4

1548 Words
Tidak banyak yang terjadi pada kehidupan Gabriel kecil sepeninggal ibundanya. Setiap harinya hanya ia isi dengan berbagai latihan dan pendidikan untuk menerima tahta sebagai pewaris Raja berikutnya. Hanya tinggal beberapa bulan saja dirinya akan menginjak usia delapan tahun. Usia di mana tradisi besar akan digelar. Upacara agung yang akan dihadiri banyak pejabat dan bangsawan terkemuka dimana mereka akan menjadi saksi munculnya kekuatan suci dari pewaris tunggal Raja. Agak aneh memang karena masih ada Falerious yang merupakan anak dengan darah Raja mengalir di tubuhnya. Namun semua orang tahu bahwa Falerious terlahir dari seorang pelayan yang kemudian diangkat menjadi selir Raja. Yang mana hal itu tidak diijinkan untuk menduduki tahta sah sebagai pewaris Raja Balendin. Suasana istana kian ramai, para dayang berduyun-duyun melewati lorong istana sambil membawa berbagai macam peralatan dari yang berbahan emas hingga perak dengan kualitas terbaik. Gabriel yang akan menjadi tokoh utama adalah yang menerima dampak paling besar. Sejak satu bulan yang lalu tubuh kecilnya itu harus mengikuti arahan Acelia kemana pun dayangnya itu pergi. Dari menyiapkan pakaian khusus atas permintaan Raja, juga berbagai macam pelatihan dan makanan yang baik dikonsumsi agar kekuatan suci dapat meluap dengan baik pada saat upacara besar. Ia kelelahan. Bahkan tak banyak waktu yang dia habiskan untuk bersedih hati menangisi kepergian ibundanya. Tubuhnya yang kecil juga menolak melakukan lebih banyak kegiatan, hingga akhirnya jatuh sakit tepat di satu minggu sebelum upacara. Yang artinya satu minggu sebelum ulang tahunnya yang ke delapan. "Tubuh Pangeran Putra Mahkota semakin panas, juga tidak ada makanan yang berhasil masuk karena berakhir dengan dimuntahkan setelahnya," ujar Acelia khawatir. Di sisinya, Caravan tidak kalah khawatir. Pengawal pribadi Gabriel itu dari semalam sudah mondar-mandir memanggil tabib kerajaan dan bersiaga di samping tuannya. Gumaman yang selalu terdengar dari mulut kecil Gabriel kadang kala membuat dua orang itu merasa tercabik hatinya. Nama Permaisuri tidak luput dari gumaman yang berasal dari Gabriel, juga isakan kecil yang menyayat hati. "Aku juga tidak mengerti. Tabib bilang jika ini hanya sakit biasa, tapi Pangeran semakin terlihat kurus dan tidak berdaya," balas Caravan. Matanya memindai tubuh kecil tuannya, keningnya mengerut karena merasa tidak tega melihat banyaknya keringat yang mengucur di saat beberapa saat yang lalu Acelia baru saja membersihkannya. "Apa perlu aku memberitahu Yang Mulia Raja?" tanya Caravan dengan nada ragu. Tanpa sadar, Acelia mendengus hingga Caravan menegurnya dengan tatapan tajam. "Maaf, tapi kamu sendiri tahu jika Yang Mulia Raja tidak akan perduli dengan hal semacam ini," bisiknya pelan. Ia menghela napas, tangannya kembali mengambil handuk dingin dan melap wajah Gabriel yang berkeringat. "Bahkan saat istrinya meninggal pun, beliau tidak ada di sampingnya," lanjutnya dengan nada sedih. Caravan ikut menghela napas. Dari berjam-jam waktunya berdiri diam di samping Gabriel, kali ini dirinya memutuskan mengambil duduk di sisi lain dengan Acelia. Dirinya sudah ada di istana semenjak Raja Balendin belum menikah. Dia sudah menyaksikan banyak perubahan yang terjadi di lingkungan istana, khusunya dengan kepribadian Raja Balendin yang sedari dulu menang selalu dingin. Bahkan ketika Raja terdahulu membebaskan Raja Balendin untuk memilih pasangan hidupnya sendiri, Raja Balendin justru menolak dan menyerahkan urusan pernikahannya pada Raja dan Ratu terdahulu. Kini ketika dirinya menjadi pengawal pribadi dari satu-satunya anak Raja Balendin yang kelak menjadi pewaris tahta, sikap dingin Raja masih menjadi hal yang tidak ia sukai diam-diam. "Pergilah mengganti air yang sudah dingin itu, aku akan berjaga disini!" Acelia mengangguk, tangannya membopong tempat air dan bergegas untuk mengganti air yang sudah dingin itu dengan air hangat yang baru. Sedangkan Caravan hanya duduk diam, matanya lekat memandangi wajah pucat tuan mudanya yang lemah. Jika saja sang Permaisuri masih ada, pastilah mereka tidak akan secemas ini ketika melihat Gabriel jatuh sakit karena kelelahan. Ketika dirinya masih menatap Gabriel yang tengah tertidur dengan helaan napas yang tidak teratur, suara pintu yang terbuka mengagetkan dirinya. Mulutnya sudah siap untuk menghardik karena menyangka itu adalah Acelia, namun kemudian matanya membulat dengan tubuh yang otomatis berlutut ketika melihat seseorang yang tidak ia sangka akan datang berjalan mendekat dengan wajah yang datar. "Kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau Gabriel sakit?" tanyanya dengan nada dingin. Tubuh Caravan menggigil hanya dengan mendengar pertanyaan itu. Kepalanya semakin menunduk dalam tanpa berani mengangkat wajah sedetikpun. "Ampuni hamba Yang Mulia Raja. Hamba pantas mati," mohonnya dengan nada bersalah. Selang beberapa saat tidak ada yang terdengar di ruangan itu selain helaan napas berat yang datang dari Gabriel. Hingga kemudian suara dingin itu kembali memecah hening. "Keluar!" titahnya mutlak. Caravan semakin menunduk, dengan setengah berdiri dirinya bergerak mundur hingga mencapai pintu. * Tidak ada yang dilakukan oleh pria yang menduduki posisi tertinggi di Kerajaan itu. Yang dia lakukan semenjak meminta pengawal anaknya pergi hanyalah berdiri diam sambil menatap wajah penuh keringat Gabriel. Beberapa saat yang lalu, ketika dirinya ada di tengah rapat, seorang bangsawan mengaku berpapasan dengan dayang Gabriel yang berjalan tergesa-gesa sambil membawa baskom berisi air dengan handuk basah. Ketika bangsawan itu bertanya, sang dayang menjawab jika tuannya sedang dalam keadaan sakit. Dirinya tidak bereaksi, selain hanya menatap datar para bangsawan yang menjalankan rapat dengannya. Barulah ketika semua orang itu pergi, dirinya bergegas mengunjungi kamar anaknya dan mendapati anaknya yang sakit hanya ditemani seorang pengawal yang nampaknya sama tidak tahunya dengan dirinya dalam cara merawat orang sakit. Entah sudah berapa banyak waktu yang terbuang, ketika Balendin akhirnya bergerak dari posisi berdirinya. Dengan langkah yang ragu, ia mendekat. Terduduk di samping tempat tidur Gabriel. Ketika tangannya bergerak menyentuh kening anaknya, rasa panas membuat dirinya terkejut. "Siapapun, masuk!" teriaknya dengan keras. Matanya terkejut ketika suara teriakannya ternyata membangunkan si anak yang sedang sakit hingga Gabriel yang bahkan kesulitan menghela napas itu berusaha bangun untuk memberi salam pada ayahnya. "Tidak perlu bangun. Kembali berbaring," titahnya. Beberapa saat kemudian tiga dayang pribadi putranya masuk dengan wajah menunduk. "Apakah sudah ada yang memanggil tabib?" tanyanya kepada para dayang. Acelia, dengan gugup mengangguk. "Sudah, Yang Mulia. Tabib berkata bahwa Yang Mulia Pangeran hanya sakit biasa dan akan segera sembuh," jawabnya. Dengan ragu matanya menatap Gabriel yang terbaring memperhatikan mereka. "Namun panas di tubuh Pangeran belum juga turun dari semalam," lanjutnya dengan nada sedih. Balendin menukikkan alisnya. Kepalanya menoleh ke arah Gabriel yang langsung menunduk dalam ketika bertatapan dengan ayahnya. "Dia sakit dari semalam?" tanyanya dengan nada tinggi. Meskipun ketakutan, Acelia tetap mengangguk sebagai jawaban. "Dan tidak ada seorangpun dari kalian yang memberitahu ku bahwa dia