Maafkan aku, Pa," sesal Davian dengan wajah menunduk.
Ia merasa bersalah sudah menyebabkan ayahnya terbaring di rumah sakit akibat perdebatannya yang keras tadi siang.
Alex Origa ditemukan pingsan di kamarnya oleh Marina saat ia akan memanggilnya untuk makan malam. Dokter Hendri bilang, ayahnya terlalu stres sehingga tekanan darahnya naik lagi.
"Ini bukan salahmu, Nak. Papa yang salah, tidak seharusnya Papa memaksa anak-anak Papa untuk segera menikah," ucap Alex Origa lemah, bibirnya berusaha tersenyum dipaksakan.
"Aku janji mulai saat ini aku akan lebih giat mencari calon istri dan akan kubawa ke hadapan Papa dengan segera," janji Davian tulus.
Alex Origa mengangguk puas mendengar janji putra sulungnya tersebut. "Papa tidak sabar menunggu saat itu tiba."
"Oh, iya, soal pernikahan Marina dan Mario, kalau kau tidak setuju, Papa akan membatalkannya. Papa yakin kalau Om Forbs juga tidak keberatan. Bukan begitu, Forbs?" tanya Origa pada sahabatnya yang sejak tadi berdiri mendampinginya.
Alex Forbs mengangguk samar, menyatakan persetujuannya dengan berat hati. Meskipun ia sangat menginginkan pernikahan ini, tapi ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya pada orang lain. Ia bisa memaksa anaknya untuk menikah, tapi kalau Davian tidak setuju, ia tidak bisa memaksanya. Anak itu terlalu keras kepala, bahkan ayahnya sendiri saja tidak bisa memaksanya untuk menikah meskipun usia Davian sudah kepala tiga.
"Aku akan menikah. Kalau perlu, malam ini juga, kata Marina mantap.
Semua orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arah Marina yang sejak tadi hanya jadi pendengar. Sejak menemukan ayahnya tidak sadarkan diri di kamar, ia hanya berdiam diri tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia juga tidak menangis, meskipun wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Marina ketakutan luar biasa kalau sampai ayahnya tidak akan bisa bangun lagi.
Ada ekspresi terkejut di wajah Davian mendengar perkataan adiknya, dan ekspresi bahagia di wajah kedua Alexander tua itu.
"Benarkah itu, Sayang? Kau setuju menikah dengan Mario? Papa tidak salah dengar, kan?" kata Papanya dengan wajah berbinar.
"Kau yakin, Rin?" tanya Davian tidak rela.
Setelah melihat reputasi calon adik iparnya yang tidak bisa dibilang bagus dalam hal percintaan, rasanya ia lebih suka mengurung adiknya seharian di kamarnya. Ia tidak suka adiknya dijamah oleh p****************g seperti Mario.
Rin mengangguk mantap. "Ya, aku akan menikah dengan Mario."
Entah keputusannya itu benar atau tidak, tapi yang jelas ia tidak ingin kehilangan ayah yang sangat ia cintai sebelum ia sempat membahagiakannya. Begitu melihat ayahnya tergeletak tidak berdaya di kamarnya, ia begitu takut untuk kehilangan. Dan ia sudah berjanji dalam hati akan menuruti semua keinginan ayahnya, termasuk menikah dengan playboy itu. Dan Rin rasa keputusannya itu sudah tepat, karena kini wajah ayahnya terlihat begitu segar dan bahagia. Itu sudah cukup membuatnya ikut bahagia.
"Daddy senang sekali dengan keputusanmu, Menantuku. Kalau begitu, pernikahan akan kita adakan malam ini juga sesuai permintaanmu. Bagaimana, Origa?" Forbs melirik Alex Origa yang tersenyum tanda setuju.
"Tidakkah ini terlalu cepat, Pa?" protes Davian kesal.
"Lebih cepat lebih baik," sahut Ayahnya tegas, tak mau dibantah.
"Lagi pula ini hanya akad nikah darurat yang dihadiri oleh keluarga terdekat saja. Resepsinya tetap akan diadakan setelah kontrak sialan Mario itu selesai. Kamu setuju kan, Menantu?" tanya Forbs penuh harap.
Marina menguatkan hatinya, sudah terlambat untuk menolak. Mungkin dengan begini, kesehatan ayahnya akan membaik dengan cepat.
"Saya setuju, Om."
Masalahnya adalah, apakah Mario akan setuju atau tidak. Beberapa waktu lalu pria itu bilang akan berusaha mencari cara untuk membatalkan pernikahan, dan sekarang Rin yang memintanya menikah secara mendadak. Apa pria itu akan membencinya?
Davian mendesah frustrasi, ia tidak bisa menyelamatkan adiknya dari si b******k itu. Ia tahu kalau adiknya itu masih belum bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Apakah dengan menikah dengan Mario, Rin akan bisa melupakan orang itu? Semoga saja, batinnya berharap.
"Penghulunya akan datang sekitar dua jam lagi. Aku sudah menghubungi kerabat terdekatku, apa kalian mau aku menghubungi kerabat kalian juga?" Alex Forbs menawarkan dengan penuh semangat. Ia baru saja menutup ponselnya untuk menghubungi penghulu, dengan setengah memaksa tentunya.
Semua keperluan surat-suratnya sudah diurus oleh orang kepercayaannya.
"Tidak usah, Om," tolak Davian halus, "Saya yang akan menghubunginya. Terima kasih."
"Baiklah kalau begitu. Aku akan meminta izin Dokter Hendri dulu sekalian mencari cincin untuk kalian," pamitnya penuh semangat. Lalu, tiba-tiba langkahnya terhenti seperti teringat sesuatu.
"Ada apa, Om?" tanya Rin heran.
"Om lupa menghubungi Mario dan menyuruhnya ke sini," ujarnya terkekeh.
Rin dan Davian ikut geli mendengarnya, bagaimana ia bisa melupakan pengantin lelakinya?
Beberapa kali sambungan telepon terhubung tapi sama sekali tidak ada jawaban. Alex Forbs sudah mondar-mandir dengan cemas sambil tetap menaruh ponselnya di telinga.
"Dasar anak itu, selalu saja tidak pernah mengangkat teleponku dalam sekali dering. Akan kuhabisi dia kalau sampai tidak mengangkat teleponnya," gerutunya kesal.
Tersambung. Dan Alex Forbs segera berteriak dengan kasar pada putranya. "Kenapa kau lama sekali mengangkatnya?!"
Mereka bertiga segera menutup kuping mendengar teriakan super dahsyat dari Alex Forbs tersebut. Heran, kenapa pria tua itu tidak pernah kehilangan suaranya setelah berteriak sekeras itu? Hanya jeda beberapa detik sampai dia berteriak lagi.
"Cepat ke rumah sakit sekarang!!!" bentaknya lalu menutup telepon. "Maafkan aku, kadang-kadang aku tidak bisa mengontrol suaraku saat berbicara dengan anak itu." Alex Forbs menyeringai, sedikit malu sambil menatap Rin.
Ya ampun, aku lupa memberi alamat rumah sakit ini, ujarnya sambil menepuk dahi, setelah itu tangannya mengotak-atik ponsel untuk mengirimkan alamat dan permohonan. Demi kesembuhan sahabatnya, Mario harus datang saat ini juga. Kalau tidak begitu, anak itu pasti akan mengabaikannya.
"Suara Om keras sekali," ucap Rin takjub.
Alex Forbs tersenyum malu-malu, "Ini semua karena Om adalah vokalis band rock semasa kuliah dulu. Aku dan ayahmu adalah teman band yang hebat!" ungkapnya bangga.
~oOo~
Mario melangkah dengan linglung. Kenapa ayahnya memintanya datang ke rumah sakit? Sebenarnya siapa yang sakit? Jangan-jangan ayahnya yang sakit, tapi orang sakit tidak mungkin bisa berteriak sekeras itu. Sejak tadi pertanyaan itu terus menggelayut di benaknya. Pesannya hanya dibalas dengan ancaman singkat.
'Ruangan VVIP kamar no. 5. Kalau tidak, kau mati!'
Rio sedikit bergidik dengan ancaman ayahnya, oleh karena itu ia mempercepat langkahnya. Namun ia berhenti saat matanya menangkap dua rangkaian bunga mawar putih diletakkan di sisi kiri dan kanan kamar yang ditujunya.
Kenapa ada bunga segala? Apa ini pelayanan kamar? Tapi, di depan pintu kamar lainnya tidak ada, pikirnya bingung, namun tak urung ia masuk juga.
Mario semakin bingung ketika membuka pintu kamar dan melihat banyak orang di sana yang menatapnya. Ada beberapa orang yang tidak dikenalnya menatap takjub di sofa pojok, tapi beberapa lainnya yang ia kenal adalah kerabat dekat ayahnya.
Karangan bunga serupa di pintu tadi terlihat di mana-mana dalam ruangan ini. Di pojok ruangan, dekat jendela, dan di atas nakas. Lalu ia melihat ranjang yang di atasnya terbaring calon mertuanya yang gagal. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Om! Om baik-baik saja, kan?" Mario menghampiri ranjang Alex Origa dengan cemas, sementara pria tua itu hanya tersenyum lembut dengan wajah pucat namun berseri-seri. Masih terbayang dalam benak Mario saat pria itu menangis tengah malam karena kerinduannya pada almarhumah istrinya.
"Jadi ini pengantin prianya?" tanya seorang pria yang duduk di sofa dengan wajah tidak percaya.
"Aku tidak menyangka kalau Marina akan menikah dengan aktor terkenal," sambung wanita di depannya, yang kemungkinan besar istri pria itu.
"Pengantin? Menikah? Ada apa ini, Dad?!" tanya Mario bingung.
Bukankah Davian bilang kalau pernikahan itu akan dibatalkan? ia bertanya-tanya dalam hati.
Mario menatap ayahnya meminta penjelasan. Kenapa wajah semua orang terlihat gembira padahal Om Alex sedang sakit? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
"Atas permintaan Marina, kau akan menikah dengannya sekarang juga," jawab Ayahnya.
"Apa?!" teriak Mario terbelalak, sepertinya bakat suara Alex Forbs memang menurun padanya. "Bagaimana bisa? Davian bilang ...."
"Kau mau menikahi adikku sekarang atau tidak sama sekali?!" potong Davian dengan nada intimidasi yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu.
"Tapi, aku ... Bagaimana dengan kontrak kerjaku?" keluhnya bingung.
"Jangan khawatir, Kiddo! Kami semua yang hadir di sini akan merahasiakan pernikahan kalian. Setelah kontrakmu selesai, baru kita akan mengadakan resepsi yang sebenarnya," Alex Forbs menjelaskan.
Mario menatap semua orang yang mengangguk sambil tersenyum tulus padanya. Ia bisa sedikit lega sekarang, tapi, tunggu dulu!
Di mana Marina? Kenapa gadis itu berubah pikiran dan mempercepat pernikahannya? Bukankah sejak awal gadis itu bersikeras untuk membatalkan perjodohan ini? Permainan apa yang dimainkan oleh gadis itu? Mario tidak habis pikir dengan Marina, kenapa semuanya berubah drastis hanya dalam hitungan jam?
"Ganti bajumu dengan ini!" perintah Ayahnya sambil mengulurkan satu setel jas dan kemeja putih yang masih terbungkus plastik.
Tanpa banyak bicara, Mario meraihnya dan berjalan ke kamar mandi. Ia tidak menyangka kalau dalam waktu beberapa jam lagi ia akan berganti status menjadi seorang suami.