"Jadi gimana pertemuan lo tadi?" Laras bertanya pada Kanaya yang duduk di depannya. Sekarang mereka sedang berada di cafe dekat kantor Kanaya. Laras sengaja mampir ke kantor Kanaya saat jam makan siang hanya demi bertanya soal hasil pertemuannya dengan teman Laras yang dikenalkan pada Kanaya.
"Gatot. Alias gagal total."
"Kok bisa? Dia kurang apa? Bukannya dia udah sesuai sama kriteria lo?"
"Sesuai, sih, sesuai, tapi gue hampir aja kena labrak mantan pacarnya tadi. Untung aja badan gue masih utuh, gak kena acak-acak tangannya."
"Serius? Gue gak tau kalau dia sama mantannya masih ada hubungan. Sorry, Na."
Kanaya memperbaiki posisi duduknya sambil menyeruput es jeruk di depannya. "Wajar aja, sih, kalo lo gak tau. Si cowoknya emang ngerasa udah gak ada urusan lagi sama ceweknya, cuman ini masalahnya ceweknya yang agak gila. Dia obsessed banget sampe ngelabrak siapapun cewek yang keliatan punya potensi ngerebut mantannya. Gue angkat tangan deh, kalo urusannya gini. Nyari yang aman aja, ngeri soalnya."
"Gila banget, sih, itu cewek. Kurang beres kayaknya kejiwaannya."
Kanaya mengangguk menyetujui ucapan Laras. "Eh, lo ada kenalan cowok lagi, gak? Jujur sih, nyari partner kondangan segini amat susahnya. Ini udah cowok keberapa yang lo kenalin ke gue. Gak ada yang beres!"
"Bentar, gue cek, siapa tau ada." Laras mengecek kontak yang ada di ponselnya. Men-scan satu persatu kenalan cowoknya yang bisa dikenalkan pada Kanaya.
"Kalo kayak gini kayaknya gue nyerah aja deh, capek lama-lama." Kanaya berucap pasrah.
"Ya, jangan gitu dong! Emangnya lo mau ngeliat mantan lo tebar senyum di pelaminan sama bininya? Sedangkan lo cuman bisa ngeliatin dia sambil makan es cendol dawet di pojokan! Pokoknya rencana ini harus berhasil! Gue mau Niko tau kalo dia itu gak berarti apa-apa di hidup lo! Berakhirnya hubungan kalian tuh gak ada pengaruh apa-apa buat lo."
"Gue juga maunya gitu, Ras, tapi cowok yang bisa dijadiin bahan kompor aja gak ada, gimana mau ngejalanin rencana."
"Lagian lo milih partner kondangan aja kriterianya tinggi banget. Giliran dapet yang sesuai kriteria malah mantannya yang gak beres.”
“Gue juga gak habis pikir kenapa nyari cowok sesusah ini. Gue maunya rencana ini dibuat senatural mungkin, sampe gak ada celah. Terus, nih, ya, cowok yang gue bawa jadi partner kondangan nanti tuh, levelnya minimal sepadan sama Niko. Kalo bisa di atasnya sih, biar gak malu-maluin. Lo tau, kan, Niko orangnya gimana, dia bisa ketawa abis-abisan kalo tau cowok yang gue bawa masih kalah standar di bawah dia."
"Ya udah, sewa aktor terkenal aja suruh dampingin lo, dijamin heboh acara kawinan mantan lo karena kedatangan seleb," ucap Laras gemas dengan tingkah Kanaya yang banyak maunya.
"Lo dukung gue gak, sih?"
"Dukung Na, tapi kalo nyari cowok yang sesuai kriteria lo dalam waktu dekat ini tuh ibarat nyari jarum ditumpukan jerami. Alias mustahil." Laras memilih memesan makan siang demi mengalihkan perhatiannya dari sahabatnya. Dia butuh untuk melampiaskan rasa gemasnya pada Kanaya. Kalau dipikir-pikir, sahabatnya itu memang perfeksionis sejak dulu. Padahal ini hal sepele. Tinggal cari cowok jomlo yang bersedia jadi partner kondangan, kasih upah, beres. Sesimpel itu. Namun, dasarnya Kanaya Atmajaya itu tidak bisa kalau tidak mencari celah yang membuat dia susah sendiri. Perempuan itu benar-benar menyeleksi dengan hati-hati cowok yang akan dijadikan partner kondangan seperti mau memilih calon suami.
"Sekarang intinya lo masih niat bantuin gue, kan?"
"Iya, gue bakal bantu. Tenang aja. Cuman masalahnya sekarang stok cowok-cowok jomlo di kontak gue berkurang. Ada, sih, yang masih sendiri, tapi pasti lo bakal nolak. Standarnya jauh banget di bawah Niko. Gue yakin lo langsung balik badan sebelum duduk hadap-hadapan sama orangnya."
"Separah itu?" Kanaya jadi penasaran.
"Gak parah-parah banget, sih. Cuman, ya, orangnya agak introvert gitu, tipe-tipe cowok nerd yang lebih suka menyendiri dibanding bersosialisasi."
"Tapi pasti hidupnya mapan, kan?"
Laras menggerakkan jarinya. "Ya lumayan, lah. Kalo buat ngehidupin lo sama anak lo 4 turunan kayaknya bisa, deh."
"Buset! Tajir dong!"
"Tajir duit bokapnya. Lo tanya-tanya gini emangnya minat?"
Kanaya diam sejenak, berpikir. "Jadiin opsi terakhir aja kalo udah gak ada pilihan lain. Gue kayaknya bisa ngerubah dikit-dikit."
"Good job, deh."
"Yang lain ada gak?"
Laras meletakkan sendoknya di piring sebentar, kembali sibuk menggulir layar ponselnya. "Mirip-mirip lah, sama kayak yang sebelumnya. Gue kan bilang, kalo mau ngikutin standar lo, gue udah gak ada kenalan, sisa yang emang dari awal gue jadiin opsi terakhir."
Kanaya menghela napas panjang. "Gini amat sih, hidup. Udah apes ditinggal mantan nikah, ini mau balas dendam aja dipersulit. Berasa gue yang jadi antagonisnya di sini, jalannya dibikin kelok-kelok mulu."
"Kalo ini mah, lo-nya aja yang mempersulit diri sendiri, Na. Tuhan udah ngasih lo tangga buat naik, tapi lo malah milih manjat dari tembok. Kan, ngeselin." Laras tak berhentinya mencibir yang tidak ditanggapi oleh Kanaya. Perempuan itu lebih memilih ikut memesan makan siang seperti Laras.
"Kira-kira mantan lo nyesel gak, ya, Na. Ninggalin elo."
"Pasti, lah! Harus banget nyesel! Gue gak terima kalau dia masih bisa senyum-senyum di atas kegalauan gue! Pokoknya dia gak boleh lebih bahagia dibanding gue!"
"Kalo ternyata dia gak nyesel gimana, Na? Kalo ternyata spek bininya jauh dibanding lo, lo mau apa?" Kanaya terdiam mendengar perkataan Laras. Hal itu mau tidak mau sedikit menyentil perasaannya. Yang dikatakan Laras benar juga. Bagaimana kalau ternyata selama ini yang menjadi pengacau dari hubungan yang telah kandas ini semua adalah dirinya? Karena kekurangannya yang bisa didapatkan Niko dari wanita lain menjadi Niko jadi memutuskannya. Bisa jadi Niko sudah tidak tahan dengan sikap Kanaya sehingga pria itu mencari kenyamanan lain pada wanita lain kemudian mulai melupakan Kanaya?
Ah, tapi, kan, dalam sebuah hubungan yang penting adalah komunikasi. Jika alasannya seperti itu kenapa Niko tidak mengkomunikasikan dahulu padanya? Bukan malah asal memutuskan kemudian tiba-tiba memberi undangan pernikahan. Lagian selama ini Kanaya merasa tak pernah neko-neko. Dia selalu berusaha menunjukkan yang terbaik di depan Niko. Kalau mungkin alasannya seperti itu, Kanaya yang harusnya berpikir untuk berpisah dibanding Niko. Kesabaran Kanaya terhadap Niko itu tanpa batas. Dia selalu memaafkan kesalahan-kesalahan yang Niko buat tanpa mengungkitnya kembali. Berbeda dengan Niko yang selalu marah dengan hal-hal kecil yang terasa salah di mata pria itu. Kalau Kanaya dibilang perfeksionis, Niko lebih dari itu.
***