2. SPSG

1349 Words
Aku menyusul Mas Satrio ke dalam membawa keranjang kosong bekas cucian, Ia sedang menikmati nasi goreng yang ku buat tadi pagi. Mas Satrio tersenyum lebar ketika mata Kami bertemu, Ku balas cengiran Mas Satrio dengan tatapan tajam. "Sini Sayang!" Ia menepuk kursi di sampingnya menyuruhku duduk, Aku menjatuhkan bokongku di kursi yang Ia tepuk. "Aaa..." "Aku udah sarapan tadi pagi Mas" ucapku menepis pelan lengannya yang hendak menyuapiku. "Jangan jutek donk sama Mas, Mas ga salah apa-apa ko dijutekin gitu" Ia memasukan suapan terakhir ke mulutnya tanda makannya sudah habis. "Aku sebel loh Mas, sama Bu Nenda. Duh... Amit-amit jangan sampai Kamu kaya Pak Johan Mas" ucapku sambil mengetuk-ngetuk meja dengan buku jari tanganku. Pak Johan adalah suami Bu Nenda yang kepincut penyanyi dangdut kampung seberang. Sampai saat ini kata tetangga yang senang bergosip Pak Johan masih suka ngapel ke rumah si artis. Mas Satrio menarik tubuhku dan mendudukannya di paha dia. Ia memeluk pinggangku ndusel-ndusel kan kepalanya di pinggang. Kebiasaan jika Aku sedang marah pasti seperti ini. Memelukku erat, katanya menghirup aroma tubuhku itu seperti candu sangat menenangkan. Aku juga sangat suka dengan harum tubuhnya, sangat maskulin. Kami memang selalu memerhatikan tubuh Kami agar selalu nyaman satu sama lain. "Sayang, Aku kan ga kaya gitu, Aku bakal setia sama Kamu, apalagi Kamu bakal jadi ibu dari anak-anakku, anak-anak Kita" ucapnya beralih ndusel di ketiakku dan mengusap-usap perut buncitku. "Adek, nih bundanya ngambek mulu sama Ayah, liat deh Dek, Bunda kalo lagi jutek makin cantik" Mas Satrio mengajak bayi dalam perutku berbicara, ku rasakan tendangan dari dalam perutku. Tampaknya bayi kami merespon ucapan ayahnya. Aku menaikan salah satu sudut bibirku mendengar ucapannya, 'Duh kenapa Aku jadi emosi gini sih, masa hanya gara-gara Bu Nenda Aku jadi ribut dengan Mas Satrio'. Dari dulu mulut Bu Nenda memang suka usil entah mengapa Dia sangat tidak suka jika melihat Mas Satrio membantuku. Padahal Aku tidak pernah mengganggunya bahkan Mas Satrio juga suka membantu jika Bu Nenda meminta pertolongannya. "Gitu dong senyum!" Ia menjawil hidungku membuat senyumanku semakin mengembang tapi masih ku tahan, 'harus jaga image donk, hihi' "Sebentar Mas punya sesuatu buat Kamu" Ia masuk ke dalam kamar sebentar lalu keluar lagi membawa sebuah bungkusan coklat. "Coba buka!" "Buat Aku?" Aku tidak mau GR duluan meskipun sebenernya sudah ingin lompat-lompat. Ia mengangguk dan menyodorkannya ke hadapanku. Ku raih bungkusan itu dan menimangnya 'cukup berat' pikirku, karena penasaran Aku segera membukanya, begitu Aku melihat isi bungkusan mataku berbinar-binar. "Mas, ini bagus banget" ternyata Mas Satrio membelikanku sebuah liontin emas putih dengan intan yang tidak terlalu besar tapi sangat cantik. Rasa kesal dalam hati mencair seketika karena kejutan ini, dia senang sekali memberi kejutan kecil tidak-tidak kali ini menurutku sebuah kejutan besar. "Ahhh, Mas Satrio" Aku menatapnya terharu, level ketampanannya semakin meningkat sekarang. Ku rasa bukan Ji Chang Wook KW lagi tapi sudah 'premium, haha..' Dia memang paling tahu cara menyenangkan istri. 'Tapi tunggu sepertinya bungkusan ini masih besar jangan-jangan masih ada isi yang lain' Aku membuka kembali karena penasaran. "Uang?" "..." Ia mengangguk sambil tersenyum menyipitkan matanya. Kali ini Aku sudah tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum lebar. "Buat lahiran?" "..." Dia menggeleng. "Terus?" "Uang buat lahiran nanti sudah ada posnya, ini Aku ngasih khusus buat Kamu, jadi terserah Kamu mau pake buat apa" "Mas Satriooo, bikin Aku melow deh pagi-pagi" Aku memeluk manja Ji Chang Wook Premium sangat mesra pasti saat ini mataku berkaca-kaca karenanya "Buat usaha boleh?" "Terserah Kamu sayang, kan Aku udah ngasih buat Kamu" "Kalo gitu Aku mau coba jualan pulsa ya Mas" Aku menghitung uang yang diberikannya, totalnya berjumlah Satu Juta Lima Ratus ribu, "Banyak banget Mas!" senyumku semakin mengembang kalau gini Aku ga perlu ngambil uang tabunganku untuk jualan pulsa justru bisa nambahin tabungan, untuk jualan pulsa karena masih perdana Aku rencana memakainya lima ratus ribu saja dulu. "Terserah Kamu Sayang, kemaren Mas dapat job sampingan benerin laptop Bos, di kasih amplop Mas kira jumlahnya sedikit ternyata cukup buat beli kalung dan kasih uang buat Kamu" Ia mengusap pucuk kepalaku lembut. Mas Satrio memang multi talent, pekerjaannya sebagai 'Cost Control' di kantor tapi Ia juga punya keahlian dibidang IT dan Komputerisasi yang dipelajari secara otodidak jadi kawan-kawannya suka memberi job tambahan tapi tidak ditarif kecuali memang butuh spare part buat barang yang rusak. Bukan Mas Satrio tidak mencukupi kebutuhanku, Aku memang ingin membuka usaha kecil-kecilan tapi tidak memakan banyak waktu makanya Aku ingin mencoba jualan pulsa saja. Hihi "Sini Mas pakein kalungnya" Aku menyingkirkan rambut agar dia leluasa memakaikan kalung di leherku, iyalah di leher masa di kaki, hehe. "Mas Satrio, Aku minta tolong dong" sebuah suara mengagetkanku saat Mas Satrio memakaikan kalung dileherku, Kami menoleh bersamaan ke arah sumber suara. "Mbak Sarah?" "Oppss, maaf tadi pintunya agak terbuka jadi Aku langsung masuk aja, Duh romantis banget sih jadi baper" Sarah mengipas-ngipaskan tangannya seolah merasa panas, kebiasaan sekali suka nyelonong masuk ke rumah, padahal jika pintu ditutup pun Ia memang suka nyelonong masuk meminta sesuatu atau tolong pada Mas Satrio. Suami Mbak Sarah, Mas Randu pulang tiga bulan sekali, pekerjaannya sama seperti Mas Satrio di kontraktor hanya suaminya ditugaskan di luar pulau, jadi hanya bisa pulang tiga bulan sekali. Jarak rumah Kami yang hanya dua rumah membuat Ia sering berkunjung, entah mengapa Ia tidak meminta bantuan Pak Rahmat yang persis di antara rumahku dan rumahnya. Alasannya sih kalau sama Mas Satrio, Mas Randu berteman baik jadi Ia lebih berani meminta tolong pada suamiku. "Wah, Mbak Lina habis dibelikan kalung sama Mas Satrio ya, Mas Randu juga kemarin habis ngirimin Aku minyak wangi impor loh" Sarah tak mau kalah memberitahuku bahwa suaminya juga perhatian. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Ia berjalan menghampiri Kami. "Bagus kalungnya, tapi kayanya lebih besar punya Aku deh Mba" Ia memamerkan kalung yang bertengger manis di lehernya, ukurannya memang lebih besar dari milikku tapi tidak dengan ukuran yang lain, Hahaha, Sstttt, jangan di lanjutin! Dia tidak tahu simpananku lebih besar dari yang ia pakai. Tapi memang dasarnya Aku tidak suka memakai kalung kecuali jika ada pesta jadi lebih sering tersimpan rapi di kotak perhiasan. "Wah iya Mbak, punya Mbak Sarah besar ya" Aku sama sekali tak berniat menyelanya, tapi setelah kuperhatikan emas yang ia pakai memang lebih besar cuma kualitasnya lebih murah dari kalung yang diberikan Mas Satrio terlihat dari warnanya, jadi kalau dijumlah harga belinya sama saja. Eh kenapa Aku jadi ikut-ikutan ujub ya, Astagfirullah jadi terpancing deh. "Ngomong-ngomong Mbak minta bantuan apa? Sampe lupa ngucap salam padahal itu sunnah loh" Aku mencubit pinggang Mas Satrio pelan dia memang tidak suka basa basi dan paling tidak suka dengan orang yang kurang sopan seperti itu. "Ini loh Mas, Aku minta tolong liatin loteng Aku, kayaknya ada bangkai tikus deh soalnya bau banget" sepertinya Mbak Sarah tidak peka dengan sikap ketus sama Mas Satrio. "Ooo... Cuma bau tikus. Kenapa ga minta sama Mang Ujang bu, dia kan spesialis bangunan" Mang Ujang adalah pekerja bangunan rumahan, hasil kerjanya bagus Ia ahli dalam manjat-manjat loteng juga. Mas Satrio memang sangat enggan jika waktu liburannya harus terganggu dengan hal yang menurutnya tidak penting. Ditambah lagi Mbak Sarah terlalu sering meminta tolong padanya meskipun Mas Satrio baru pulang kerja dia tidak segan sama sekali. Awalnya Kami berpikir gapapalah bantu tetangga tapi lama kelamaan jadi keseringan minta tolong hal yang bisa dilakukan oleh orang lain juga, seperti pasang tabung gas seharusnya Ia bisa minta pada tukang gasnya, Aku pun demikian jika kebetulan habis gas dan membeli kembali pasti minta tolong tukang gas sekalian pasang. "Tolong dong Mas Sat, rumah mang ujang kan jauh dia juga punya bau badan aku ga kuat sama bau badannya loh" padahal rumah Mang Ujang rumah nomor dua di samping depan rumahnya ada-ada saja alasannya ini. "..." Aku mengedikan bahu tanda menyerahkan keputusan pada Mas Satrio, Mas Satrio membuang nafas pelan, dengan berat hati Ia mengikuti Sarah ke rumahnya padahal belum mandi. "Aku tinggal bentar ya, ga enak sama Randu" ucapnya pelan. "Pinjam sebentar Mas Sat nya ya Mbak" ucap Mbak Sarah berniat menarik tangan suamiku tapi segera ditepis Mas Satrio. "Iya Mbak" ku lemparkan senyuman manis untuknya, 'Sabar-sabar' untung suasana hatiku saat ini sedang bagus jadi tak apalah Ia mengganggu Quality Time keluargaku saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD