Sepuluh

1646 Words
Masa cuti sudah habis, sekarang saatnya kembali ke rutinitas semula. Mario sudah bangun pagi-pagi sekali karena hari ini ia mulai melanjutkan syutingnya yang sempat tertunda. Tapi, bau harum masakan membuat ia menghentikan aktivitasnya untuk memakai baju. Seperti yang diminta istrinya, Marina tidur di kamar sebelah. Pastilah gadis itu yang memasak sekarang, dan perut laparnya menuntun ke dapur, padahal ia hanya menggunakan sehelai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya dan memamerkan otot sixpack-nya. "Masak apa, Sayang?" tanya Mario lembut, ia ingin bermain-main sebentar dengan istri barunya tersebut. "Hmm, cuma nasi goreng. Kuharap kau menyukai ... huwaaa! Pakai bajumu, Mario!" Marina langsung menjerit begitu melihat keadaan suaminya. Ia menutup matanya dan berusaha menelan ludah berkali-kali dengan tidak kentara. "Hei, apa salahnya aku begini di depan istriku? Aku baru habis mandi dan aku sangat lapar. Biarkan aku makan dulu. Lagi pula kau kan tidak menyukaiku, jadi tidak masalah, bukan?" Rio berkata begitu sambil duduk di meja makan yang ada di dapur, tangannya mengambil piring yang sudah tersedia dan memukul-mukulnya dengan sendok. "Berhentilah bersikap seperti anak kecil!" Akhirnya Marina mengalah dan membawa mangkuk besar berisi nasi goreng untuknya dan Mario. "Aku lapar, Sayang," jawab Mario sambil mengerling genit. "Dan berhenti memanggilku sayang!" kata Marina ketus sambil menyendokkan nasi ke piring Mario. "Terima kasih, Sayang," ucap Mario setelah menerima nasi gorengnya dan mulai makan dengan lahap. Marina hanya mencibir karena peringatannya tidak digubris. Ia pun mulai makan sambil sesekali melihat ke arah rambut Mario yang basah dan terkadang airnya menetes ke d**a bidangnya. "Hari ini aku akan pulang malam, tidak apa-apa kan kau di apartemen sendirian?" Mario membuyarkan lamunan Marina. Gadis itu menelan nasi goreng yang terasa tersangkut di tenggorokannya dengan bantuan air putih. "Tidak apa-apa. Lagi pula, hari ini aku mau ke butik Tante Emma untuk membicarakan pesanan gaunnya." "Baiklah, jangan terlalu lelah. Aku sudah selesai, karena harus buru-buru. Nasi gorengnya enak sekali. Terima kasih, Istriku." Tanpa aba-aba, Mario mengecup pipi kanan Marina sekilas lalu kembali ke kamarnya. Ia tersenyum tipis melihat wajah gadisnya yang berubah memerah dengan perlakuannya. ~oOo~ Syuting hari ini sangat melelahkan, Mario dan timnya harus mengejar syuting yang seharusnya sudah selesai. Karena itu, ia berkali-kali meminta maaf pada para kru yang membantunya. Sudah lewat tengah malam ketika Mario sampai di apartemennya. Ia membuka kunci dan menemukan televisi di ruang depan masih menyala. Pasti gadis itu belum tidur. Sudah satu bulan ia menikah dan selama ini ia memang memberikan kunci cadangannya pada Marina agar lebih mudah jika mereka ada urusan di luar dan pulang kapan saja. Mario membuka jaket lalu mengempaskan tubuhnya di sofa. Marina yang sudah setengah mengantuk, terlihat tersenyum cerah melihat Mario. "Senang melihatmu tersenyum menyambut-ku," kata Mario genit, lalu gadis itu segera sadar dan memanyunkan bibirnya sehingga membuat Mario tertawa geli. "Apa kau sangat lelah? Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya ragu-ragu. "Katakan saja," sahut Mario setelah menguap berkali-kali. "Hmm, kalau boleh ... aku mau ...." Marina terlihat gugup sambil meremas jemarinya. Mario mengangkat sebelah alisnya, "Ada apa, Sayang? Apa kau berubah pikiran dan ingin tidur bersama?" Istrinya itu langsung menggeleng dengan wajah merah padam. "Bukan itu! Aku hanya mau meminjam ruang bacamu untuk kujadikan ruang kerja sementara sampai pesanan Tante Emma selesai." Mario terlihat sedikit kecewa karena tebakannya salah, tapi lalu segera tersenyum lembut. Masih terlalu cepat untuk itu. "Tentu saja, apartemen