Chapter 3

1150 Words
Suatu malam, kutulis keluh kesahku dalam diari. Berharap semuanya hanya mimpi dan aku bisa terbangun disambut tawa anak-anak dan gelitikan Raga. Kebiasaan yang sangat kurindukan di hari jumat, hari selalu kupanggil dengan hari malas sedunia karena kita, aku dan Raga bebas dari tugas. Raga libur dan aku juga juga libur berjualan. Kubuka lembar pertama buku kecil bersampul kartun disney yang soundstrack-nya merupakan lagu kesukaanku. Di sana, di lembar pertama, terdapat catatan kecil. Dear... f**in. Kamu pernah mengatakan kalau kamu tidak memiliki sedikit pun rasa cinta pada suamiku. Kamu bilang, kamu meminta padanya karena kamu sudah jatuh miskin. Orang tuamu bercerai dan berimbas pada uang sakumu. Tapi...  Pernahkah kau berpikir sedikit saja tentangku dan anak-anakku? Kau tahu mereka masih sangat kecil dan butuh biaya. Lalu, dengan tanpa perasaan kau menjadikan perceraian orang tuamu sebagai alasan meminta pada lelaki yang sudah beristri. Aku tidak akan mempersalahkan nominal. Tapi dampak yang terjadi setelahnya. Kau tahu, aku terluka karenamu. Aku bahkan harus bolak-balik ke Rumah Sakit. Mulai dari sinutisis hingga depresi yang membuatku kehilangan segalanya. Aku kehilangan cinta dari lelaki yang menikahiku delapan tahun silam. Juga jati diriku. Tidak perlu kujabarkan semuanya. Tapi, sebagai sesama perempuan aku yakin kau akan paham apa maksud perkataanku. Semoga kamu tidak merasakan apa yang kurasakan. Kerena kamu belum tentu bisa bertahan seperti aku. Kai belum tentu sekuat aku.  *** Kau kembali. Bukan untuk mengajakku pulang, melainkan untuk mengantar anak-anak. Besok adalah hari minggu, Kakak libur, dan akhirnya anak kedua kita mau menginap di Rumah pamannya untuk tidur bersamaku. Segera kupeluk Kris, anak kedua, untuk menebus rasa kangen selama seminggu berpisah. "Bagaimana?  Besok jadi kan?" kau menggeleng mendengar pertanyaanku. Sudah kuduga, dia pasti tidak akan bisa memenuhi keinginanku. Seperti kemarin, dan mungkin juga nanti.  Tidak. Aku tidak berburuk sangka padanya. Ini semua hasil dari penelituanku selama menikah dengannya. "Aku nunggu keputusan Bang Harun, terus kata kakakku harus nunggu suasana damai dulu. Ah,  masalah tempat juga penginnya di rumah kita saja." Kau berujar berbarengan dengan kedatangan kakak iparku. Lalu, kau pun langsung menjelaskan ucapanmu padanya. "Jangan tergantung dengan kemauan Bang Harun, tanyakan itu pada hatimu. Kau itu... sebenarnya masih ingin melanjutkan atau tidak? Lalu, atas dasar apa kau mau lanjut? Aku tidak mau kalau keputusanmu hanya karena anak-anak. Bukan karena aku tidak sayang mereka, hanya saja aku juga ingin bahagia. Aku tidak ingin dianggap 'kewajiban' saja olehmu." Entah ada keajaiban apa, kali ini aku bisa bicara panjang lebar tanpa emosi. Yang jelas, aku sangat puas menyadari diriku sudah bisa mengendalikan emosi, meski tanpa obat penenang.  Kau tidak langsung menjawab, karena harus mengganti posisi si bungsu dalam gendonganmu. "Aku sudah bilang dari kemarin, ayo kita perbaiki hubungan kita. Kita belajar dari awal," katamu sembari menatap wajahku, sekilas, karena aku buru-buru membrondongmu dengan pertanyaan. Aku tidak ingin termakan oleh wajah memelas Raga yang jika dilihat sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda suami tukang selingkuh. Bahkan sebaliknya. Penampilannya menunjukkan dia laki-laki alim yang tidak akan tega berkhianat.  "Memangnya kau yakin kita bisa akur seperti dulu lagi?" Aku kembali bertanya untuk meyakinkan hati. Apakah dia yakin ingin kembali hidup bersamaku? Bukan karena kewajiban seperti yang pernah Raga ucapkan tiga hari lalu. Saat kami terlibat pertengkaran, Raga menyebut aku adalah kewajibannya, sementara gadis itu adalah harapannya.  Raga menoleh padaku. So bungsu yang tengah digendongnya dia biarkan turun untuk bermain. "Kalau Mama tidak mengungkit kesalahanku pasti bisa. Lain hal...." "Berhenti menyalahkanku!" potongku halal. Kebiasaanku setiap kali kesal. "Kesalahan ada padamu. Kau pasti tahu tabiatku kalau dikecewakan. Apalagi dengan penghianatanmu." Aku menarik napas. Berusaha mati-matian agar tidak emosi melihat dan mendengar kalimatnya yang selalu menuduhku sebagai akar pertengkaran kami. "Aku sudah terlanjur sakit hati, itulah alasanku marah dan mengamuk. Terlepas dari trauma dan gangguan psikis yang baru-baru ini aku derita. Sekarang, aku mau bertanya 'apa kamu bisa mengimbangiku saat aku marah dan ngamuk kala mengingat kembali penghianatanmu?' Kau pasti tahu kalau aku wanita keras kepala yang membutuhkan waktu lama untuk melupakan dan memaafkanmu. Apa kau akan menamparku lagi kalau bersikap histeris?" Kau diam, lalu memberikan jawaban gamang yang kutebak masih ragu. "Baiklah. Lain kali aku akan membiarkan kamu ngamuk saja, kalau pertolonganku kamu anggap sebagai tindak kekerasan rumah tangga. Aku... jalapeno dan tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Maaf...," Raga mengusap wajahnya kasar. Penampilannya sungguh berantakan. Kemeja kusut yang kutebak tidak ia setrika. Aku diam. Memang malam itu aku sangat kalut. Aku marah karena Raga membandingkan aku dengan gadis ingusan itu. Bahkan tanpa perasaan menyuruhku meniru gaya bicara gadis itu yang terlampau manja dan kekanakan supaya Raga mau mendengarkan aku dan mau memberi uang untuk berbelanja. Sialan! "Kau bahkan sudah tidak mengirimiku pesan sebelum tidur," sindirku sembari menatap tetesan hujan di beranda rumah. Angin yang berhembus menerpa kulitku yang hangat.  "Aku serba salah. Mau bilang ini-itu hasilnya tetap sama. Dimatamu aku bernilai nol." Aku terkekeh mendengar ucapannya. Sekelibat bayangan miris dua hari lalu masuk ke dalam ingatanku. "Itu karena jawabanmu mirip orang setres. Aku mengirim foto wajahku yang lebam akibat tamparan darimu. Dan kau dengan seenak jidat mengatakan aku semakin cantik dan kau semakin mencintaiku. Orang gila juga tahu wajahku bonyok dan tidak ada cantik-cantiknya." Kau mendelik mendengar jawabanku. Katakanlah aku keterlaluan dalam menyambut keinginannya yang mau berubah. Tapi, mengingat kejadian itu lagi, jujur aku ingin tertawa dan menangis secara bersamaan. Jengkel dengan kelakuannya yang selalu mengatakan tidak bisa merayu, namun dalam pesannya pada perempuan-perempuan cantik di media sosial, dia terlihat sangat ahli merayu. Dasar buaya darat! Kali ini aku berjanji akan membuat lelaki tua dihadapanku jera sudah menyia-nyiakan dan menghina diriku dengan memilih bermain serong dengan gadis cabe-cabean.  "Bagaimana tidak salah, aku membalas sambil masak dan menyuapi anak-anak." "Bagaimana rasanya masak dan mengurus anak sendirian? Capek? Atau justru enak?" Aku cukup terhibur melihat perubahan raut wajahnya. Dia... pasti malu untuk mengakui kalau ucapannya dulu sangatlah salah. Dia sudah menyadari akan beban yang harus dikerjakan seorang istri selama dua puluh empat jam itu sangatlah berat. Lebih berat ketimbang bekerja di kantor yang hanya menghabiskan waktu sekitar tujuh atau delapan jam.  "Biarkan saja dulu! Jangan merasa kasihan dengannya, kita lihat beberapa hari lagi untuk membalas rasa sakitmu," bisik kakak ketigaku bersamaan dengan hilangnya bayangan Raga. Dia sudah pulang bersama Kris yang dia rayu untuk ikut bersamanya. Dia mengajak anak kedua kami pulang dengan alasan takut terlalu merepotkan aku. Aku akan kelelahan menjaga bayi dan dua anak yang sedang aktif-aktifnya. Tapi, aku pikir bukan hanya itu, Raga mengajak Kris pulang karena butuh teman. Meski kesal karena tidak bisa bersama Kris. Kubiarkan saja dia pulang setelah kupeluk dan kucium. "Aa, Mama sayang aa. Di rumah nurut sama Papa, ya? Jangan nakal," bisikku diakhir ciuman. Sementara tanpa kusadari tangisku pecah tanpa bisa kucegah. Aku segera berlari menuju kamar mandi untuk menyembunyikannya dari anak-anak dan keluargaku. "Tuhan... kenapa sesakit ini? Baru kemarin aku merasakan kebahagiaan. Mendapatkan bayi perempuan yang sangat kuinginkan. Mendapat rezeki untuk membeli rumah. Kemudian... tiba-tiba semuanya lenyap dalam semalam. Raga memberi celah pada gadis itu sehingga bisa leluasa menguasainya. Melebihi diriku yang memiliki hak penuh atas Raga." [] ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD