Mario PoV
Arrgghhh!!! Apa-apaaan ini? Kenapa aku jadi senewen seperti ini? Gadis itu benar-benar sudah membuatku gila! Kenapa dia tidak bisa bersikap normal saja padaku? Kenapa dia harus menjadi gadis yang menarik dan selalu menjaga jarak saat bertemu denganku? Sikapnya yang kasar dan menganggapku sebagai musuh justru membuat aku semakin penasaran untuk mendekatinya. Kenapa aku harus dijodohkan dengannya? Dan kenapa dia tidak menyukaiku seperti para gadis lainnya?
Dia terlalu menarik untuk dilewatkan, tapi aku tidak akan memaksanya sebelum aku benar-benar gila kalau dicampakkan olehnya. Mungkin benar, hukum karma memang berlaku! Selama ini, para gadis yang mengharapkan cintaku. Mereka mengemis dan rela melakukan apa saja demi dapat berdekatan denganku. Meski gadis-gadis itu tahu kalau aku tidak memberi mereka cinta yang sama, namun selama ini, mereka tak mempersoalkannya. Selagi bisa makan berdua denganku, itu sudah cukup bagi mereka. Dan sepertinya, mereka juga sudah mempersiapkan diri untuk menangis saat aku meninggalkan mereka. Iya, selama ini, aku yang meninggalkan para gadis-gadis yang memujaku. Dan itu memang sudah konsekuensinya, sebab sejak awal aku juga tidak menjanjikan mereka sebuah perasaan yang sama. Tetapi kenapa dengan Marina, aku merasa ada sesuatu yg berbeda? Kenapa harus aku yang merasa takut kalau-kalau gadis itu tak memberiku perasaan yang sama dan lalu akan meninggalkanku? Kenapa aku yang tampaknya akan menjadi korban dalam permainan perasaan ini?
Siang itu, aku membawa Luna, gadis entah ke berapa yang mendekatiku. Aku bahkan meragukan kalau dia itu masih gadis, mengingat penampilan seksi dan make up tebal yang selalu menutupi wajahnya. Belum lagi sikapnya yang selalu berusaha menyentuhku di bagian-bagian tertentu. Aku tidak suka melakukannya, tapi pacar-pacarku yang lain sedang sibuk hari ini. Dan aku butuh pelampiasan dari pikiranku yang melulu memikirkan Marina. Aku butuh satu orang saja dari mereka agar aku tidak benar-benar menjadi gila.
Entah suatu keberuntungan atau kesialan, aku bertemu dengan Marina di butik Tante Emma. Aku memang sudah lama tidak bertemu dengannya, tepatnya sejak peristiwa itu. Aku sangat marah mendengar ia membawa-bawa almarhum ibu yang sangat aku sayangi. Beliau adalah segalanya bagiku.
Sepertinya ia mau minta maaf padaku, tapi aku sengaja mengabaikannya. Harus kuakui kalau dia sedikit kurusan dengan kantong mata panda di wajahnya, tapi itu tidak mengurangi kecantikannya sedikit pun. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya saat ia berdebat dengan Luna. Aku beralasan menciumnya karena ia ingin membocorkan rahasia kami, sebenarnya aku memang sangat ingin mencium bibirnya sejak pertama kali melihatnya. She's so sweet!
Dan sekarang, di sinilah aku. Di sebuah cafe bersama pria yang kira-kira dua tahun lebih tua dariku yang mengaku-ngaku sebagai kakak Marina, Davian Origa.
"Jadi, apa maumu setelah tahu kalau yang akan menikah dengan adikmu adalah aku?" tanyaku dengan nada menantang.
Aku menyesap capuccinoku perlahan sambil menghirup aromanya yang menenangkan. Dalam hati sebenarnya aku gugup setengah mati, pria ini terlihat seperti hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Dan sialnya, akulah terdakwanya.
"Aku tidak suka kau mendekati adikku, apalagi menikah dengannya," ujarnya tegas dan dingin, sama sekali tidak ada nada ramah dalam suaranya. Pandangan matanya menatap tajam ke dalam mataku, membuatku hampir tidak bisa balik menatap mata itu dengan segala intimidasi yang ia ciptakan. Kuakui, peria di hadapanku ini benar-benar memiliki aura perkasa yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mampu menjatuhkan lawan hanya dengan pandangan mata saja.
"Apa kau tahu siapa aku?" Sepertinya menyombongkan diri adalah cara yang bagus, mungkin saja ia akan berubah pikiran setelah mengetahui semua prestasiku.
Davian melemparkan sebuah map berwarna biru yang cukup tebal ke hadapanku tanpa berkata apa-apa. Aku menatapnya sebentar dan rasa penasaran membuat aku membuka map itu dalam sekejap.
"Ini ...?" Aku terbelalak. Map ini berisi data pribadiku, semua prestasi, judul film yang kubintangi, peragaan busana mana saja yang kulakoni, sampai semua wanita yang aku kencani. Semuanya! Aku jelas seperti sedang ditelanjangi!
Lembaran-lembaran itu menunjukkan foto dan data dari para mantan pacarku yang sebagian besar masih kuingat. Aku bahkan tidak pernah menghitung berapa puluh gadis yang terpampang di sana. Aku tidak sadar kalau aku sudah berkencan dengan wanita sebanyak ini, dan beberapa wajahnya hanya samar-samar dalam ingatanku.
"Stalker!" desisku tajam, rasanya ingin sekali aku menonjok wajah tampannya kalau saja dia bukan kakak dari gadis yang kusukai.
Oh, astaga! Jadi sepertinya aku memang sudah tergila-gila pada Marina.
"Aku melakukannya demi adikku. Begitu Papa memberitahukan tentang perjodohan kalian, aku tidak bisa tinggal diam. Adikku terlalu lugu untuk kau permainkan, b******k!" Davian mengatakan itu dengan ekspresi datarnya, namun itu justru membuatnya terlihat menakutkan.
Aku sudah pernah menghadapi situasi ini, bahkan berkali-kali. Ketika pacar dari wanita yang kukencani ternyata mengetahui hubungan kami dan mengajakku bertemu, tapi rasanya tidak sama seperti ini. Biasanya aku tidak akan merasa gugup atau atau salah tingkah, justru para pria itu yang seakan minder lalu memutuskan untuk mengalah.
Berbeda dengan pria di depanku ini, sepertinya mengalah atau minta maaf tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Tapi aku tidak boleh terlihat takut di depannya, ke mana rasa percaya diriku saat kubutuhkan?
"Aku hanya berkencan dengan gadis yang menyukaiku, dan itu sama sekali tanpa paksaan," elakku penuh penekanan.
Dia perlu tahu bahwa semua gadis itu memang tertarik padaku. Sang Cassanova! Aku tertawa dalam hati.
"Lalu, apa kau pikir adikku juga tertarik padamu?" kata-kata Davian menghempaskanku ke dasar jurang terdalam. Kenyataan. Memang benar. Aku tak melihat ada rasa suka pada Marina. Rasa benci, banyak.
"Tidak," jawabku berusaha terlihat acuh tak acuh, "Karena itu aku juga tidak akan memaksanya untuk menikah denganku."
Dan itu benar. Sejak awal juga aku tidak setuju dengan perjodohan kami. Tapi sekarang situasinya sudah jauh berbeda. Aku tidak akan memaksanya, tapi aku juga tidak ingin kehilangannya, hati kecilku mulai meratap.
"Bagus kalau begitu. Jauhi adikku dan jangan pernah mendekatinya lagi, biar aku yang akan berbicara pada Papa tentang pembatalan perjodohan kalian. Permisi," ucapnya meminta diri dan berjalan dengan tegap tanpa menoleh sedikit pun lagi padaku.
Oh, keren! Sekarang bertambah lagi satu orang yang akan menghalangi jalanku mendapatkan Marina. Sepertinya pernikahan kami memang tidak akan pernah terjadi.
~oOo~
Aku masih terlalu sibuk meratapi diri dalam keheningan malam di kamarku, ketika tiba-tiba ponselku menyala dan bergetar dalam kegelapan. Aku memang tidak menyalakan lampu kamar agar aku lebih menghayati kehancuranku. Aku tidak memedulikan panggilan dari Daddy kalau saja ponselku tidak terus-terusan berdering dan mengganggu 'ritual patah hatiku'.
"Kenapa lama sekali mengangkatnya?!" hardik Daddy kesal.
Aku tidak menjawab, sudah kuduga hal seperti ini akan terjadi. Karenanya aku sudah menjauhkan ponselku beberapa senti dari telinga.
"Ke rumah sakit, sekarang!!!" teriak Daddy lagi sebelum panggilan terputus.
Aku masih tidak mengerti kata-kata Daddy. Untuk apa aku pergi ke rumah sakit? Lagi pula, Daddy tidak mengatakan rumah sakit mana yang harus kudatangi. Aku mencoba untuk kembali berbaring, tapi getaran ponsel memaksaku untuk membukanya.
Pesan dari Daddy.
Ini alamat rumah sakitnya. Cepat datang, kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidupmu. Daddy mohon.
Daddy memohon? Pasti ada sesuatu yang serius sedang terjadi, dengan perasaan bingung aku menuruti permintaannya dan cepat-cepat menuju alamat rumah sakit yang terlampir dalam pesan singkat itu.
~oOo~