6

1526 Words
Jubah emas yang menjuntai, pakaian yang berkilauan dan juga para dayang yang berjejer di belakang tubuhnya. Dirinya adalah seorang anak yang terlahir sebagai putra mahkota, yang dimana dirinya sudah diperintahkan untuk menyembunyikan segala macam jenis perasaan yang di miliknya agar tidak terlihat oleh siapapun. Namun rasa gugup yang melandanya kini, sukar ia tutupi. Hingga tangan kecil itu mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak. Acelia bergerak mendekat, tubuhnya langsung berlutut dan membersihkan tangan tuannya itu dengan lembut. "Maafkan aku, Acelia," lirih Gabriel dengan suara manisnya. Ia melirik ke arah Acelia yang masih berlutut, menatap dayangnya dengan rasa bersalah. Pasalnya ini sudah lebih dari lima kali Acelia harus membersihkan tangannya yang berkeringat karena gugup. "Tidak apa, Pangeran. Hal yang wajar jika Pangeran merasa gugup tentang apa yang akan terjadi sebentar lagi. Hari ini adalah hari yang paling penting dimana Pangeran akan dinobatkan secara resmi menjadi Putra Mahkota, yang akan naik menggantikan Raja Balendin ketika Pangeran sudah dewasa," balas Acelia maklum. Gabriel tersenyum kecil, tubuhnya berdiri tegak menatap cermin besar yang ada di hadapannya. Tubuhnya semakin tinggi dari hari ke hari padahal usianya baru saja menginjak delapan tahun. Senyum miris muncul begitu tipis, berhasil hilang sebelum ada yang menyadarinya. Bahkan dirinya tidak bisa bermain selayaknya anak kecil. Sejak berusia lima tahun dirinya sudah harus belajar tentang pemerintahan, dimana anak-anak yang lain masih belajar membaca. Dirinya bahkan sudah mahir memegang pedang, di saat seharusnya bagi anak-anak lain mereka masih berkutat dengan pedang kayu yang bahkan sakitnya tidak seberapa jika dipegang dalam waktu lama. Kemudian tangan Gabriel bergerak, menyentuh bagian dadanya dengan pelan. Di sana, di dekat jantungnya tergantung sebuah liontin peninggalan mendingan ibunya. Liontin itu bermata perak menyala, yang sebenarnya tidak cocok dimiliki oleh dirinya. Hanya saja Gabriel selalu mengenakannya ke mana-mana karena itu adalah peninggalan paling berharga dari Ibunda tersayangnya. "Pangeran, Saya sudah memprsiapkan pedang milik Anda." Caravan berjalan masuk dengan kepala menunduk. Di tangannya terdapat sebuah kotak pedang berwarna emas dengan ukuran yang cantik. Ketika Gabriel menoleh padanya, dengan sigap Caravan membuka kotak itu hingga terlihatlah sebuah pedang mengkilap dengan hiasan permata di gagangnya. Tampak sangat mewah dan berharga, yang hanya bisa dimiliki oleh keluarga kerajaan saja. Gabriel membalik tubuhnya. Satu tangannya mengibaskan jubah yang sedikit mengganggunya itu. Dipandanginya benda panjang di tangan Ksatrianya lama, seakan memutar memori saat pertama kali ayahnya memberikan sesuatu padanya. Saat itu Gabriel baru berumur enam tahun saat sudah berhasil mengalahkan Caravan yang merupakan Ksatria terbaik di kerajaannya. Kabar mengenai kemenangannya itu sampai di telinga sang Ayah sehingga untuk pertama kalinya Ayahnya mengundang dirinya ke ruang pertemuan dan memberikan pedang itu sebagai hadiah. Ibunya sangat senang kala mengetahui fakta itu, berulang kali mengatakan pada Gabriel jika Ayahnya diam-diam menyayangi dirinya dan memperhatikan setiap perkembangan Gabriel dengan baik. Sayangnya Gabriel tidak pernah bisa mempercayai segala hal baik tentang Ayahnya, karena bagi Gabriel Balendin hanyalah Raja yang baik untuk rakyatnya namun bukan suami dan Ayah yang baik bagi dirinya dan Ibunya. Helaan napas keluar dari tubuh kurus dan kecil itu. Tangannya terulur, mengambil alih pedang itu kemudian memasukannya ke dalam sarung yang sudah disodorkan oleh seorang dayang padanya. Setelahnya Gabriel mengaitkan tali yang ada pada pedang itu ke samping pakaiannya. Dia mengangkat wajah, menatap pada semua orang yang menunduk di hadapannya. "Aku sudah siap," katanya dengan nada rendah. Para dayang bergerak semakin menunduk, kemudian dengan perlahan membuka jalan hingga Gabriel bisa memulai langkahnya menuju ruang suci, tempat yang sering digunakan untuk berdoa atau jika ada kerabat kerajaan yang meninggal dunia. __ Hanya dengan suara langkah kakinya, semua orang yang tadinya riuh berbisik-bisik mulai mengatupkan mulutnya. Gabriel berjalan dengan percaya diri menyusuri karpet merah yang terbentang di hadapannya. Di kiri dan kanannya berbaris para bangsawan dan juga petinggi kerajaan yang menundukkan kepala, memberi penghormatan padanya. Ketika langkahnya berjalan semakin ke depan, dari ekor matanya bisa ia lihat jejeran pada selir. Sang ibu tiri berserta adiknya, berdiri di bagian depan sambil memberi senyum penghormatan padanya. Namun Gabriel tidak menerima itu, dirinya memilih untuk membuang pandangan hingga akhirnya berhenti beberapa langkah dari tangga yang menghubungkan ke sebuah panggung kecil, tempat dimana pendeta dan Ayahnya akan berdiri nanti. "Yang Mulia Raja Balendin memasuki ruang suci!" Seruan yang berasal dari seorang penjaga pintu, membuat semua yang hadir langsung menundukkan kepalanya dalam. Gabriel menaruh satu tangan di d**a, kepalanya menunduk hingga tapak kaki yang terdengar dari atasnya terhenti. Ia menjadi orang pertama yang mengangkat kepala, memberi penghormatan pada Ayahnya. "Semoga berkat Dewa selalu menyertai Yang Mulia Raja!" Ucapannya langsung diikuti dengan serempak oleh seluruh orang yang hadir di sana. Balendin yang berdiri di atas, mengangkat tangannya hingga semua orang mulai kembali ke posisi semula. Barulah setelahnya seorang tua dengan rambut putih perak dan janggut panjang, berjalan dengan perlahan kemudian berhenti tepat di belakang tubuh sang Raja. "Upacara akan segera dimulai. Yang Mulia Raja dimohon memberikan berkat pada Pangeran dengan setulus hati," ujar Pendeta dengan nada yang pelan. Balendin mengangguk, matanya menatap ke bawah dimana Gabriel sudah bersiap menerima berkat darinya. "Semoga berkat dariku dan semua orang yang hadir disini dapat membuatmu tumbuh menjadi Raja yang dihormati seluruh rakyat," katanya dengan nada dalam. Gabriel berlutut, menundukkan kepalanya dalam. "Sebuah berkat dan keajaiban menerima doa setulus hati dari Yang Mulia Raja." Setelahnya beberapa datang bergerak mendekati Gabriel. Mereka membantu Gabriel melepas jubah yang dikenakannya. Menaruh pedang yang dibawa Gabriel bersamanya, serta memakaikan sebuah jubah putih sebagai gantinya. Upacara suci dimulai dengan lantunan mantra yang diucapkan oleh Pendeta hingga membuat sebuah pola sihir mengambang dengan warna putih bersih. Ketika mantra dibacakan kedua kali, sinar sihir itu berubah menjadi berwarna merah menyala dan bergerak memutar. Lalu ketika mantra dibacakan untuk ketiga kalinya, warna sihir itu mulai berubah menjadi biru terang dan bergerak semakin cepat. Gerakannya semakin cepat dan nyaris tidak terlihat. Namun di waktu tertentu mulai melambat dan terus melambat sampai akhirnya berhenti. Di saat itulah sebuah sinar memanjang muncul, menyambar tubuh kecil Gabriel yang berdiri dengan tenang. Susana hening di ruangan yang dipenuhi banyak orang itu. Semua yang hadir menantikan kejadian luar biasa yang akan terjadi saat kekuatan suci milik Gabriel bangkit. Namun di antara mereka ada yang diam-diam tersenyum miring, hingga senyum itu semakin lebar ketika di beberapa saat kemudian tidak ada yang terjadi meskipun sinar suci sudah menyambar tubuh Gabriel beberapa kali. Keheningan yang terjadi di ruangan itu berubah ricuh. Beberapa orang mulai berbisik-bisik penuh tanya, merasa heran karena seharusnya Gabriel mulai batuk darah sebagai bukti bahwa kekuatan sucinya telah bangkit. Namun yang terjadi sekarang adalah Gabriel yang berdiri dengan tenang yana mengalami apapun bahkan hingga sinar suci dari Pendeta hilang. "Apa yang terjadi?" tanya Sang Raja pada Pendeta. Pendeta itu merasa panik, beberapa kali pria tua itu menoleh ke arah Gabriel dan Balendin secara bergantian. "Seharusnya tubuh Pangeran sudah bereaksi terhadap sihir suci yang saya berikan, namun Pangeran tidak bergeming sedikitpun. Saya juga tidak mengerti," katanya sedikit terbata. Kemudian dengan meminta ijin dari Sang Raja, Pendeta itu menuruni tangga kemudian berhenti tepat di depan Gabriel yang juga mulai merasa cemas. Sang Pendeta meminta ijin agar bisa menyentuh bagian tubuh Gabriel, dan Gabriel mengijinkannya. Pria tua itu menyentuh kening Gabriel, kemudian berganti menyentuh bagian lengan anak berusia delapan tahun itu. "Pangeran, coba fokuskan pikiran Pangeran untuk membuat kekuatan sucinya keluar. Julurkan tangan Pangeran dan pusatkan kekuatan itu di tangan Pangeran," pintanya. "Baik," balas Gabriel cepat. Dia memejamkan matanya, memfokuskan dirinya agar bisa membangkitkan kekuatan miliknya dan membuatnya keluar. Tangannya terulur ke depan dengan perlahan, seperti apa yang diminta oleh Pendeta. Hening beberapa saat. Terasa mencekam karena semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seorang Pangeran dari garis keturunan Raja Agung yang sedang mencoba mengeluarkan kekuatan sucinya adalah pemandangan yang langka bagi mereka yang sudah menjadi pengikut setia Kerajaan Aloysius. Harusnya hanya dengan pancingan berusaha sihir suci dari Pendeta sudah bisa membuat kekuatan suci milik pewaris tahta keluar dengan sendirinya. Namun hingga beberapa saat kemudian kericuhan kembali terjadi saat Gabriel gagal mengeluarkan kekuatan suci miliknya. Tidak ada sihir yang keluar dari tubuh kecil itu, bahkan jenis sihir kecil sekalipun. "Ma-Maafkan Hamba Yang Mulia. Tapi Pangeran tidak memiliki sihir suci dalam tubuhnya." Ucapan yang keluar dari mulut Pendeta itu sama artinya seperti Pangeran yang hendak mewarisi tahta Kerjaan adalah seseorang yang cacat. Balendin bahkan tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya mendengar fakta bahwa anaknya dari garis keturunan yang sah justru tidak memiliki kekuatan suci. "Apa kamu sudah memeriksanya dengan baik? Mustahil jika keturunan dariku tidak memiliki kekuatan suci!" Sang Pendeta langsung berlutut, tubuh tuanya gemetar ketakutan mendengar nama menyeramkan yang keluar dari mulut Raja Agung. "Ampuni hamba, Yang Mulia. Hamba bahkan sudah memberikan sedikit kekuatan Hamba pada tubuh Pangeran, tapi seperti yang Anda lihat, itu sama sekali tidak bekerja," katanya penuh sesal. Gabriel mematung di tempatnya. Dirinya begitu terkejut dengan apa yang terjadi, kenyataan bahwa dia gagal mengeluarkan kekuatan suci yang seharusnya sudah ada dalam tubuhnya sebagai pewaris tahta selanjutnya. Dengan takut, dia mengangkat wajah untuk mencuri lihat wajah Ayahnya. Wajah tegas yang tanpa ekspresi itu kali ini benar-benar tampak terkejut, sama halnya seperti dirinya. Ruang suci beberapa saat hanya terisi dengan berbagai macam ucapan bisik-bisik dari semua orang yang juga merasa heran dengan apa yang terjadi. Sampai akhirnya suara Balendin memecah hening dengan sebuah ultimatum yang membuat hati Gabriel perih. "Untuk sementara Pangeran Gabriel tidak diijinkan keluar dari kediamannya hingga perintah dariku selanjutnya." ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD