Hurt
Mario tidak menyangka kalau rencananya membawa Marina bulan madu ke Hawaii ternyata adalah malapetaka terbesar baginya. Bisa dikatakan pria itu menyesal, amat sangat menyesal!
Ketika Mario bangun di pagi hari dan tidak menemukan Marina di sebelahnya, firasatnya langsung mengacu pada seseorang. Ia merasa ada yang tidak beres dengan pemilik hotel ini, apakah Rin mengenalnya? Mungkinkah dia ....
Tanpa pikir panjang, Mario langsung turun ke bawah mencari Marina, semoga saja dia belum pergi jauh. Instingnya benar, dia ada di lobi, dengan pria itu. Dan mereka berpelukan!
Marina memanggilnya Radith, ternyata benar dugaan MArio, pria itu memang dia. Jantungnya serasa ditarik paksa dari tempatnya. Ia menopang tubuhnya yang lemas seketika ke dinding. Mario belum siap untuk kehilangan Marina!
Kau bahkan belum mendapatkannya, Bung! Hatinya hanya untuk pria itu, suara batin Mario mencemooh, memaksanya menelan pil sepahit empedu.
Dengan langkah terseok, pria itu berjalan kembali ke kamar dan mengempaskan tubuh ke ranjang. Mario meraih smartphone di nakas dan menghubungi Erick.
"Kapan jadwalku di London?" tanyanya tanpa berniat untuk berbasa-basi.
"Dua minggu lagi, bukankah kau yang minta agar pekerjaanmu ditunda sampai kau selesai bulan madu?" Erick menjawab di seberang sana dengan heran.
Mendengar kata bulan madu membuat hatinya memanas, seharusnya ini menjadi saat yang menyenangkan untuk mereka berdua. Kenapa orang itu harus muncul di saat yang salah? Kini ia tidak punya harapan lagi, ia tidak akan menang.
Kalau pria itu mampu membuat Marina menunggu selama hampir enam tahun, lalu apa yang ia dapatkan dengan pernikahan yang baru seumur jagung ini?
"Aku akan berangkat sekarang juga ke London."
Mario memutuskan telepon tanpa menghiraukan protesnya, lalu menghubungi maskapai penerbangan untuk memesan tiket. Tersisa satu tiket untuk penerbangan dua jam lagi! Oh, God! Bahkan Tuhan pun memuluskan jalannya untuk pergi.
Dalam hati Mario mengerang frustrasi, dan tanpa sadar ia sudah siap dengan kopernya. Seolah tangannya bergerak otomatis tanpa peduli barang apa yang ia bawa atau ia tinggalkan.
Mario menimbang untuk meninggalkan pesan atau tidak untuk Marina. Akhirnya ia memilih untuk menulis note singkat untuk istrinya, bagaimanapun ia tidak ingin membuat Marina kebingungan karena ia menghilang mendadak, kalau nanti dia mencarinya.
Hmm, kalau dia tidak melupakanku karena terlalu sibuk dengan pria itu, batinnya bergolak lagi.
"Aku pergi ke London untuk urusan pekerjaan, mungkin untuk satu bulan atau lebih. Selamat karena sudah menemukan priamu. Semoga kalian bahagia."
-Mario-
Hati Mario berdarah saat menulisnya, membayangkan akan meninggalkan Marina membuat matanya memanas. Holly s**t! Kenapa ia jadi cengeng begini, sih?! Sejak kapan seorang Mario Alexander menangis karena seorang wanita?
Mario menyeret koper ke lobi dan segera mengurus administrasi.
"Mariiooo!!!"
Oh, Mario bahkan masih merasa mendengar suaranya. Ia merindukannya bahkan sebelum benar-benar meninggalkannya. Sial!
Argh! Mario sudah terlalu banyak menyumpah hari ini.
Ia memanggil taksi dan suara itu muncul lagi, kali ini ia yakin tidak sedang berhalusinasi. Istrinya benar-benar berlari mengejarnya. Ingin rasanya Mario memeluknya saat itu juga, tapi kalau ia melakukannya, Mario tidak yakin akan rela melepaskannya lagi. Dia harus bahagia, meskipun bukan dengannya.
"Kau mau ke mana?" Marina terengah-engah, Mario tidak tega melihat istrinya kelelahan.
"London," jawabnya sedingin mungkin.
"Kenapa mendadak sekali?" tanya Marina terkejut, ia sendiri terkejut dengan keputusannya, jadi tidak ada yang bisa ia jawab.
"Aku ikut," tambahnya, "Aku akan mengambil barang-barangku dulu."
Apa dia gila?! Dia sudah menunggu selama enam tahun demi pria itu dan sekarang dia akan melepaskannya begitu saja? Batin Mario bergolak. Antara senang dan sedih. Ia ingin Marina ikut bersamanya, tapi ia juga ingin Marina hidup bahagia. Dan ia melihat kebahagiaan itu saat Marina menatap Radith, bukan dirinya.
"Tidak. Aku akan pergi sendiri," jawabnya getir.
Akan sangat menyenangkan kalau kau ikut, tapi aku tidak ingin egois. Kau berhak bahagia, bukannya terjebak pernikahan konyol ini denganku.
Mario segera masuk ke taksi karena pandangannya mulai buram, ia tidak ingin terlihat cengeng di depan Marina.
Taksi melaju keluar dari pelataran hotel, dan ia melihat Marina jatuh terduduk di lantai, apa istrinya menangisi perpisahan mereka? Oh, Tuhan, apa dia takut kehilangannya?
Mario hampir saja berteriak pada sopir taksi untuk menghentikan mobilnya, tapi ia bersyukur belum melakukannya ketika melihat pria itu memeluknya. Dia memeluk Marina-nya, lagi.
Seketika ia tersadar, wanita itu bukan miliknya, tidak akan pernah.
~oOo~
"Hei, kau terlihat menyedihkan? Perlu hiburan?" William, teman sesama model di London bertanya pada Mario.
Mereka sering berada di panggung yang sama bersama Renata juga, dia salah satu model yang cukup dekat dengan Mario selain gadis manja itu, dan Mario sudah tahu 'hiburan' apa yang dia maksud.
"Aku tidak seperti itu, kau tahu betul sifatku," tukas Mario bosan.
"Yeah, aku tahu kau tidak melakukan seks. Tapi, melihat tampangmu yang seperti sedang melarikan diri dari sesuatu, sebotol Vodka tidak buruk, Kawan!" bujuknya gencar. William sangat suka berpesta, terutama perempuan cantik.
Mario mengernyit sejenak, tapi apakah memang di wajahnya terlihat sejelas itu? Ini tidak bagus untuk pemotretan besok, sepertinya ia memang butuh sedikit rileks. Dan setelah dipikir-pikir, ternyata ia memang membutuhkan teman bicara saat ini.
"Sebotol Vodka tidak masalah," jawabku enteng dan dibalas seringai puas dari William.
~oOo~
"Hei, berhenti menangis, cengeng," hibur Radith, dadanya terasa sesak melihat gadis itu begitu terluka.
Dia pergi ... Dia sudah pergi! Marina masih menangis sesenggukan, tidak peduli ia sudah menjadi tontonan orang-orang.
Kau tahu dia pergi ke mana? tanya Radith ragu, sedikit berharap kalau suami Marina akan meninggalkannya untuk selamanya. Dia tahu kalau dia sudah egois, tapi untuk kali ini saja. Dia ingin memiliki Marina untuk dirinya sendiri.
London. Dia bilang mau pergi ke Lon ..., seakan tersadar akan kebodohannya, Marina segera berdiri dengan pasti. "Aku harus menyusulnya, aku tidak ingin dia pergi."
Tanpa sadar Marina berlari secepat yang ia bisa, ia ingin segera kembali ke kamar, mengambil paspor dan dompetnya, lalu membereskan barang-barangnya secepat mungkin.
Radith hanya mengikutinya dalam diam. Dia tidak suka diabaikan, apalagi demi laki-laki lain, meskipun itu suami Marina sendiri.
Tekadnya buyar ketika Marina membuka pintu kamarnya, ia masih bisa mencium wangi maskulin khas Mario. Marina merindukannya, ia membutuhkan kehadiran pria itu di sisinya. Matanya tertumbuk pada sehelai kertas di ranjang, tulisan tangan Mario.
Matanya kembali basah membaca note itu, tubuhnya terempas ke ranjang dan hatinya hancur berkeping-keping. Mario meninggalkannya bukan untuk bekerja, tapi suaminya benar-benar akan meninggalkannya demi kebahagiaannya.
Ia memegang dadanya, kenapa rasanya sesakit ini? Mario menginginkan kebahagiaannya, bukankah ini yang ia harapkan? Bertemu dengan Radith dan hidup bersamanya, tapi kenapa ia tidak merasa bahagia? Ada lubang menganga dalam hatinya tanpa kehadiran Mario.
Marina menggenggam kertas itu dengan erat seolah ia takut kehilangan, tapi jauh di dalam hatinya ia sadar kalau cintanya sudah hilang.
"Rin," bisik Radith pilu, ia ikut berjongkok di depan Marina dan mengelus kepalanya sayang.
"Tinggalkan aku sendirian, please," pinta Marina memohon, awalnya Radith keberatan karena takut terjadi sesuatu dengannya. Tapi, akhirnya ia mengalah setelah gadis itu memaksanya keluar.
Smartphone-nya bergetar, Marina terkesiap dan segera mengangkatnya tanpa melihatnya lebih dulu.
"Mario!" panggil Rin antusias.
"Hei, ini aku, kakakmu. Apa aku mengganggu acara bulan madu kalian?" tanya Davian, sebenarnya niatnya memang untuk mengganggu honeymoon adiknya dengan Mario. Ia tidak akan membiarkan pria itu menikmati masa bulan madunya dengan tenang.
Marina tidak sanggup menahan tangisnya lagi, ia tersedu dengan keras. Hatinya sakit, sangat sakit.
"Kakak ...," ratap Marina pedih.
"Rin, ada apa? Apa pria b******k itu menyakitimu? Akan kuhajar dia kalau berani melukaimu sedikit saja!" bentak Davian cemas.
Marina menggeleng, sadar kalau kakaknya tidak melihatnya, ia segera berkata, "Tidak. Bukan itu masalahnya."
"Lalu, apa? Kenapa kau menangis seperti itu?" Davian bertambah cemas, belum pernah adiknya menangis seperti itu. Kecuali, waktu Radith meninggalkannya dulu.
"Aku ... aku tidak tahu. Dia sudah pergi," Marina menangis keras lagi, membuat Davian frustrasi. Ia tidak bisa bertanya dalam keadaan Marina yang kacau seperti itu.
"Tunggu di sana, jangan ke mana-mana. Kakak akan segera menjemputmu!" Telepon terputus, tapi Marina tidak peduli. Ia kembali menangis, hanya itu yang bisa ia lakukan. Kembali ke kamar ini membuat kenangannya bersama Mario kemarin menyergapnya sampai membuatnya limbung.
~oOo~