sakit?!" Teriakan Balendin yang penuh amarah itu memenuhi ruangan kamar yang biasanya hening. Dari tempat tidurnya, Gabriel bisa melihat bagiamana Ayahnya itu menahan amarah. Namun Gabriel tidak tahu apa yang membuat Ayahnya marah karena menurutnya Ayahnya tidak mungkin marah hanya karena tidak ada yang mengabari jika Gabriel sedang sakit. Bahkan ketika ibunya meninggal saja, Balendin tidak meneteskan air mata sedikitpun,bagaimanan mungkin Ayahnya marah hanya karena tidak ada yang memberitahunya bahwa Gabriel sakit. "Ampuni kami, Yang Mulia! Kami bersalah!" seru ketiga dayang itu sambil bersujud di tanah. Balendin yang murka mengabaikan mereka. Tatapannya kembali tertuju pada Gabriel yang ketakutan di atas tempat tidurnya. "Kalian memang pantas mati," gumamnya. Gabriel membelalak terkejut, dengan susah payah ia mengangkat tubuh kecilnya untuk mengambil posisi duduk. "Ya-Yang Mulia," panggilnya dengan suara bergetar. Balendin kembali menoleh, alisnya terangkat ketika mendapati Gabriel yang sudah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. "Kau bahkan tidak bisa bernapas dengan benar, bagaimana mungkin kau bisa duduk seperti itu? Kembalilah berbaring," katanya dengan nada datar. Gabriel tersenyum kecil, tubuhnya terdorong untuk memperbaiki posisi duduknya yang kurang nyaman. "Yang Mulia, saya yang meminta mereka untuk tidak memberitahu Yang Mulia. Saya tahu pekerjaan Yang Mulia sudah terlalu banyak, saya tidak ingin membebani Yang Mulia dengan kesehatan saya yang menurun hanya karena kelelahan," ujarnya pelan. Ibunya pernah berkata, bahwa Yang Mulia Raja bahkan terkadang tidak memiliki waktu yang cukup untuk tidur di malam hari. Maka Ibunya meminta agar Gabriel mengerti kesibukan Ayahnya yang bahkan tidak sempat mengunjungi mereka. Balendin tidak bereaksi, matanya hanya menatap tajam putranya yang berumur hampir delapan tahun itu. Entah sudah berapa lama dirinya tidak melihat wajah anaknya dari dekat, hingga dirinya merasa asing ketika sekarang berada begitu dekat dengan anak kecil ini. "Kau tidak boleh terlalu baik, itu akan menjadi beban bagimu di masa depan." Balendin berujar dingin, kemudian ia melirik para dayang yang masih bersujud di tanah, menunggu putusan darinya. "Kali ini aku akan memaafkan mereka, tapi pastikan kau sembuh secepatnya. Upacara akan dilaksanakan beberapa hari lagi," lanjutnya. Hanya berjeda beberapa detik dari ucapan itu, Balendin berbalik dengan mengibaskan jubah yang dipakainya. Berjalan melewati para dayang yang masih bertahan di posisinya. Ketika sang Raja sudah menghilang di balik pintu, Gabriel tanpa sadar menghela napas lega. Menyadari jika dirinya yang sedang dalam keadaan tidak sehat itu, merasa semakin tertekan dengan kehadiran Ayahnya. "Apa Pangeran baik-baik saja?" Acelia bergegas bangun dan mendekati Gabriel yang kini berusaha untuk kembali berbaring. "Aku baik-baik saja. Tapi aku sangat haus," jawabnya. Tanpa diminta dua kali, Acelia langsung bergerak mengambil gelas yang berisi air putih kemudian menyerahkannya pada Gabriel. Jantungnya masih berdegup kencang, namun ada perasaan lega karena melihat tuannya sudah membuka mata setelah seharian tertidur. "Saya akan membawakan makanan. Tolong Pangeran jangan tidur lebih dulu," pintanya dengan nada memohon. Meskipun Gabriel tahu bahwa dirinya masih belum bisa menelan makanan, namun karena ucapan Ayahnya yang meminta dirinya untuk sembuh, dan juga kecemasan di wajah Acelia, akhirnya ia memilih mengangguk. Juga dirinya jadi tahu mengapa ayahnya begitu khawatir, itu hanya karena Ayahnya tidak ingin sakit yang dialaminya merusak upacara besar yang merupakan tradisi keluarga. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD