Chapter 4

1012 Words
Dua bulan sebelum badai.... "Ma... kita mau ke mana? Ini rumah siapa?" Kakak dan Kris tidak berhenti bertanya. Mereka enggan mengikuti langkahku dan memilih berdiri di depan rumah setengah jadi yang masih dalam proses pembangunan. Beberapa pegawai terlihat ke luar-masuk membawa ember kecil berisi semen dan batu bata berwarna oranye. Begitu melihat kedatangan kami, mereka langsung menghentikan pekerjaannya untuk kemudian bercengkrama bersama kami. "Wah, sudah hampir selesai, Kang?" Raga menghampiri mereka untuk menyapa mereka satu per-satu sembari menggenggam tangan mungil anak-anak. Lalu mengajak mereka masuk untuk melihat-lihat ruangan ke dalam rumah 'masa depan kami'. "Iya, Pak Guru, alhamdulillah. Kalau tidak ada halangan bulan depan juga sudah bisa dihuni," timpal Pak Jaka, kuli bangunan yang umurnya kuperkirakan paling tua yang bertugas sebagai ketua di sana. Beliau mulai menunjukkan beberapa pekerjaannya. Kamar tidur, toilet dan juga dapur yang ukurannya dua kali lipat lebih besar dari dapur rumah kami yang di perumahan. Sangat cocok untukku yang hobi masak dan memiliki usaha makanan. Beberapa ide pun sudah mulai kupikirkan, sebuah kitchen set berwarna putih, serta rak piring minimalis akan kutaruh di dekat wastafel pencuci piring. Ah, memikirkannya saja sudah membuat perasaanku bahagia. Tuhan... akhirnya kami akan memiliki rumah. "Ini rumah baru kita. Ini kamar Kakak sama Aa dan itu kamar Mama sama Papa." Raga menunjuk dua kamar secara bergantian. Kedua kamar yang memiliki ukuran berbeda namun cukup luas. Iya, keduanya memang sengaja dibuat lebih besar dari kamar kami yang lama. Sengaja, supaya kami bebas menata banyak barang di sana. Terutama kamar anak-anak, akan ada dua meja belajar, lemari baju dan satu lemari tambahan khusus mainan mereka. "Tapi aku maunya bobo sama Mama!" protes Kakak. Dia mencebik lalu seperti biasa bibirnya yang tipis maju sekitar dua centimeter. Membuat anak lelaki itu terlihat lucu dan menggemaskan secara bersamaan. "Pokoknya Kakak mau tidur di kamar ini. Bareng Mama!" dia menunjuk kamar depan lalu berlari mengelilingi ruangan itu sambil tertawa. Diraihnya tanganku sembari berceloteh menanyakan warna cat yang akan dipilihnya. "Aku mau warna merah sama biru. Biar mirip spiderman. Boleh, ya?" Aku tersenyum, namun bukan aku namanya kalau tidak memanfaatkan moment lucu anak-anak dengan sedikit kejahilan. "Nggak bisa dong. Ini tuh kamarnya Mama sama Dede. Mama penginnya kasih cat ping sama walpaper Hello Kitty. Iya nggak, Sayang?" kukecup pipi tembem bayi mungilku dan tertawa begitu menyadari Kakak tengah menatap kami cemberut. Dan, beberapa detik kemudian sebuah pukulan mendarat di kakiku. "Awww!" "Ih... Mama jahat! Pokoknya nggak boleh. Harus gambar Spiderman!" Dia tetap kekeh dengan berusaha mencari dukungan dari Papanya. "Iya kan, Pah?" Raga ikut tertawa, namun seakan tidak ingin membuat anak sulungnya menangis, ia langsung mengangguk. "Iya, deh. Tapi kan Kakak ini sudah sekolah, harusnya tidurnya di kamar lain sama Aa Kris. Belajar mandiri lah." Untuk satu hal, aku sangat bersyukur memiliki suami sesabar Raga. Ya, meski umurnya sudah mendekati kata tua, tapi sebagai istri aku patut bersyukur. Meski kami hidup dalam keterbatasan, dalam beberapa hal, Raga sering kali mengalah untukku. Seperti dalam pekerjaan rumah, Raga adalah tipe suami yang tidak gengsi untuk membantu meringankan pekerjaanku saat sibuk mengurus si kecil. "Kalau Kris mah kamar yang ini aja. Sama Papa, ya?" sekarang giliran anak keduaku yang membuka suara. Dia melakukan hal yang sama seperti kakaknya. Berkeliling kamar sambil tertawa dan berceloteh tentang konsep ruangan yang diinginkannya. Dia ingin ranjang berbentuk Bumblebee dengan warna kuning dominan, seperti tokoh robot kesukaannya. Kami pun tersenyum menanggapi celotehan anak-anak yang terlampau cerewet namun tetap menggemaskan. "Rumah ini lebih luas dari rumah kita yang di perumahan. Tapi...," Aku menatap ke arah jendela. Sebuah sungai diseberang jalan mengalir membelah kawasan perumahan penduduk dan bangunan sekolah dasar. Di sana, aku melihat beberapa pedagang tengah dikerumuni anak-anak berbagai usia. Seketika pikiranku langsung dipenuhi kengerian. "Aku membayangkan Kris pasti akan kabur untuk membeli jajan ke sana," kataku, ngeri. Perkiraan nominal uang yang akan dihabiskan Kris mulai memenuhi pikiranku. Pasti tidak akan sedikit. "Itu sih sudah pasti," Raga terkekeh kecil. "Tapi kamu bisa sambil berjualan juga di sini. Lumayan kayaknya bisa menambah penghasilan kita." "Iya. Kamu benar. Aku juga penginnya buka warung di sini. Biar rumah di perumahan nggak usah dijual. Hasil jualanku kita pakai buat bayar cicilan. Biar pas anak-anak gede, kita tinggal duduk manis," aku membenarkan ucapan Raga. Sejumlah rencana sudah mulai kususun demi masa depan kami. Masa depan yang kubayangkan akan sangat sempurna. Kami hidup bahagia sampai memiliki cucu dan cicit. Tuhan... tolong kabulkan semua doa kami. Aamiin.... "Eh, tapi memangnya kamu mau ngasih modal berapa? Tabunganku sudah habis dipakai beli laptop. Kemarin katanya kamu mau transfer ke rekening aku. Jadi nggak sih? Soalnya sampai sekarang belum ada sms nitifikasi ke hape aku," aku menatap Raga penuh selidik. Begitu tatapan kami bertemu, tiba-tiba sesuatu yang aneh muncul ke dalam pikiranku. Pemikiran negatif tentang Raga namun segera kutepis karena hal itu sangat mustahil dilakukan oleh Raga. "Hmm... kayaknya nggak jadi. Uangnya habis buat bangun dapur," jawab Raga. Kali entah, entah kenapa aku mendadak tidak percaya padanya. Kulihat dan kuamati raut wajahnya. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. "Habis? Bukannya di rekeningmu ada tiga puluh juta? Masa habis semua? Kamu ngasih berapa sih buat kakak-kakak kamu itu, perasaan cuma tiga juta. Lok...?" "Ya nggak tahu. Aku nggak hitung pengeluaran kita. Pas kucek kemarin tinggal sisa sejuta." Sehabis mengatakan itu, Raga langsung meraih si cantik dari gendonganku. Lalu pergi menghampiri anak-anak yang tengah bermain di luar. Berceloteh tentang rencana memancing saat mereka pindah. Aku langsung menghela nafas, berat. Entah hanya perasaan atau feeling, aku meyakini kalau Raga sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Uang itu, pasti dia memberikannya pada orang lain tanpa sepengetahuanku. Bisa jadi ada seseorang yang meminjam dengan kalimat iba padanya. Dan, Raga yang memang sangat tidak tegaan itu akan langsung memberikan uang itu secara cuma-cuma. Tapi... siapa dia? Beberapa nama mulai muncul. Salah satunya adalah keponakan kesayangan Raga yang selalu mendapat jatah dari Raga setiap kali gajian. Menurutnya, status keponakannya sebagai single parent sangat perlu dibantu. Mengabaikan fakta kalau kakaknya cukup kaya untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Bukannya aku iri atau tidak ikhlas. Tapi, kalau setiap bulan Raga memberi mereka uang sementara aku harus berjualan supaya bisa main ke mall, lama-lama membuatku kesal juga. It's not fair. [] ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD