8

1508 Words
Perjalanan itu terasa sunyi. Hingga Gabriel benar-benar melangkah keluar dari istana, tidak ada satu orang pun yang mengantar kepergiannya. Para pekerja istana yang selama ini menundukkan kepala dan menghormati setiap langkah kaki miliknya, kini berpaling muka seakan Gabriel bukanlah siapa-siapa. Yang ditungganginya memang lah kereta kuda mewah yang hanya diperuntukkan bagi keluarga Kerajaan, namun itu hanyalah seperti sebagai pemberian terakhir dari pihak Kerajaan untuk dirinya yang dibuang. Lagi-lagi yang Gabriel syukuri adalah keberadaan dua orang yang dengan setia mengikutinya. Bahkan hanya dengan Caravan dan juga Acelia, Gabriel merasa cukup. Dia tidak membawa kusir dan hanya meminta agar Caravan yang mengendarai kuda itu untuknya. Perjalanan yang begitu lama dan panjang karena memakan waktu tiga hari, terasa melelahkan hingga Gabriel memutuskan untuk beristirahat di sebuah penginapan di hari kedua perjalanan mereka. "Saya masih sanggup mengendarai kereta kuda ini, Pangeran. Jika Pangeran lelah, Pangeran hanya perlu tidur di dalam kereta," ujar Caravan meyakinkan. Tapi Gabriel menolak, dia tidak ingin hanya dirinya sendiri yang bisa beristirahat sedangkan Caravan harus bekerja keras memacu kuda di tengah malam dan terik matahari. Sebuah tudung hitam ia kenakan agar tidak dikenali oleh banyak orang. Bagaimanapun wilayah tempatnya berhenti masih lah bagian dari wilayah Kerajaan Aloysius. Dan ketika hendak menginap pun, Caravan beserta Acelia mengaku sebagai orang tua dari Gabriel yang masih berusia delapan tahun. "Kamarnya ada di atas, kamar kita bertiga bersebelahan," beritahu Acelia sambil memegang tiga kunci. Caravan menoleh dengan ragu pada tuannya, beberapa kali matanya melirik pada kunci yang dipegang oleh Acelia. "Pangeran, Saya tidak perlu.." "Sir Caravan, di antara kita, kamu lah yang membutuhkan waktu istirahat paling banyak. Jadi tolong jangan menolak apapun lagi, kita tidak sedang terburu-buru. Tidak akan ada yang menunggu kita di sana jadi kita bisa pelan-pelan selama perjalanan. Kamu tidak perlu memaksakan dirimu," potong Gabriel cepat. Akhirnya Caravan menutup rapat mulutnya dan hanya berjalan di samping kanan Gabriel saat menaiki tangga. Pria dengan badan besar dan tinggi menjulang itu lebih dulu masuk ke dalam kamar yang akan ditempati oleh Gabriel, memeriksa setiap sudutnya untuk memastikan keamanan dari tuan mudanya itu. "Sudah aman, Pangeran," lapornya. Dia bergerak ke sisi tembok kayu dan berdiri di depannya. Tangannya mengetuk tembok kayu itu beberapa kali hingga menimbulkan bunyi yang khas. "Jika sesuatu terjadi, Pangeran hanya perlu berjalan ke sisi ini dan mengetuk temboknya beberapa kali. Maka saya akan langsung datang," katanya kemudian. Kemudian dengan lirikan matanya, dia juga memberi tahu hal yang sama pada Acelia karena Caravan sengaja meminta kamar yang ada di tengah antara kamar Gabriel dan Acelia. "Aku mengerti," balas Gabriel. Barulah setelahnya Acelia dan Caravan keluar dari kamarnya dan memasuki kamar mereka masing-masing. Gabriel dengan segera melepas tudung yang ia kenakan, dengan kursi kayu kecil yang ada di depan meja kecil, dia meletakan tudung miliknya pada gantungan. Setelahnya ia turun dengan hati-hati dari atas kursi dan kemudian naik ke atas ranjang. Ranjang ini bahkan terasa sangat kaku dan kecil jika dibandingkan dengan ranjang miliknya yang ada di istana. Namun kembali dia disadarkan bahwa itu bukan lagi rumahnya. Meskipun Raja berkata bahwa dirinya akan menunggu Gabriel kembali ke Istana tapi bagi Gabriel yang tidak memiliki kekuatan suci itu hanya seperti sebuah bujukan dan hiburan yang ditunjukan pada anak kecil. Karena pada kenyataannya dia tidak akan bisa kembali. __ Rasanya Gabriel baru beberapa menit saja memejamkan mata saat telinganya menangkap bunyi berisik dari sisi kanan tempat tidurnya. Ia tidak langsung membuka mata, namun Gabriel mengintip sedikit tentang apa yang terjadi di kamarnya saat ini. Bayangan seseorang berjubah hitam adalah yang pertma kali tertangkap matanya. Orang itu hanya berdiri di sisi dirinya tidur, namun Gabriel sangat mengerti jika hanya menunggu selama beberapa detik selanjutnya saja nyawanya bisa melayang. Dan benar saja apa yang dipikirkannya, karena di detik selanjutnya sebuah belati sudah siap menembus jantungnya jika saja Gabriel tidak berguling ke sisi lain untuk mengindari tusukan belati itu. Caravan tadi bilang jika Gabriel hanya perlu berdiri di sisi tembok dan mengetuk agar Caravan bisa langsung datang. Namun beruntungnya, ksatrianya itu bahkan sudah membuka pintu kamarnya hanya karena mendengar suara berisik dari kamar Gabriel saja. "Pangeran!" teriaknya. Dengan gerakan cepat, pria itu langsung berlari ke depan dan menendang soson berjubah itu hingga tersungkur ke pojok kamar. Sembari bergerak melawan orang itu, tangan Caravan mengetuk dengan keras tembok kayu di sisi kiri kamar Gabriel. Memberi tanda pada Acelia agar langsung datang kesini. Dan yang diinginkannya terjadi saat dengan menggunakan baju yang sama seperti tadi, Acelia berderap datang dan langsung terkejut melihat keadaan kamar yang kacau. Dayang itu dengan sigap memeluk Gabriel yang berdiri di pintu, sedangkan Caravan kembali berjalan maju dan dengan gerakan cepat menusukan belati miliknya ke tubuh penyusup itu. Gabriel hanya menyaksikan itu dari tempatnya berdiri. Adegan demi adegan terputar begitu saja di hadapannya. Caravan yang sedang menunduk, memeriksa sesuatu dari dalam tubuh pria berjubah yang sudah tidak bernyawa itu kemudian menoleh padanya. "Seperti yang diduga, ini adalah suruhan dari seseorang di istana," katanya. Gabriel mengenalkan kedua tangannya. Dirinya nyaris membahayakan diri sendiri dan juga orang-orang setianya jika terlambat sedikit saja. Dia memang pandai berpedang, namun dengan tubuh kecilnya itu ia masih kalah jauh jika harus bertarung secara langsung. Dan lagi tanpa menebak atau mencari tahu, Gabriel bisa langsung tahu siapa orang yang berniat membunuhnya saat masih dalam perjalanan menuju kota tua. Hanya ada satu orang yang memiliki keperluan semacam itu, seseorang yang merasa terancam dengan keberadaanya sebagai mantan calon putra mahkota, seseorang yang juga menginginkan posisi itu secara mutlak. Tidak salah lagi, itu adalah ibu tirinya. "Pangeran, disini sudah tidak aman. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sekarang juga," ujar Caravan. Tanpa menunggu jawaban dari tuannya, dia bergerak membereskan barang-barang milik Gabriel yang untungnya masih ada di dalam tas yang dibawa oleh tuannya itu. Sedangkan Acelia masih terus memeluk Gabriel, memberi rasa aman pada tuan kecilnya yang terlihat terkejut. "Pergerakan mereka cepat sekali," ucap Gabriel saat mereka sudah bersiap menaiki kereta kuda. Caravan menghentikan kakinya yang sudah siap naik ke tempat kusir. "Kalau sudah begini sudah dipastikan jika sedari awal mereka memang bersiap untuk hal ini, Pangeran. Mereka sudah mengikuti dari pertama kali kita meninggalkan istana," jawabnya. Gabriel tersenyum kecil. Ini kejadian menakutkan, namun dirinya tidak berhak untuk ketakutan di saat bukan hanya dirinya yang terancam namun juga kedua pengikutnya yang saat ini berada di sisinya. Dia tidak ragu pada kemampuan Caravan, namun dia mengkhawatirkan Acelia yang bertubuh lemah dan juga hatinya yang mudah tersentuh. Tadi saja saat memeluk dirinya, tangan Acelia tampak bergetar namun masih berusaha untuk melindungi Gabriel. "Acelia, tenanglah. Aku sudah baik-baik saja," ujar Gabriel meyakinkan. Baru lah tatapan dayangnya itu berubah menjadi lebih fokus dan tenang. "Saya takut sesuatu yang buruk terjadi pada Pangeran," katanya lirih. Gabriel tersenyum, sejak ibundanya meninggal hanya Acelia yang akan menangis saat Gabriel mengalami kejadian buruk. "Ada kamu dan juga Caravan yang hebat, bagaimana mungkin aku bisa terluka saat ada kalian berdua?" Hal yang tidak disangka oleh Gabriel adalah keadaan hati Acelia yang mudah berubah. Sesaat yang lalu wanita itu sudah nyaris menangis, namun sekarang Acelia bisa tertawa hanya karena mendengar ucapannya. "Saya sendiri tidak bisa melakukan apapun selain menaruh tubuh saya di depan pangeran. Yang hebat adalah Sir Caravan, dia selalu cepat tanggap setiap kali kita dalam keadaan bahaya. Beruntung dulu Yang Mulia Raja mengijinkan Sir Caravan untuk menajdi Ksatria pribadi Pangeran," terang Acelia. Ketika Caravan menyahuti dari luar kereta, wanita itu buru-buru membekap mulutnya karena tidak senang melihat Caravan yang jadi terlalu percaya diri setalah mendengar ucapannya. Sedangkan Gabriel hanya bisa tertawa kecil. Kedua tangannya merapatkan jubah hitam yang dia kenakan karena udara terasa semakin dingin di saat hari masih lah tengah malam. "Sir Caravan, apakah pakaian mu cukup hangat?" tanya Gabriel karena bagaimanapun tidak seperti dirinya dan Acelia yang berada di dalam kereta, Caravan yang mengendarai kuda berada di luar dengan udara dingin yang menusuk kulit. "Jangan terlalu mengkhawatirkan saya, Pangeran. Pakaian yang saya kekanakan sudah lebih dari cukup untuk merasakan hangat. Pangeran duduklah dengan nyaman di dalam kereta, jika masih mengantuk Pangeran bisa tidur di pangkuan Acelia!" serunya sedikit keras. Mendengar kalimat yang keluar dari ksatria nya, Gabriel hanya bisa menghela napas berat. Di saat dirinya mengkhawatirkan para pengikutnya, meraka justru lebih banyak memikirkan dirinya. "Tidur saja, Pangeran. Perjalanan kita masih cukup jauh, dan sepertinya Sir Caravan tidak berniat untuk singgah seperti sebelumnya setalah apa yang terjadi tadi. Jadi perjalanan kita hanya akan terus berjalan dan dengan sedikit istirahat saja." Gabriel menoleh pada Acelia, wanita itu sudah bersiap dengan pangkuannya jika Gabriel ingin tidur dengan nyaman. Namun Gabriel menggeleng, yang dia lakukan hanya bersandar pada kursi keras di dalam kereta dan matanya melirik ke sisi jendela yang kadang terbuka karena tiupan angin. "Setelah kejadian tadi aku sudah tidak mengantuk. Aku lebih tertarik memikirkan apa yang akan kita lakukan setelah kita sampai di kota tua," balasnya. Acelia bergerak menyamping hingga duduknya kini berhadapan dengan Gabriel. "Apa Pangeran ingin mendengar cerita saya tentang kota tua?" tanyanya dengan nada antusias. Gabriel kembali menoleh, sebenarnya dia sudah mendengar cerita tentang kota itu dari beberapa dayang dan bahkan dari ibundanya semasa masih hidup. Namun melihat wajah penuh binar dan semangat yang menyala di mata dayangnya, Gabriel akhirnya memutuskan untuk mengangguk. "Aku mau dengar," jawabnya. ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD