Mine
Marina mengaduk-aduk makanan di depannya dengan lesu. Mulutnya terasa pahit, atau mungkin pemandangan di depannya yang membuat suasana hatinya tidak baik. Padahal seharusnya ia senang setelah fashion show-nya sukses besar. Banyak desainer terkenal yang memujinya, para pemburu fashion juga berebut ingin membeli karyanya. Tapi, kenapa hatinya tidak senang?
"Mario, buka mulutmu," kata Renata sambil menyodorkan garpu berisi potongan steak ke mulut Mario.
Pria itu menerimanya dengan sumringah. Senyum lebarnya terlihat jelas kalau ia bahagia dengan perlakuan gadis itu. Marina mendesah pelan. Sementara Erick dan Grace yang tahu hubungan mereka hanya saling memandang dengan jengah.
"Gantian dong, Sayang. Kamu suapin aku juga," rengek Renata manja.
"Oke, dengan senang hati, Beib," sahut Mario.
Seharusnya Marina sadar saat mereka datang berdua ke Paris. Pasti mereka sedang berkencan. Mereka memang sangat serasi, apalagi ketika melihat keduanya memakai gaun mahakaryanya tadi, Mario dan Renata terlihat seperti pasangan kekasih yang sedang jatuh cinta. Tiba-tiba ia membenci gaun mahakaryanya sendiri.
Sepertinya ia sudah tersingkir dari kehidupan suaminya. Lalu, apa maksud ciuman dan kata-kata Mario tadi kalau pria itu merindukannya? Apakah semuanya hanya omong kosong belaka? Harusnya ia sadar kalau playboy seperti Mario pasti sudah biasa mengobral ciuman dan gombalan pada setiap wanita.
Mario melirik istrinya yang sedang tidak fokus di tempat duduknya. Gadis itu hanya mengaduk-aduk makanannya dengan gelisah. Ia tahu kalau Marina sedang memperhatikannya, sepertinya rencana untuk membuat Marina cemburu ini adalah ide yang briliant! Meskipun ia harus memaksakan diri bersikap mesra di depan gadis menyebalkan seperti Renata, tapi demi Marina, ia rela melakukannya.
"Gaun yang tadi bagus sekali, ya, Sayang. Kita terlihat serasi, bagaimana kalau kita membelinya saja?" usul Renata.
"Aku setuju, Beib. Kau terlihat cantik dengan gaun itu," puji Mario, tapi ekor matanya melirik Marina dalam balutan dress hitam yang simple namun sangat cantik. Sangat kontras dengan kulitnya yang pucat, membuatnya ingin memberikan warna di sana.
Marina meremas jemarinya yang disembunyikan di atas pahanya. Adegan sepasang kekasih di depannya itu membuatnya mual. Sepertinya ia akan benar-benar membakar gaun itu sekarang, agar mereka tidak bisa memakainya lagi.
"Terima kasih, Mario. Malam ini kau romantis sekali," ucap Renata sambil memeluk dan mencium pipi Mario.
"Kau mau jalan-jalan malam denganku?" ajak Mario datar.
Erick melotot pada Mario untuk memperingatkannya kalau ia sudah keterlaluan, tapi pria itu mengabaikannya. Ia menatap iba pada Marina yang terlihat makin pucat, pasti gadis itu sedang menahan emosinya.
"Tentu saja aku mau! Meski sebenarnya aku ingin melewatkan malam ini denganmu di kamar hotel," Renata berkata tanpa malu-malu.
Cukup sudah! Marina tidak mau mendengar apa-apa lagi! Ia tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Mario, jadi mereka bebas melakukan apa pun dan di mana pun yang mereka suka.
Entah kenapa membayangkan mereka menghabiskan waktu di kamar hotel membuat jantungnya serasa diremas. Kepalanya berdenyut menyakitkan, dan itu bukan karena ia cemburu pada mereka. Ia tidak cemburu!
Marina segera bangkit dari kursi dan sialnya, kepalanya justru terasa berputar. Ia memijit pelipis yang sudah basah oleh keringat meskipun AC di restoran ini sudah cukup dingin. Tubuhnya terasa melayang dan ia masih bisa mendengar samar-samar Grace memanggil namanya dengan panik sebelum kegelapan menyelimutinya.
"Rin! Marina!" jerit Grace cemas.
Mario yang melihat Marina terduduk kembali dalam keadaan tidak sadarkan diri segera menghampirinya. Untung saja Grace segera memeganginya sehingga gadis itu tidak terjatuh ke lantai.
"Marina, kau kenapa?" bisik Mario lirih, ia memegang dahi gadis itu yang terasa panas membara. "Astaga, dia demam! Panasnya tinggi sekali. Kenapa kau membiarkan dia bekerja dalam keadaan sakit begini?!" hardik Mario tajam.
Grace yang terkena amukan pria itu mengkeret ketakutan.
"Sudahlah, Mario. Biarkan saja mereka yang mengurus wanita ini, kenapa kau yang repot? Bukankah kita mau pergi jalan-jalan?" kata Renata dingin, tidak suka acaranya terganggu oleh Marina.
"Diam!" Mario membentak Renata garang.
Gadis itu yang mau mencerocos lagi segera membungkam mulutnya menghadapi tatapan Rio yang seperti siap membunuh kapan saja.
"Grace, tunjukkan padaku apartemen Marina. Dan kau, Erick, antarkan kami ke sana dengan mobilmu!" perintah Mario yang segera mendapat anggukan dari keduanya.
Mario membawa Marina dalam gendongannya. Sudah dua kali ia membawa gadis ini dalam keadaan pingsan, kenapa gadis ini suka sekali membuatnya khawatir?
"Hei, bagaimana denganku?" tanya Renata panik, ia menggerutu sendiri ketika tidak ada yang menggubris ucapannya.
"Awas kau, dasar cewek sialan! Berani-beraninya pura-pura pingsan demi mendapat perhatian Mario-ku. Akan kubalas kau nanti!" gumamnya lagi sambil mengentakkan kakinya kesal.
~oOo~
Mario mengganti handuk kompres Marina untuk yang kesekian puluh kali dalam beberapa jam terakhir ini. Sekarang demamnya sudah mulai turun setelah meminum obat yang tadi dokter berikan. Gadis itu terlihat makin kurus, tanpa make up, mata pandanya sangat kentara diapit tulang pipinya yang semakin menonjol.
Dia pasti sangat menderita karena menikah denganku, batin Mario gusar.
"Di-ngiin ...," rintih Marina dalam tidurnya, ia terlihat menggigil kedinginan.
Mario menarik selimut sampai ke leher istrinya, tapi ia mengernyit melihat gaun Marina sudah basah oleh keringat. Kalau dibiarkan seperti itu semalaman, ia bisa masuk angin. Kalau diganti ... apa ia sanggup? Tiba-tiba ia menyesal sudah menyuruh Grace dan Erick pulang ke hotel.
Mario membuka lemari dan mengambil piyama gadis itu dengan hati-hati. Ia menelan ludah ketika tangannya bergerak hendak membuka gaun yang dikenakan istrinya tersebut.
Ayo, Mario! Ini demi kebaikannya sendiri, ia bisa tambah sakit kalau memakai baju basah semalaman. Lagi pula kalian sudah suami istri, tidak masalah kalau lihat-lihat sedikit, bisik hatinya menguatkan.
Tidak sampai sepuluh menit, ia sudah berhasil memakaikan piyama itu pada istrinya. Ia menghela napas lega karena tidak tergoda untuk melakukan hal yang tidak semestinya. Mario mengecup kening Marina dengan lembut, dan gadis itu masih menggigil dalam tidurnya meskipun pendingin ruangan sudah dimatikan dan memakai selimut tebal.
Akhirnya Mario memutuskan untuk ikut bergelung dalam selimut dan memeluk tubuh istrinya dari belakang. Perlahan tubuh gadis itu ikut menghangat dan tidak menggigil sama sekali. Baru saja Mario hendak bangkit untuk tidur di sofa ketika tangan Marina menahannya.
"Jangan pergi," bisiknya parau dengan mata terpejam, pasti gadis itu sedang mengigau.
Apa yang sedang diimpikan Marina? Apakah dia sedang memimpikan pria itu? Apa ia ingin agar pria itu tidak pergi meninggalkannya? Pemikiran itu membuat Mario gelisah. Tapi, tak urung ia kembali berbaring. Hari sudah hampir pagi ketika akhirnya ia terlelap.
Marina terbangun ketika matahari menelusup gorden kamarnya yang berwarna biru muda. Tubuhnya berkeringat dan napasnya sesak sekali. Ia sulit bergerak karena ada sebuah lengan kokoh yang menahan tubuhnya.
Mario?! Ia terperanjat ketika tahu siapa pemilik lengan tersebut. Kenapa dia bisa ada di sini? Dan kenapa Mario bisa satu ranjang dengannya? Seingatnya semalam ia mau pergi dari restoran karena kepalanya sakit, lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Marina menengok ke dalam selimut dan bersyukur karena pakaian mereka masih utuh.
Hei, bukankah semalam ia memakai gaun? Siapa yang menggantinya dengan piyama? Otaknya mulai berpikir yang macam-macam.
Sebenarnya ia sangat nyaman berada dalam pelukan suaminya, apalagi ia sangat merindukannya setelah hampir sebulan ini tidak bertemu. Tapi, mengingat pengusiran waktu itu dan kelakuannya semalam bersama Renata. Tiba-tiba ia merasa jijik dengan pria ini, ia menyingkirkan tangan Mario dengan kasar.
"Kau sudah bangun?" tanya Mario terkejut, matanya tampak merah karena kurang tidur.
Marina tidak menjawab, ia terkesiap ketika jemari Mario menyentuh dahinya selama beberapa detik. "Syukurlah, demammu sudah turun," ucapnya lega.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Marina ketus.
Mario duduk bersandar ke tempat tidur dengan enggan, namun ia takut kalau gadis itu akan merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
"Kau tidak ingat? Kau pingsan di restoran semalam. Kau demam tinggi, kata dokter kau kelelahan dan kurang asupan makanan. Sudah kubilang kan kalau kau itu perlu banyak makan dan istirahat. Kenapa kau ini keras kepala sekali?" keluh Mario jengkel.
Marina mengakui kalau belakangan ini ia sangat sibuk bekerja, semuanya ia lakukan untuk melupakan Mario dari benaknya. Ia takut tertidur karena ia akan selalu memimpikan pria itu setiap malamnya. Tapi, kenapa Mario terlihat kesal? Apa ia marah karena kencannya dengan Renata batal gara-gara mengurus Marina?
"Maafkan aku karena membuat kencanmu batal semalam."
Mario terbelalak, ia sangat mengkhawatirkan kesehatan gadis itu dan sekarang Marina malah memikirkan kencannya dengan wanita lain? Apa-apaan dia ini!
"Aku tidak peduli dengan Renata! Yang kupedulikan itu kamu. Cuma kamu, Marina!" tandas Mario tajam.
"Apa?" Marina terperangah.
"Aku merindukanmu, aku membutuhkanmu di sisiku. Jangan pergi lagi," desis Mario lirih.
"Tapi, kau yang mengusirku," bantah Marina tidak terima.
"Maafkan aku, waktu itu aku hanya cemburu saat kau bilang mencintai pria lain. Kau pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisiku."
Mario cemburu? Gadis itu berusaha mencerna kata-kata Mario dan membenarkan ucapannya dalam hati. Ia juga akan memilih pergi ketika Mario bilang mencintai wanita lain.
"I love you, Marina Alexandra Origa," Mario berkata sambil menatapnya lembut.
Marina berusaha mencari kebohongan dalam tatapan matanya, namun yang ia temukan hanyalah ketulusan.