Without You
Tiga minggu berlalu ...
Sejak saat itu, Marina memutuskan untuk segera kembali ke Paris. Pesanan gaun Tante Emma sudah selesai dan langsung ia kirimkan ke butiknya. Sekarang ia harus berkonsentrasi untuk fashion show-nya yang akan dilaksanakan minggu depan, tapi pikirannya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama.
Ia masih memikirkan Mario, sampai sekarang tidak ada surat cerai yang sampai ke tangannya. Atau mungkin, surat itu dikirimkan ke alamat papanya? Tapi, kalau memang begitu, pasti papanya sudah heboh memberitahunya. Saat Marina memutuskan pergi ke Paris saja papanya sudah marah besar, tapi ia beralasan ini demi fashion shownya. Atau ... Mario memang tidak berniat untuk menceraikannya, sama seperti Marina.
Seharusnya ia senang bisa terlepas dari pria itu. Marina tidak mau terjebak dalam pernikahan di mana keduanya tidak saling mencintai. Seandainya saja Mario mencintainya dan mereka menikah secara normal, mungkin semuanya bisa jadi lebih baik.
Tapi dia sendiri yang mengatakan kalau ia mencintai Radith. Ya, hati kecilnya memang masih mengharapkan Radith kembali. Walau bagaimanapun, Radith adalah pria pertama yang membuatnya merasakan apa artinya cinta. Tapi perkataan Mario ada benarnya juga. Untuk apa menunggu pria yang sudah meninggalkannya selama lima tahun?
Tanpa sadar ia mendesah, memilih Mario juga bukan pilihan tepat, dia terlalu banyak dikelilingi gadis-gadis cantik dan seksi. Siapa yang bisa menjamin kalau setelah menikah Mario tidak akan berselingkuh, atau bahkan b******a sesuka hatinya dengan salah satu dari mereka?
Marina mengusap wajahnya, membayangkan suaminya berhubungan intim bersama wanita lain membuatnya sesak. Kenapa dia tidak bisa berpikir jernih saat ini? Bukankah sudah jelas kalau satu-satunya jalan adalah perceraian?
Dengan begitu, ia bisa fokus untuk bekerja dan menunggu Radit, terlepas dari semua rasa sakit yang menyerang perasaannya. Lalu, Mario juga bisa bebas melanjutkan karier maupun percintaannya dengan wanita mana pun. Lagi-lagi dadanya terasa sakit. Benarkah ia masih mencintai Radit?
"Rin," panggil Grace khawatir, "Kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat."
"Aku tidak apa-apa, Grace. Aku hanya sedang banyak pikiran saja," jawabnya jujur.
"Memikirkan Mario? Kau yakin akan benar-benar bercerai dengannya?" tebak Grace. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran untuk sahabatnya itu.
Marina memang sudah menceritakan semuanya pada Grace dan wanita itu mengerti bagaimana perasaannya. Dia sudah pernah menjalin hubungan dengan seseorang dan tidak berakhir dengan baik.
"Entahlah, kalau itu bisa membuatnya bahagia," sahutnya asal.
"Kau yakin setelah bercerai Mario akan bahagia? Kalian akan bahagia? Bagaimana dengan papa dan mertuamu?" tanya Grace tajam. Ia tahu kalau sahabatnya itu sekarang mulai jatuh cinta pada suaminya sendiri, bahkan tanpa dia sadari. Hanya saja wanita itu terlalu keras kepala untuk mengakui perasaannya.
Marina menghela napas berat sambil memijit pelipisnya.
"Bagaimana persiapan fashion show kita?"
Grace tahu Rin mengalihkan pembicaraan, tapi ia pun memilih tidak mendesaknya. Ia akan membiarkan sahabatnya itu berpikir sendiri. Semoga saja Marina bisa memilih yang terbaik untuk pasangan hidupnya.
"Sudah sembilan puluh persen, sisanya tinggal nanti dekorasi panggung dan gedungnya. Untuk karya andalanmu, apa kau yakin akan tetap memakai Mario?" tanya Grace ragu.
Marina lupa kalau ia sudah menyiapkan karya terbaiknya untuk dipakai Mario sebagai pengganti modelnya. Sekarang, setelah ia diusir dari apartemennya, masih beranikah Marina menelepon dan memastikan kesediaannya menjadi model? Lebih baik ia mati saja daripada melakukan hal itu.
Akhirnya gadis itu hanya mengendikkan bahunya untuk menjawab pertanyaan Grace, karena ia sendiri tidak tahu jawabannya.
~oOo~
"Oh, Mario, kau tampan sekali!" kata Renata sambil cekikikan dari tempat duduknya di pangkuan Mario.
"Terima kasih, Sayang. Kau juga terlihat luar biasa hari ini," balas Mario yang disambut tawa gadis itu.
Renata masih membelai wajah Mario dengan mesra ketika pintu kantor Mario terbuka.
"Oh, s**t! Bisakah kalian menghentikan itu? Mario, kau harus bekerja!" Erick berteriak kesal.
"Katakan apa pekerjaanku sekarang, Erick," kata Mario datar pada asistennya itu.
"Kau ada pemotretan satu jam lagi."
"Itu masih lama," kilahnya.
Renata tersenyum menggoda sambil membasahi bibirnya, membuat Erick jijik melihatnya.
"Bagaimana dengan fashion show Marina di Paris minggu depan, kau akan datang?"
Mendengar nama Marina disebut, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menurunkan Renata dari pangkuannya yang membuat gadis itu cemberut.
"Jangan marah, Sayang. Kau akan ikut denganku ke Paris minggu depan, bagaimana?" tanya Mario.
"Benarkah? ucap Renata berbinar, melupakan kekesalannya dalam sekejap. Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa lagi, Sayang."
Renata mengecup bibir Mario sekilas lalu pergi setelah melemparkan tatapan tidak suka pada Erick karena telah mengganggu acaranya.
"Apa-apaan kau ini? Kau akan membawa wanita lain di peragaan busana istrimu sendiri? Apa kau sudah gila?!" desis Erick frustrasi ketika mereka hanya tinggal berdua.
"Aku memang gila, Erick. Jadi, pergilah tinggalkan orang gila ini sendirian!" usir Mario dingin.
"Sampai kapan kau akan menyiksa dirimu sendiri dengan mengencani gadis yang berbeda setiap hari? Apa dengan begitu kau bisa melupakan Marina? Kalau kau memang mencintainya, kejar dan katakan padanya!" ujar Erick tajam, ia sudah mengenal Mario sejak kecil dan ia sangat mengerti perasaannya saat ini.
"Kau tidak mengerti, Erick. Dia mencintai pria lain! Dia tidak pernah mengharapkan aku sedikit pun," Mario berkata pahit.
"Kalau begitu, buat dia mencintaimu," Erick berkata sebelum berlalu, meninggalkan Mario dengan pemikirannya sendiri.
Pria itu masih diam memandangi ponselnya. Ia memandangi foto Marina yang sedang serius bekerja, sedang memasak, ataupun foto Marina yang sedang tertidur di kursi sambil menonton TV. Semua foto itu ia ambil secara diam-diam untuk meredakan kerinduannya.
Erick benar, meskipun setiap hari ia berkencan dengan wanita lain, kekosongan di hatinya masih terasa. Ia hanya menginginkan Marina. Sebut saja ia gila, bahkan sampai detik ini ia tidak pernah mengurus surat perceraian mereka. Semoga saja ia tidak pernah terpaksa harus mengurus surat terkutuk itu. Meskipun hatinya masih terasa sakit mendengar pengakuan Marina waktu itu.
Seandainya gadis itu bisa jatuh cinta padanya.
~oOo~
"Semua model sudah siap dengan gaun rancanganmu, Rin," kata Grace yang baru saja kembali dari ruang ganti para modelnya.
Marina menggangguk sekilas, "Bagus. Ingatkan mereka untuk segera ganti baju kedua begitu konsep pertama selesai."
"Oke. Lalu, mahakaryamu?" tanya Grace ragu. Ia teringat pada tuksedo hitam dan gaun sutera berwarna gold pasangannya yang berhiaskan swarovski dan masih tergantung di ruang ganti.
Marina mengintip dari belakang panggung, bangku pengunjung sudah hampir terisi penuh padahal fashion show baru akan dimulai setengah jam lagi. Ia menarik napas berat, semuanya pasti akan berjalan lancar, dengan atau tanpa Mario. Ia masih punya beberapa model pria yang sudah bersiap di ruang ganti, meskipun tuksedo itu akan sangat pas kalau Mario yang pakai, karena pakaian itu sudah disesuaikan dengan bentuk tubuh suaminya. Sekali lagi ia menarik napas panjang untuk menenangkan perasaannya.
"Fokus, Rin! Fokus!" gumamnya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Kita bisa memakai model yang lain. Lagi pula, Katrina yang akan memakai gaunnya. Tidak masalah siapa yang akan memakai tuksedo itu."
"Baiklah." Grace segera kembali ke ruang ganti setelah mendapat telepon singkat diikuti oleh gadis itu.
"Oke, guys, hari ini aku sangat mengharapkan bantuan kalian. Usahakan yang terbaik," ucap Marina memberi semangat pada para modelnya.
Gadis-gadis cantik dan pria tampan itu hanya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Mereka sudah terbiasa bekerja dengan Marina, jadi gadis itu sudah tahu kualitas para modelnya.
"Konsep pertama akan dimulai lima menit lagi. Bersiaplah!" Grace memberi aba-aba.
Para model itu bersiap di belakang panggung. Konsep pertama dengan tema simple dress yaitu gaun-gaun santai yang bisa digunakan dalam acara semi formal, seperti acara keluarga ataupun berjalan-jalan di luar. Gaun dengan warna-warna soft itu tidak terlalu memakai banyak variasi tapi bahan yang digunakan adalah yang terbaik di kelasnya, sehingga terlihat sangat simple dan nyaman dipakai. Ditambah dengan sedikit batu-batuan alami yang menghiasi bagian kerah maupun pinggangnya sehingga menambah unsur etnik khas Indonesia.
Marina menahan napas ketika model pertama keluar, ia sibuk menimbang reaksi para undangan yang hadir. Grace menggenggam jemarinya untuk menenangkan dan ia baru bisa bernapas lagi ketika melihat decak kagum dari para undangannya yang notabene adalah para petinggi maupun konsumen fashion terkenal di dunia.
"Mereka menyukainya. Kau hebat, Rin!" puji Grace tulus, sementara Marina hanya tersenyum dengan hati berbunga-bunga.
Para model yang sudah tampil segera bersiap dengan gaun kedua. Konsep kedua adalah gaun formal yang lebih banyak memakai warna kalem seperti hitam, cokelat tua, gold, maupun biru kehitaman. Gaun-gaun itu untuk acara formal bagi pria maupun wanita yang ingin datang ke pesta besar dengan penampilan simple namun berkelas.
Karena sebagian besar gaun-gaun itu memakai bahan-bahan terbaik untuk kain maupun permatanya sehingga menampilkan kesan mewah dan elegan meskipun desainnya simple.
"Rin, Katrina!" seru Grace cemas.
"Ada apa dengan Katrina?" tanya Rin ikut panik.
"Dia terjatuh. Kakinya terkilir saat ke toilet tadi, sekarang bagaimana? Waktunya tidak akan cukup untuk mencari model pengganti," kata Grace bingung.
Marina mengempaskan tubuhnya ke kursi sambil memijit keningnya. Kenapa ia harus kehilangan dua model untuk mahakaryanya?
"Apa aku terlambat?"
Suara itu! Marina menoleh dan mendapati Mario berdiri di belakangnya. Ia hampir saja menjerit kegirangan kalau saja tidak melihat dua orang yang berdiri di belakang pria itu. Ah, tidak! Satu orang yang membuatnya terganggu. Mario datang bersama Erick dan ... Renata!
"Rin!" Grace menyadarkan Marina dari kekagetannya. "Bagaimana kalau kita pakai dia saja?" bisik Grace menunjuk Renata.
Apa? Memakai Mario dan Renata untuk model mahakaryanya? Jangan mimpi! Lagi pula, kenapa mereka harus datang bersama? Apa hubungan mereka sudah sejauh itu? Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang sudah meninggalkan suaminya.
Marina melirik Grace dengan tampang keberatan, tapi tatapan memohon gadis itu membuatnya luluh. Ia harus profesional! Ia tahu sudah tidak ada waktu lagi dan kedatangan mereka mungkin saja adalah keajaiban yang Tuhan kirimkan untuknya.
"Baiklah! Mario dan Renata, cepat ke ruang ganti. Nanti penata rias yang akan mengurus kalian!" kata Marina tegas.
Meskipun kebingungan, namun Renata menurut juga saat Grace menarik tangannya dan diperkenalkan pada penata rias. Toh, ia senang bisa tampil di acara sebesar ini. Berarti kesempatannya untuk go international semakin terbuka lebar.
Mario mendekati Marina sejenak, ia menatap istrinya itu dalam-dalam. Ditatap seperti itu, Marina membuang pandangannya. Ia tidak bisa balik menatap pria itu kalau tidak mau jatuh dalam pesonanya, lagi.
"Aku benci mengatakan ini, tapi aku merindukanmu," bisiknya sambil mengecup bibir Marina sekilas sebelum masuk ke ruang ganti.
Marina memegangi dadanya yang kini bergemuruh, ciuman Mario berdampak besar padanya. Rasanya ada sengatan listrik di seluruh tubuhnya, dan perutnya menegang. Ia hampir saja goyah kalau saat itu tidak bersandar pada dinding. Benarkah ia sudah jatuh cinta?
~oOo~