5

1523 Words
Beruntungnya hanya berselang dua hari semenjak kedatangan Balendin ke kamarnya, Gabriel berhasil sembuh dari demam yang menyiksanya. Ketika dia menginjakan kaki diluar kamarnya, suasana istana sudah semakin heboh dari yang terakhir kali dia ingat. Bahkan dari yang ia dengar, beberapa Raja dari kerajaan tetangga sudah ada yang datang dan menginap di istana sisi barat dimana biasanya tempat para tamu beristirahat. "Saya sudah meminta pelayan untuk mengosongkan taman lotus, Pangeran," ujar Acelia setengah menunduk. Gabriel tersenyum. Langkah kecilnya terus berlanjut hingga benar-benar sampai pada taman peninggalan ibunya yang cantik. Hatinya sudah risau karena kemarin tidak bisa datang ke sini, sehingga begitu dirinya merasa sembuh, Gabriel langsung meminta Acelia untuk menyiapkan taman lotus baginya. "Apakah saya perlu menyiapkan teh?" tanya Acelia ketika melihat Gabriel yang sudah duduk di kursi besi dengan ukiran teratai. Kursi yang kerap kali menjadi tempat favorit mendiang Permaisuri ketika bersantai bersama para tamunya, termasuk dengan Gabriel. "Tidak usah. Aku hanya akan sebentar disini," jawab Gabriel. Matanya memandang jauh pada banyaknya tanaman indah yang menyegarkan mata. Meski sudah lama sejak kepergian ibundanya, namun setiap berada di taman ini Gabriel kerap kali merasa sosok anggun dan lembut ibunya berada tepat di depannya. Memandang lembut pada dirinya yang sibuk berceloteh tentang pelajaran yang Gabriel tidak sukai atau tentang latihan pedang yang sering membuat tangan Gabriel terluka. Semua itu terasa bagai baru kemarin, dan hatinya perih menyadari sosok itu tidak lagi ada di hadapannya. "Yang Mulia Pangeran, Yang Mulia Raja meminta Pangeran untuk datang ke kediaman Yang Mulia Raja." Caravan menunduk, memberitahu kabar yang baru saja dia dengar dari seorang ksatria Raja. Pandangan Gabriel teralih, dengan pelan dirinya langsung berdiri dari duduknya. Beberapa saat yang Gabriel lakukan hanyalah berdiri diam sambil memandangi taman itu lama, seakan tidak banyak lagi waktu yang tersisa di kemudian hari bagi dirinya untuk bersantai. Hanya tinggal beberapa hari lagi hingga upacara itu dilaksanakan, dan setelah penobatan dirinya secara resmi sebagai putra mahkota maka Gabriel akan mulai terlibat pada urusan Negara dan urusan Kerajaan, membantu Ayahnya. "Ayo!" ajaknya pada para pengawal dan dayang yang mengikutinya. Langkah anggun dan teratur dari jejak kakinya sama sekali tidak terlihat kesulitan meskipun jubah yang ia kenakan menjuntai hingga ke lantai. Senyum tipisnya tidak luruh kala beberapa dayang yang berpapasan menyapanya. Namun di kepalanya tiba-tiba saja terdengar suara datar ayahnya ketika hari lalu, saat Balendin memperingatinya untuk tidak terlalu baik. Sayangnya Gabriel tidak ada keinginan untuk melaksanakan kemauan Ayahnya itu. Dirinya sudah bersumpah dalam hati, kalaupun dia harus memegang tahta yang saat ini dimiliki oleh Ayahnya, dia tidak ingin menjadi raja yang seperti Ayahnya. Yang bahkan tidak memiliki cinta kasih pada istri dan anaknya sendiri, yang bahkan tidak berduka meskipun istrinya pergi meninggalkan dunia. Gabriel menghela napas berat hingga membuat Acelia dan Caravan waspada. Kedua abdi setia itu saling pandang, kebingungan karena selanjutnya Gabriel tidak mengatakan apapun lagi. Hingga mereka sampai pada pintu besar bertahtakan emas dan kayu yang terlihat kokoh, ketika seruan pengawal yang mengabarkan kedatangannya terdengar, Gabriel kembali menarik napas berat sebelum akhirnya berjalan perlahan memasuki ruangan milik manusia paling agung di Kerajaannya. "Segala berkat Dewa adalah milik Yang Mulia Raja Balendin!" salamnya dengan menundukkan badan. Ayahnya, melirik sekilas kemudian menaruh buku tebal yang sedang dipegangnya. Derit kursi terdengar ketika Sangat Raja bangkit dari duduk dan berpindah ke sisi jendela kamar tidurnya yang hening. "Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah tidak sakit?" tanyanya, berat dan dalam. Gabriel tidak mengangkat kepalanya sedikitpun. "Saya sudah merasa lebih baik. Terimakasih atas perhatian Yang Mulia," jawabnya. Kemudian suasana menjadi kian senyap tatkala Balendin tidak lagi membuka suara. Hanya suara desau angin yang terdengar menyelinap dari jendela yang terbuka, membuat keadaan canggung merayapi kedua ayah dan anak yang tidak memiliki hubungan baik itu. "Aku sering mendengar kau mengunjungi taman milik ibumu, apa kau begitu menyukai bunga?" Gabriel membatu, tidak menyangka jika Ayahnya akan menaikkan topik pembahasan itu. "Saya hanya mengenang keberadaan Ibunda yang dulu sering menghabiskan waktu di sana," jawabnya pelan. Tanpa sadar tangannya bergetar di samping tubuh, takut jika Ayahnya tidak senang dengan apa yang dia lakukan. Namun kemudian yang terdengar hanyalah tarikan napan persis seperti yang dilakukan olehnya sebelum masuk ke dalam kamar ini. "Jangan menjadi lemah hanya karena kehilangan sesuatu. Kau akan menjadi pemimpin Kerajaan ini di masa depan, sikap seperti itu hanya akan menjadi kelemahan mu," ujar Balendin dingin. Gabriel merasakan sakit di relung hatinya ketika Ayahnya membicarakan tentang kepergian ibunya seperti hal itu bukanlah apa-apa. Padahal bagi Gabriel kehilangan Ibundanya adalah pukulan paling dahsyat sepanjang dirinya terlahir ke dunia, namun ternyata bagi Ayahnya itu bukanlah hal yang luar biasa. "Akan..saya ingat," balasnya pelan. Hening kembali mendera. Walaupun kali ini keheningan itu tidak berlangsung lama ketika Balendin bergerak membalik tubuhnya kemudian berjalan mendekati anak lelaki nya itu. "Jangan lakukan kesalahan saat upacara, karena upacara yang akan kau lalui adalah penentu hidupmu dan masa depan Kerajaan ini," katanya memperingatkan. Sekali lagi yang bisa dilakukan Gabriel hanya mengangguk dengan patuh. Sejak dirinya terlahir dari rahim seorang Permaisuri maka hidupnya sudah ditakdirkan untuk tidak dapat membantah perintah apapun dari Yang Mulia Raja, Raja Agung yang merupakan Ayahnya sendiri. Setelahnya dia pamit undur diri, berjalan perlahan meninggalkan kamar yang terasa seperti goa sempit baginya. Pengap dan menyesakan. * "Apa ini tidak termasuk terlalu percaya diri? Besok Falerious bisa saja kehilangan tahtanya, tapi kau justru sibuk berpesta dengan para selir rendahan itu. Harusnya kau lebih waspada dan memastikan semuanya berjalan dengan lancar." Lauretta tersenyum miring sambil meneguk segelas anggun dari cawan emas di tangannya. "Tidak perlu terlalu khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Kalaupun Falerious kehilangan kesempatan besok, aku bisa membuat rencana baru untuk mengantarnya ke singgasana yang sudah seharusnya menjadi miliknya," balasnya. Ketika suara pintu yang terbuka dan muncul lah sosok anak lelakinya, Lauretta mengangkat tangannya, meminta pemain musik untuk berhenti dan para selir bawahannya untuk keluar dari kamar miliknya itu. Termasuk seorang perdana menteri yang merupakan orang kepercayaannya, mantan kekasihnya dulu. "Ada apa, Anakku? Bukan kah seharusnya kau sudah tidur di kamarmu?" tanyanya. Tangannya terulur ke depan, meminta agar anak kecilnya itu mendekat ke arahnya. Falerious dengan langkah kecilnya berjalan mendekat, satu tangannya mengucek mata membuat mata kecilnya itu memerah. "Aku hanya ingin tidur bersama Ibu, kamar terasa sangat sepi dan aku takut," rengeknya. Lauretta yang tadi tersenyum lembut pada anaknya, langsung merubah ekspresi wajahnya itu. Dia menatap tajam Falerious yang kini sudah berdiri tepat di depan ibunya. "Apa kau lupa Fal? Kau adalah calon Raja masa depan, dan seorang Raja tidak boleh takut akan apapun," ujarnya tegas. Falerious menatap bingung ke arah Ibunya itu. Sejak dirinya mulai bisa diajak bicara, Ibunya selalu mengatakan jika dirinya adalah Raja di masa depan. Sedangkan yang dia tahu yang akan menjadi pewaris tahta dari Ayahnya adalah kakak lelakinya, Gabriel yang esok akan menjalankan upacara agung untuk memunculkan kekuatan suci. "Bukan kah Kak Gabriel--" BRAK Tubuh kecilnya terlonjak kaget ketika ibundanya menendang meja kecil yang ada di sampingnya hingga terjungkal. Tatapan menyeramkan itu membuat sekujur tubuhnya menggigil ketakutan. "Jangan pernah mengatakan hal yang tidak benar, Fal. Satu-satunya pewaris tahta adalah dirimu, bukan anak piatu itu! Apa kau mengerti?" Dengan takut, Falerious mengangguk cepat. Niatnya untuk tidur bersama Ibunya sudah hilang tergantikan perasaan takut dan gemetar di seluruh tubuhnya. Ia bergerak mundur hendak keluar dari kamar itu, ketika tangan kecilnya dicekal kuat oleh Lauretta. "Siapa yang bilang kau boleh pergi sebelum aku mengizinkan? Apakah itu sopan santun sebagai putra mahkota? Apakah guru mu mengajarkan mu seperti itu?" cecar Lauretta. Tubuh Falerious semakin bergetar, kepalanya menunduk tidak berani bertatapan dengan mata menyeramkan dari ibunya. "Apa kau ingat apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang putra mahkota?" tanya Lauretta. Falerious mengangguk. "Sebutkan!" titah Ibunya. Bibirnya bergetar ketika mulai terbuka, dan mengucapkan satu persatu yang selalu ibunya ajarkan padanya. "Tidak boleh takut akan apapun, tidak menaruh perasaan yang tidak perlu pada siapapun, selalu menjadi yang terbaik dan yang ditakuti, segala ucapan keluar adalah perintah dan tidak ada satupun yang boleh membantah," ujarnya. Lauretta tersenyum puas, dia menunduk dan memeluk tubuh gemetar anaknya sambil mengusap punggungnya beberapa kali. "Sudah Ibu duga, kau adalah yang paling pantas menjadi pewaris tahta dari Ayah mu. Sudah banyak yang Ibu lakukan untuk bisa membawamu mendapatkan posisi tertinggi itu, jadi jangan pernah sekalipun kau kecewakan Ibu dengan sikap lemah mu itu. Bisakah kau berjanji?" Meski dirinya belum mengerti tentang apa yang diucapkan oleh Ibunya, namun Falerious merasa jika dirinya tidak memiliki pilihan lain selain mengangguk dengan patuh. "Aku berjanji, Ibu. Aku tidak akan mengecewakan Ibu," janjinya. Bagi Lauretta, Falerious adalah kuncinya untuk menjadi Ratu tertinggi Negara ini. Dirinya yang berasal dari kalangan bawah, dengan segala usaha berhasil menerima benih dari Yang Mulia Raja hingga bisa melahirkan Falerious yang memiliki darah seorang Raja Agung Aloysius. Namun dirinya tidak akan puas jika belum berhasil meraih kursi tertinggi, yang saat ini masih menjadi milik dari Gabriel yang merupakan keturunan sah dari Raja dan Permaisuri. Maka yang perlu dirinya lakukan adalah bertahan sedikit lebih lama sampai apa yang sudah dia rencanakan dengan baik membuahkan hasil. Dan ketika waktunya tiba, di saat mahkota itu terpasang dengan indah di kepala anaknya, maka saat itu lah dirinya bisa hidup dengan damai. Tak mengapa jika saat ini Falerious belum mengerti, karena kelak anaknya akan langsung tahu bahwa semua yang dia lakukan adalah benar dan segalanya hanya untuk membuat Falerious menjadi Raja masa depan. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD