Tanpa banyak bicara, Rio segera mengambil salah satu kuda yang ia sewa bersama Renata yang sejak tadi hanya ditambatkan di pagar dan menaikinya tanpa menghiraukan panggilan Renata yang memintanya kembali. Renata terpaksa hanya mampu melihat kepergian Mario dengan sorot mata kesal. Bisa-bisanya Mario meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apa pun.
Sementara itu, Mario memaksa kudanya melaju sangat kencang, karena dia tahu, jaraknya dengan Marina masih tersisa sangat jauh. Ia harus mengejar selama beberapa menit kemudian sampai akhirnya ia berhasil menyusul Jason yang terlihat kepayahan mengejar Rin. Ia tidak memedulikannya dan terus mengejar gadis itu hingga bisa menyamakan laju mereka.
"Tarik talinya kuat-kuat, Rin! Pegang kendali kudamu!" teriak Rio ketika jarak di antara mereka sudah cukup dekat.
Gadis itu tidak merespon ucapan Rio, sepertinya ia terlalu shock dan ketakutan sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Rio bisa melihat wajah gadis itu yang pucat dan berwarna seputih kapas sambil tetap memeluk leher kudanya kuat-kuat, hal terakhir yang bisa dilakukan oleh gadis itu agar tidak terjatuh dan pasti akan mematahkan tulang-tulangnya.
Beberapa puluh meter di depan mereka ada pagar besi yang cukup tinggi, yang sefaja dibangun untuk memisahkan antara lapangan berkuda dan lapangan golf tempat ayah mereka bermain. Ia bisa melihat kedua ayah mereka yang tercengang mendengar teriakan Marina. Kalau kuda itu tidak segera dihentikan, bisa fatal akibatnya. Mungkin kudanya akan menukik tajam dan membuat Rin terjatuh atau malah berusaha melompati pagar itu yang rasanya mustahil, bisa saja akhirnya malah membuat keduanya mengalami celaka yang tak ingin dibayangkan oleh siapa pun di atas dunia ini.
"Pegang talinya, Rin! Aku mohon, dengarkan aku! Pegang talinya! Beranikan dirimu, Rin! Ayolah, pegang talinya! Pegang talinya!" teriak Rio lagi sekuat tenaga. Bahkan tanpa sadar dia malah sudah memohon-mohon.
Sepertinya, kali ini usahanya membuahkan hasil. Tampak olehnya, Rin menoleh ke belakang dan ia bisa melihat gadis itu menangis ketakutan dengan wajahnya yang memutih.
"Cepat tarik talinya dan pegang kuat-kuat. Jangan sampai jatuh!" teriak Mario lagi.
Dengan keberanian yang tersisa, Rin menarik tali kekang kudanya sekuat tenaga. Kuda itu tersentak lalu mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik.
"Riinnn!!!" jerit Rio panik.
Tubuh gadis itu terlempar beberapa meter ke tanah. Rio segera membawa kudanya ke tempat Marina terjatuh dan menghalangi kuda yang sedang mengamuk itu. Bisa gawat kalau kuda itu menginjak-injak tubuh mungil Marina.
Mario baru menyadari kalau ternyata sejak tadi di belakangnya juga ada beberapa petugas penyewaan kuda yang berusaha mengejarnya dengan mobil, mungkin karena mendengar keributan ini. Dia terlalu fokus pada Rin sampai tidak memperhatikan sekelilingnya.
Mobil yang membawa tiga orang petugas akhirnya sampai di tempat. Seorang dengan sigap langsung mengendalikan kuda yang dipakai Rin tadi dan mengamankannya. Yang lainnya menghambur ke arah Rin yang masih tergeletak di tanah.
Rio bergegas turun dari kudanya dan berlari menuju gadis itu. Alex Origa dan Alex Forbs yang sedang bermain di dekat situ pun segera berlari menghampiri mereka begitu tahu siapa yang sedang mereka lihat.
"Apa yang terjadi pada putriku?!" tanya Alex Origa dengan napas tersengal karena berlari, di belakangnya Alex Forbs juga bernasib sama. Berusaha mengatur napas yang terpacu kencang akibat berlari barusan.
"Kudanya mengamuk dan Rin terjatuh, kita harus segera membawanya ke rumah sakit, Om," jawab Mario singkat. Ia tidak memedulikan Jason yang baru datang dengan susah payah.
Ini semua gara-gara dia! Laki-laki itu yang tidak becus menjaga Marina, batinnya geram.
Karena tidak ada dokter di antara mereka saat itu, Rio memutuskan menggendong gadis yang masih tidak sadarkan diri itu dan bergegas membawanya ke mobil petugas. Selama perjalanan ia memperhatikan keadaan Rin. Memang tidak ada darah yang keluar karena rumput di situ memang cukup tebal. Tapi ia tidak mau mengambil risiko akan terjadi luka dalam atau kemungkinan patah tulang pada gadis itu.
"Bertahanlah, Rin. Ada aku di sini," bisiknya. Dan tampaknya, ucapan itu justru lebih kepada menenangkan dirinya sendiri. Begitu sampai rumah sakit, beberapa perawat dan seorang dokter langsung menyambut mereka dengan brangkar, karena sebelumnya para petugas sudah terlebih dahulu menelepon dan menyatakan keadaan darurat. Rin segera dibawa masuk ke ruang IGD dan mendapatkan prosedur pemeriksaan.
"Nona ini baik-baik saja, mungkin hanya sedikit shock dan beberapa memar di tubuhnya. Tapi tidak ada yang serius," ucapan Dokter Frans seketika membuat semua orang yang ada di sana mengembuskan napas lega.
Alex Origa menepuk bahu Rio yang sejak tadi tegang lalu merangkulnya sekilas. "Terima kasih, Nak. Untung ada kamu yang menyelamatkan Marina. Jika tidak, aku tak tahu bagaimana jadinya nasib putriku sekarang."
"Itu sudah tugas saya, Om," balas Rio tulus. Entah mengapa, suaranya terdengar sedikit bergetar. Antara khawatir dan lega, tampaknya sudah menguasai jiwanya.
“Good job, Kiddo! Seperti itulah yang namanya lelaki! kata Alex Forbs sambil mengacungkan ibu jarinya.
Mario tersenyum, tidak ingin protes terhadap panggilan ayahnya. Sekarang ia bisa lebih rileks setelah mengetahui gadis itu baik-baik saja. Tadi ia merasa ketakutan setengah mati saat melihat wajah Rin yang seputih kapas akibat ketakutan.
Tapi, ini sungguh mengherankan juga baginya. Saat melihat Rin tadi, kenapa ia harus merasa setakut itu? Kenapa dia sangat khawatir jika Rin terjatuh dari kudanya dan mengalami kecelakaan fatal? Padahal jelas-jelas dia tidak punya perasaan apa-apa terhadap gadis itu. Apa mungkin itu karena ikatan tak kasatmata bernama 'perjodohan' belum resmi itu? Bukankah selama ini ia selalu berusaha menjaga apa pun miliknya? Dan itu termasuk Marina, bukan? Ya, mungkin karena itu, tidak lebih.
"Hoy, Besan. Putrimu baik-baik saja. Bagaimana kalau kutraktir secangkir espresso? Biar Rio yang menjaga Marina, kupikir mereka butuh waktu berdua. Kau sudah lihat bagaimana cara anakku menyelamatkan menantuku ini, bukan?" Alex Forbs mengerling pada calon besannya.
Dan tentu saja Alex Origa mengangguk setuju. Jelas ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan lamgkah tegap, mereka beriringan keluar rumah sakit menuju cafetaria di lantai bawah sambil tertawa-tawa.
"Menantu idaman, huh?!" desis sebuah suara bernada ejekan dari atas ranjang rumah sakit.
"Rin, kau sudah sadar?" tanya Rio yang langsung menghampirinya dan berdiri di dekat ranjang.
"Aku cukup sadar untuk mengetahui kalau rencanaku gagal total. Dan kau sudah mengacaukan semuanya, Tuan Calon Suami Idaman," ujarnya sinis.
Rin bisa melihat sinar kekhawatiran di mata Rio perlahan menghilang digantikan oleh amarah yang terpendam. Tidak sepantasnya ia mengatakan itu pada orang yang sudah menyelamatkan nyawanya. Tapi ia tidak mau terlena dan jatuh dalam pesona seorang pria yang tidak mungkin akan mencintainya. Lebih baik mencegah sebelum ia jatuh terlalu dalam, bukan?
Ia bisa mengingat bagaimana perlakuan Mario pada Renata di padang rumput tadi, dan itu membuat hatinya sesak, karenanya ia ingin memacu kudanya sekencang mungkin untuk menjauh dari pasangan yang membuatnya tak nyaman tersebut. Tidak disangka kalau ternyata kuda itu malah mengamuk dan berlari dengan liar.
Seandainya saja saat itu Jason yang menyelamatkannya, bukan dia. Mungkin dia bisa sedikit terpesona pada pria itu. Tapi kini yang bisa ia lakukan hanyalah membangun benteng dalam hatinya agar terasa lebih baik. Lagi pula, hatinya sudah dimiliki oleh orang lain sejak beberapa tahun yang lalu. Ia tidak boleh jatuh cinta pada orang lain.
Rio mengepalkan tangannya erat-erat untuk menahan amarahnya. Gadis itu hampir mati tadi dan dia masih saja memikirkan rencana konyolnya itu?! Sebegitu tidak inginnya kah gadis itu menikah dengannya? Sementara banyak gadis lain yang mengantre demi bisa berkencan semalam saja dengannya. Mario tidak bisa percaya kalau ada gadis keras kepala seperti Marina di dunia ini.
"Terima kasih kembali," sindir Mario tajam, lalu pria itu berjalan menuju pintu dan membantingnya dengan keras.
Perlahan air mata Marina meluncur bebas ke pipinya. Ia menarik selimutnya sampai ke leher, menyembunyikan perasaan bersalahnya.
"Terima kasih, Mario," bisiknya pelan.
~oOo~