ini juga milikmu. Kau bebas memakai ruang mana pun yang kau suka. Bahkan kamarku sekalipun," ujarnya terkekeh. "Tidak perlu. Ruang baca saja sudah cukup, terima kasih." Setelah berkata begitu, Marina segera kabur ke kamarnya karena tidak bisa berhadapan dengan suaminya lebih lama lagi. Ia masih bisa mendengar pria itu tertawa sebelum masuk ke kamarnya. Beberapa hari kemudian, Mario benar-benar menyesali keputusannya meminjamkan ruang baca pada Marina. Sejak saat itu, istrinya lebih sering berada di 'ruang kerja' barunya daripada di ruang mana pun yang ada di apartemennya. Mario tidak bisa melihatnya memasak atau menonton televisi lagi. Setiap Mario berangkat syuting, gadis itu sudah ada di sana. Ia sarapan seorang diri dengan menu yang hampir dingin, entah jam berapa gadis itu menyiapkannya. Dan begitu ia pulang larut malam, gadis itu masih berkutat serius dengan gaun-gaun setengah jadi itu. Hanya makan malam yang tersedia di meja makan saja yang menandakan ia keluar dari ruangan itu untuk memasak. Mario kesepian, kesibukan gadis itu bahkan melebihi kesibukannya sebagai seorang aktor dan model terkenal. Ia mulai merindukan Marina, merindukan gadis itu berada di sampingnya. Sudah sepuluh menit Mario berdiri di ruang kerja istrinya, namun gadis itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya. Marina terlihat sangat serius dengan gaun selutut berwarna magenta dan berhiaskan batu-batuan berkilau yang terpasang di manekin miliknya. Sesekali gadis itu menambahkan sesuatu di gaun itu dengan cara menjahitnya. Harus ia akui kehebatan Marina dalam bekerja, gaun itu terlihat luar biasa indah meskipun belum selesai. Dan di sisi ruangan, terdapat beberapa gaun yang sudah jadi dengan bermacam model dan juga warna. "Kau hebat!" ucapan Mario membuat gadis itu terperanjat. "Sejak kapan kau berdiri di situ?" tanya Marina kaget. "Lima belas menit yang lalu," jawabnya sambil menghampiri gadis itu. "Benarkah? Lalu, kenapa kau tidak memanggilku?" "Aku tidak ingin mengganggumu, tapi melihat mata pandamu itu, kurasa kau harus beristirahat sekarang," kata Mario tegas. Marina menunduk malu, ia memang kurang tidur beberapa hari ini. Gaun-gaun setengah jadi hasil jahitan karyawannya sudah menumpuk dan dia sendiri yang harus menambahkan aksen batu berharga dengan jahitan tangan agar hasilnya lebih memuaskan. Dia sudah terbiasa melakukan hal ini sejak masih di Paris seorang diri, mengurung diri dalam kamar selama berhari-hari sampai semuanya selesai. Ia berhenti hanya untuk tidur sebentar dan memesan makanan saja. Ia tidak menyangka kalau Mario akan memperhatikan penampilannya. "Aku harus menyelesaikan ini dulu, baru setelah itu istirahat. Aku tidak akan tenang kalau ini belum selesai," kilahnya, lalu ia kembali menekuni gaunnya, berusaha tidak memandang Mario. "Sarapan sudah kusiapkan di atas meja. Pergilah sarapan dulu," usir Marina halus, ia tidak bisa berkonsentrasi kalau pria itu masih terus memandanginya dengan intens. "Sarapan bersamaku," ajaknya datar. "Aku tidak bisa, kau duluan saja," tolak Marina. "Lalu, kapan kau akan makan?" Marina mengangkat bahu, "Setelah ini selesai, nanti siang mungkin," jawabnya tak acuh. "Kau bukan robot, Marina! Kau ini manusia yang butuh makan dan istirahat. Jadi, berhentilah bekerja dan ikut makan denganku!" Mario menarik tangan gadis itu dengan paksa. "Lepaskan aku! Kau tidak berhak mengaturku!" hardik Marina berang, ia paling tidak suka diganggu saat sedang bekerja. "Aku berhak!" Mario balas berteriak kalap, kesabarannya sudah habis menghadapi kelakuan istrinya ini. "Aku suamimu! Kau tahu itu." "Aku tahu. Tapi, bukan berarti kau bisa mengaturku sesuka hatimu! Aku sudah melakukan tugasku sebagai istri. Aku sudah memasak, membersihkan rumah, dan menyiapkan semua kebutuhanmu. Lalu, apa lagi?!" Marina tidak mau kalah. "Apa hanya itu tugas istri?! Asisten rumah tangga juga bisa melakukannya! Kau belum sepenuhnya melakukan kewajibanmu sebagai istri," desis Mario tajam sambil terus mendekati Marina, membuat gadis itu mundur perlahan. Wajah gadis itu memucat, ia tahu ucapan Mario sepenuhnya benar. Tapi, ia tidak bisa melakukannya. Hatinya masih belum bisa menerima Mario menjadi suami sepenuhnya. "Aku ...," Marina tersentak ketika punggungnya menabrak dinding, sementara Mario hanya berjarak kurang dari satu meter darinya. "Aku sudah mencoba memahamimu. Aku tidak pernah memaksamu meskipun aku sangat menginginkannya. Aku menunggu sampai kau siap menerimaku. Tapi, kau bahkan sama sekali tidak berusaha untuk melihatku sebagai suami. Kau anggap apa aku ini?" Mario berkata dengan pahit, mengeluarkan semua isi hatinya. Padahal setelah menikah, ia berusaha untuk tidak menemui pacar-pacarnya lagi demi menghormati Marina. Tapi Marina malah bersikap seperti ini padanya. "Aku tidak bisa berhubungan dengan orang yang tidak aku cintai!" ucapan Marina membuat d**a Mario terasa tercabik-cabik. Ada sesuatu di tubuhnya yang terasa membakar dan membuatnya cemburu. "Apa kau mencintai pria lain?" tanyanya lirih. Marina mengangguk perlahan, meskipun hatinya tidak meyakini perasaan itu lagi. Ia hanya ingin terbebas dari Mario, karena ia tidak mampu bernapas tanpa menghirup aroma maskulin pria itu di dekatnya. "Pria itu ... Pria yang mencuri ciuman pertamamu?" tanya Mario lagi, ia tidak bisa berhenti bertanya meskipun itu hanya akan membuat hatinya bertambah sakit. Lagi-lagi Marina mengangguk dalam, tidak bisa berkata-kata. Sudah telanjur basah, tidak ada gunanya ditutupi lagi. "Aku mencintainya, Radithya Erlangga. Dia cinta pertamaku," ungkap Marina. Ada rasa sakit saat Mario mendengar istrinya mengatakan cinta pada pria lain. Tapi, ia mencoba untuk menjadi pendengar yang baik. "Sekarang di mana pria itu?" tanya Mario perih. Marina menggeleng pelan, "Aku tidak tahu. Dia menghilang tanpa kabar lima tahun lalu." Rahang Mario mengeras, ia mengepalkan tinjunya di kedua sisi kepala Marina. Mengurung gadis itu dalam kekuasaannya. Napas gadis itu turun naik, tubuhnya sedikit gemetar, mungkinkah dia ketakutan berada di dekatnya? "Kau mencintai pria b******k yang sudah meninggalkanmu selama lima tahun?! Kau benar-benar gila!" teriak Mario frustrasi, kenapa ada gadis yang seperti ini? Dan kenapa gadis itu adalah istrinya?! "Jangan sebut dia b******k! Dia lebih terhormat dari playboy sepertimu!" amarah Marina memuncak mendengar Mario menghina Radith-nya. "Apa kau sadar kalau kau sudah menghina suamimu sendiri, Marina?!" ada nada kesakitan dalam suaranya. Ia memejamkan mata sekilas, lalu kembali menatapnya dengan tajam. "Aku hanya menjelaskan kepada suami yang tidak kucintai untuk tidak menghina pria yang kucintai," kata Marina tegas. Perkataan Marina terasa seperti sebuah belati yang menusuk tepat di jantungnya. Tajam dan menyakitkan. Bagaimana pernikahan ini akan berhasil kalau salah satu dari mereka tidak mau berusaha membuka hatinya untuk pasangannya sendiri? "Kau ...!" Mario sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapi istrinya. Tidak ada gunanya mengatakan sesuatu yang tidak akan berpengaruh pada gadis keras kepala di hadapannya. Ia menyerah. "Pergilah! Tidak ada gunanya kau tetap di sini kalau hatimu tidak berada bersamamu," kata Mario dingin lalu meninggalkan Marina yang terpaku. Setelah kepergian Mario, Marina baru sadar dengan semua yang sudah ia katakan. Meskipun ia tidak mencintainya, tidak sepantasnya ia memperlakukan suaminya seperti itu. Tapi perkataan Mario barusan membuatnya berpikir. Apa itu artinya Mario sudah mengusirnya? Apakah pernikahan mereka hanya sampai di sini? Air mata perlahan menetes di pipi cekungnya. ~oOo~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD