu sebuah kebanggan bagi Ibu untuk bisa menemui Yang Mulia," ujarnya dengan lembut. Namun kalimatnya itu membuat Falerious kebingungan. Senyum di wajah anak itu langsung luruh dan hanya memandangi ibunya dengan tatapan tidak mengerti. "Apa Ibu mabuk? Apa saat ini karena mabuk Ibu jadi melihatku sebagai Kakak? Apa Ibu merindukan Kakak?" tanyanya. Lauretta hampir kehilangan kontrol dirinya ketika anaknya sendiri kembali membahas sosok Pangeran yang sangat ingin dilenyapkan nya. Namun karena dirinya tidak ingin membuat Falerious ketakutan, maka yang dia lakukan adalah mempertahankan senyum di wajahnya. "Tidak, Yang Mulia. Ibu sama sekali tidak mabuk. Yang Ibu maksud sebagai Putra Mahkota adalah Yang Mulia Falerious, bukan orang lain," balasnya memberi pengertian. Wajah Falerious tampak sangat terkejut. Dia bahkan tanpa sadar bergerak mundur, menciptakan jarak dengan ibunya. "Bagaimana...bagaimana mungkin aku yang jadi Putra Mahkota? Kakak adalah putra Mahkota, dan kakak akan kembali. Bukankah begitu, Ibu?" Wajahnya tampak sedih, namun kemudian berubah ketakutan saat melihat tatapan tajam ibunya. Semakin Falerious bergerak mundur dan menjauh, semakin keras pula saat Lauretta menarik tangannya untuk mendekat. "Sakit Ibu.." Bahkan suara rintihannya tidak menampilkan iba sedikitpun di wajah ibunya itu. Yang ada hanya tatapan penuh amarah dan juga tidak suka yang ditunjukan pada dirinya. "Sudah berapa kali Ibu bilang, kamu lah yang akan menjadi Putra Mahkota. Kamu yang akan membawa Ibu ke posisi paling tinggi di Kerajaan ini setelah kamu berhasil menggantikan tahta menjadi Raja Aloysius. Jangan menjadi bodoh dam mengkhawatirkan saingan mu, kepergian Pangeran adalah sebuah berkah bagi kita. Dengan begitu kamu bisa dengan mudah menggantikan posisinya sebagai Putra Mahkota. Jadi berhenti bertindak seperti anak rendahan yang memiliki belas kasih yang tidak berguna, kamu terlahir untuk menjadi Raja selanjutnya. Apa kamu mengerti?" Falerious sekuat tenaga menahan sakit di pergelangan tangannya. Ia tidak boleh menangis dan tidak bisa menangis. Maka yang dia lakukan adalah mengangguk dengan segera agar ibunya bisa melepaskan cengkraman di tangannya. ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD