Enam

2049 Words
Marina PoV Ini sudah beberapa hari dan aku masih belum bisa melepaskan diri dari rasa bersalah yang membebaniku. Aku harus minta maaf! Tapi, aku tidak mungkin datang ke lokasi syutingnya dan meminta maaf begitu saja, kan? Mau ditaruh di mana mukaku kalau media sampai tahu seorang Marina Alexandra mengejar-ngejar Mario Alexander sampai ke lokasi syuting? Bisa-bisa aku dianggap sedang ada affair dengannya, dan dilabeli status sebagai pacar Mario yang kesekian. Tidak bisa! Atau ... aku datang saja ke rumahnya? Mungkin kalau di rumahnya bisa jadi lebih privasi dan reputasiku akan aman. Hei, aku bahkan tidak tahu alamatnya! Arrgghhh ... Kuacak rambutku frustrasi. Belum pernah aku merasakan seperti ini sebelumnya. Kenapa aku bisa bertindak kekanakan seperti itu? Seharusnya aku berterima kasih pada Mario, bukannya malah memarahinya dengan kata-k********r. Dan saat pertemuan kemarin, tiba-tiba saja kemarahanku muncul saat melihatnya dengan gadis lain. Bukankah aku memang tidak menginginkan perjodohan ini berjalan? Dia tidak menginginkanmu. Di mana akal sehatmu, Marina Alexandra?! Sebaiknya aku meneleponnya saja untuk meminta maaf. Aha ... Kenapa aku tidak berpikir ke sana sejak tadi? Tapi, dari mana aku bisa mendapatkan nomor ponselnya? Ck! Aku mendesah, sadar kalau aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Mario. Suara derum mobil yang sudah sangat kuhafal terdengar memasuki halaman depan rumah. Papa! Ya, Papa pasti punya nomor teleponnya. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan berlari menuju ruang tamu. "Papa!" panggilku dengan nada manja. Papa yang baru masuk rumah terlihat mengerutkan keningnya. "Hei, ada apa dengan putri Papa? Tumben sekali kau merajuk seperti ini? Sudah jam makan siang dan kau sama sekali belum mandi? Luar biasa!" Aku segera menghambur ke pelukan Papa tanpa memedulikan keheranannya. Aku sudah tidak kuat menanggung rasa bersalah ini lebih lama lagi. "Papa, apa Papa pernah bertemu Rio lagi setelah kejadian di lapangan golf waktu itu?" tanyaku hati-hati. Papa menggeleng pelan. "Tidak. Papa tidak pernah bertemu dengannya lagi. Forbs bilang dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ada apa kau menanyakannya?" "Apa Papa punya nomor ponselnya?" "Tentu saja," jawab Papa singkat, lalu beliau terlihat terkejut dengan pemikirannya sendiri. "Wow, apa kau merindukannya? Sejak kapan putri Papa jadi agresif seperti ini?" goda Papa sambil terkekeh, sementara aku hanya mencibir diam-diam. Dalam sekejap, Papa sudah mengeluarkan smartphone-nya dan mengotak-atik sebentar. "Papa sudah mengirimkan nomornya ke ponselmu." "Terima kasih, Papa." Aku mencium kedua pipinya sekilas dan segera naik kembali ke kamarku. Aku masih bisa mendengar tawa geli Papa sebelum aku masuk ke kamar. Tak apalah aku disebut agresif, yang penting aku dapat nomornya. Aku berharap-harap cemas menanti sambungan telepon ini tersambung. Namun yang selalu kudengar adalah suara operator yang menyebalkan. Nomornya tidak aktif! Setelah aku melalui fase memalukan dengan Papa, sekarang aku hanya berhadapan dengan operator. What the hell! Oh, iya, sebentar lagi aku ada janji dengan Tante Emma untuk membicarakan lebih lanjut tentang desainku. Sebaiknya aku segera bersiap-siap. ~oOo~ "Jadi, Tante setuju dengan desainku?" "Ya, Tante sangat suka dengan semua desainmu. Sangat fresh dan elegan. Kau memang berbakat, Sayang," puji Tante Emma tulus. "Terima kasih, Tante." Tiba-tiba dari fitting room muncul seorang pria yang sejak beberapa hari ini memenuhi kepalaku. "Bagaimana dengan yang in ....” "Mario!" tanpa sadar aku menyerukan nama itu dengan cukup keras sehingga hampir semua orang menoleh kepadaku, tidak terkecuali dia yang terlihat terkejut saat menatapku. Mario masih memandangku dingin dan tak tersentuh. Seolah tidak terpengaruh oleh panggilanku barusan, ia malah membalikkan tubuh dan berbicara pada seorang gadis di depannya. "Bagaimana? Cocok tidak?" tanyanya lembut, sangat berbeda jauh dengan sikapnya barusan padaku. Mario mendekap pundak wanita itu dan mengajaknya berbicara dengan jarak beberapa langkah dari tempatku. Tak sekali pun matanya menoleh ke arahku, dan entah kenapa hal itu malah membuatku semakin geram. "Kau kenal Mario? Maksud Tante, semua orang mengenalnya. Tapi, apa kau punya hubungan khusus dengannya?" selidik Tante Emma. "Aku ...." Aku tidak tahu harus menjawab apa, tidak mungkin kukatakan kalau aku adalah calon tunangannya yang tidak menginginkan perjodohan dengannya, tapi juga tidak ingin pria itu marah padanya. Argh, kepanjangan! "Aku pernah bertemu dengannya karena kebetulan Papa kami bersahabat." "Oh, begitu," Tante Emma mendesah lega, "Mario adalah langganan Tante, dia sering sekali kemari membawa pacar-pacarnya. Tante pikir kau punya hubungan dengannya, Tante tidak rela gadis sebaik kamu berpacaran dengannya." Aku meringis mendengar kata-kata Tante Emma. Aku tidak sebaik yang Tante kira. Aku juga tidak berpacaran dengannya, tapi aku akan menikah dengannya! jeritku dalam hati. "Ehm," sebuah dehaman khas yang maskulin menghentikan obrolan kami. Di depanku sudah berdiri Mario dengan gadis bergaun merah yang sangat seksi. Gadis ini berbeda dengan gadis yang sebelumnya. Sebenarnya, berapa pacar yang dia miliki? Kenapa Papa mau menjodohkanku dengan p****************g macam dia? Dan kenapa aku masih saja terpesona olehnya? Duh, aku rasa otakku mulai bergeser. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa tebal make up yang dipakai gadis itu. Kenapa Mario bisa tertarik pada nenek lampir seperti itu? Aku melirik pada tangan Mario yang merangkul pinggang wanita itu dengan mesra. Rasanya ingin aku tarik tangan kokoh itu dan melingkarkannya ke pinggangku sekarang juga. Wow, pikiran apa ini? Mungkin ini efek terlalu lama menjomblo. Ck! "Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Rio ketus. Aku tergagap. Oh, aku tidak sadar kalau sejak tadi aku sudah memelototinya. Mungkin ini adalah kesempatan yang bagus untuk meminta maaf. "Aku ... Aku mau min--" "Sebaiknya kita pergi saja dari sini, Sayang. Wanita itu memandangmu seperti macan kelaparan," potong nenek lampir itu jijik. "Apa?!" aku terbelalak ngeri, apa benar aku memandang Mario seperti itu? "Hei, jangan asal bicara, ya! Bukankah kamu yang sejak tadi kulihat membasahi bibir merah menyalamu itu dengan lidah? Berharap Mario menciummu, hah? Dasar nenek lampir!" ejekku habis-habisan, "Asal tahu saja, ya, kalau Mario itu adalah calon--hmmfftt!" Belum selesai aku bicara, tapi Mario sudah membungkam mulutku dengan bibirnya. Bisa kudengar nenek lampir itu dan Tante Emma terkesiap melihat kami, tapi aku tidak peduli! Aku masih terkejut sekaligus terpesona saat kurasakan tanganku ditarik paksa olehnya masuk ke mobil. "Apa-apaan kau! Kenapa kau selalu membuat masalah denganku?" bentak Mario keras sambil melajukan mobilnya. Kini aku sudah sepenuhnya tersadar dari ciumannya yang memabukkan. Walau bagaimanapun aku tidak mau disalahkan oleh pria ini. Bukankah dia yang menciumku? Seharusnya aku yang marah, kan? Meskipun aku sama sekali tidak ingin marah saat ini. "Aku yang seharusnya berkata begitu! Kenapa kau menciumku seenaknya?" balasku tak kalah keras. "Kau mau bilang ke semua orang kalau aku calon suamimu, iya kan?! Maka dari itu aku harus membungkam mulutmu," desisnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya. "Aku ...," aku ingat, aku memang akan mengatakan itu tadi. Tapi aku tidak mau disalahkan. Wanita itu selalu benar, ingat? "Lalu kenapa kau tiba-tiba menciumku? Apakah tanganmu sudah tidak berguna sehingga harus menggunakan mulut untuk menutup mulutku?" Aku berkacak pinggang dengan sebal. Mario membuang muka, aku bisa melihat telinganya memerah. Entah karena malu, atau karena marah. Menurutku feelingku sih opsi pertama yang benar. "Itu hanya refleks. Aku tidak sengaja." Pandangannya kini kembali ke depan. "Lagi pula, bukankah kau ingin membatalkan pernikahan kita, kenapa kau malah mau membocorkannya pada semua orang? Kau membuatku gila! Kau membuatku malu di depan Tante Emma, beliau sudah kuanggap seperti ibuku sendiri," lanjut Mario gusar. "Kau yang mempermalukan diri sendiri dengan menciumku. Kalau tidak, Tante Emma tidak akan pernah berpikir yang macam-macam tentang kita," tukasku tak mau kalah, tapi mendengar Mario menyebut kata ibu, aku jadi teringat niat awalku untuk meminta maaf. Kurasa sekarang juga tidak apa-apa, meskipun aku masih merasa jengkel. "Aku minta maaf," ucapku lirih. "Apa?" Mario bertanya, heran. "Aku minta maaf untuk semua perbuatanku waktu itu. Seharusnya aku berterima kasih padamu karena telah menyelamatkanku. Dan ... maaf kata-kataku yang menyinggung soal ibumu," kataku tulus, tapi tak ada reaksi yang ditunjukkan oleh pria itu selain memasang wajah beku di depan kemudi. "Tapi, aku tidak akan minta maaf karena kejadian hari ini. Kurasa nenek lampir itu pantas menerimanya." Aku tersenyum puas mengingat wajah terkejut wanita itu. Sayangnya aku tidak sempat merekamnya. Tiba-tiba Mario tertawa terbahak-bahak di kursinya sampai tubuhnya yang tegap terguncang-guncang. Baru pertama kali aku melihatnya tertawa selepas itu, dan kalau dilihat-lihat ternyata wajahnya jauh lebih tampan saat tertawa. "Jadi, kau juga berpikir kalau wanita itu seperti nenek lampir?" tanya Rio setelah tawanya reda. Aku mengangguk heran. "Kalau kau juga berpikir seperti itu, kenapa kau mau saja digelayuti olehnya?" "Entahlah." Rio mengedikkan bahunya, "Kurasa aku sedang melamun tadi." Aku tidak menanggapi ucapannya, ketika dia bertanya lagi padaku. "Kau sudah makan siang?" Seperti merespons, mendengar kata makan, tiba-tiba perutku berbunyi cukup keras yang membuatku malu. "Kurasa aku sudah tahu jawabannya." Rio terkekeh geli. Aku memang belum makan apa-apa sejak tadi pagi. Entah kenapa nafsu makanku mendadak hilang beberapa hari ini, tepatnya setelah kejadian itu. Dan hari ini aku merasa sangat kelaparan. Mungkin karena Mario sudah memaafkanku, meskipun tidak mengatakannya secara langsung, setidaknya dia bisa tertawa selepas itu. Artinya dia sudah memaafkanku, kan? "Jadi, aku sudah dimaafkan?" tanyaku lagi mengalihkan pembicaraan dari perutku yang memalukan ini. "Tidak! Aku tidak akan memaafkanmu karena aku juga tidak akan minta maaf karena sudah menciummu. Kurasa kita impas sekarang. Lagi pula, itu bukan ciuman pertamamu, bukan?" kata Rio, tidak mungkin ia sedang menyelidiki masalah pribadiku dengan mengatakan itu. "Tentu saja bukan," jawabku pahit, ciuman pertamaku sudah kuberikan pada orang yang aku cintai bertahun-tahun yang lalu. Kami berdua sama-sama tidak berbicara setelahnya. Tidak lama kemudian, Mario menghentikan mobilnya di sebuah restoran mewah yang menjamin privasi para pelanggannya. Aku tahu itu, karena aku sudah beberapa kali makan siang dengan klienku yang berprofesi sebagai artis yang minta dibuatkan gaun padaku. Mario memesankan makanan untuk kami tanpa menanyakannya padaku lebih dahulu. Tipe pria yang suka mengatur. Tapi, untuk saat ini tidak masalah, yang penting aku bisa makan tanpa menunggu lama. Sudah lewat lima belas menit, tapi Mario masih sibuk dengan ponselnya tanpa menatapku sedikit pun. Untung saja pelayan segera datang membawa pesanan kami, kalau tidak, aku bisa mati kelaparan dan kebosanan. Seporsi spaghetti dan segelas orange juice hampir tandas kuhabiskan saat aku bisa mendengar suara pria di depanku. "Kau makan seperti orang yang sudah berhari-hari tidak menyentuh makanan," komentarnya geli. Aku tidak peduli. Aku memang tidak bisa merasakan makan enak beberapa hari terakhir ini. Semua makanan di lidahku terasa sama, hambar. Dan ini adalah spaghetti terenak yang pernah aku makan. "Oh, ya, soal pernikahan itu ...," Mario berkata lagi, "aku akan mencari cara lain untuk membatalkannya." Garpu yang kupegang tiba-tiba terlepas dari tangan. Dan mendadak spaghetti yang ada di mulutku terasa sangat pahit sehingga aku harus bersusah payah untuk menelannya. "Oke," sahutku singkat setelah menemukan suaraku kembali. Dan beginilah akhirnya, ternyata dia memang tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Tapi ... bukankah aku juga berpikir demikian? Setidaknya sampai ciuman itu terjadi, setelah itu entah kenapa aku merasa tidak ada masalah dengan pernikahan. Kenapa aku mudah sekali berubah pikiran hanya karena sebuah ciuman? Apakah karena aku terlalu lama sendirian? Betapa murahannya diriku. Baiklah, mulai sekarang aku akan fokus dengan rencana semula kami untuk menentang perjodohan ini. Lagipula tidak ada jaminan kalau Mario tidak akan berselingkuh setelah menikah nanti. Sekarang saja dia sering berganti-ganti pasangan seenaknya, mana mungkin hanya dengan ucapan janji setia tanpa cinta bisa membuatnya bertahan denganku? Belum lagi kalau dia sering berhubungan intim dengan para wanita itu, bagaimana kalau Mario punya penyakit kelamin? Aku bergidik dengan pemikiranku yang melantur ke mana-mana. Nafsu makanku sudah hilang entah ke mana gara-gara asumsi tidak berdasar yang ada di otakku. "Kenapa? Kau kedinginan?" tanya Mario datar, mungkin karena melihatku bergidik. Tanpa aku sempat membalas, dia sudah berdiri dan membuka jasnya, lalu menyampirkannya di bahuku. Layaknya adegan di film yang sering kutonton. Aku penasaran bagaimana reaksi si nenek lampir itu kalau melihat kami. Sekarang juga mungkin wanita itu sedang misuh-misuh karena ditinggalkan oleh Mario. "Terima kasih," ucapku pelan, aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya kalau pikiranku sedang meracau. "Aku juga akan berusaha membatalkan perjodohan ini. Kau tidak usah khawatir. Kejadian hari ini anggap saja tidak pernah terjadi." Mario tersenyum tipis setelah duduk kembali ke mejanya. Makanannya hampir tidak tersentuh, sepertinya dia juga sudah kehilangan nafsu makannya, sama sepertiku. Tidak ada gunanya lagi kami di sini, jadi aku mengajaknya pulang. Berpura-pura kalau ciuman itu tidak pernah terjadi dan kembali ke kehidupan kami masing-masing. 'Lupakan playboy itu, Marina!' aku menyugesti diri sendiri berkali-kali selama perjalanan pulang. Aku tidak tahu kalau semua itu akan percuma karena takdir seolah mempermainkan kami. ~oOo~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD