Lost
Pagi-pagi sekali, Marina sudah bergegas mandi dan turun ke lobi hotel. Ia sudah memesan makanan untuk suaminya yang masih tidur, berharap Mario tidak akan bangun sampai dia kembali.
Dalam suasana hati yang tidak keruan, ia menunggu di lobi yang tidak terlalu ramai. Perasaannya harap-harap cemas antara menunggu atau kembali. Akal sehatnya menyuruhnya kembali ke kamar untuk menemui suaminya. Tapi, hati kecilnya menyuruhnya tetap diam dan menunggu. Dan ternyata hatinya yang menang.
Setelah hampir satu jam menunggu, orang yang ia cari akhirnya muncul juga. Pria itu berjalan dengan gagah didampingi dua karyawannya yang lain.
Tanpa berpikir panjang, Marina berlari dan berdiri tepat di depannya. Selama beberapa saat mereka saling berpandangan, wanita itu bisa melihat kerinduan, kekecewaan, dan kepedihan yang dalam di mata Radith. Tapi kemudian, pria itu memilih untuk mengabaikannya dan berjalan melewatinya.
"Berhenti!" jerit Rin. Dalam hati ia merutuki suaranya yang terlalu keras sehingga sekarang ia menjadi tontonan semua orang yang ada di lobi.
Radith menghentikan langkahnya dan berbalik dengan ekspresi dingin.
"Ada apa?"
"Aku ...," Marina bingung harus berkata apa. Tidak mungkin kan ia bilang kalau ia marah karena Radith sudah meninggalkannya tanpa sebab? Dan ia mengharapkan penjelasan dari kepergiannya lima tahun yang lalu.
"Kalau tidak ada yang penting, sebaiknya Anda pergi. Saya tidak punya banyak waktu," Radith berkata datar, lalu berbalik pergi.
Marina tidak terima dengan nada bicara Radith, seharusnya ia yang marah, bukan sebaliknya!
"Tunggu!" Marina menarik tangan Radith, "Kau ... benar-benar Radithya Erlangga, kan? Jawab aku!" suara Marina bergetar, setetes cairan bening mengalir dari matanya, namun ia buru-buru menghapusnya.
Radith bergeming melihat gadis itu menangis di hadapannya. Rasanya masih sama seperti dulu, seperti ketika ia terpaksa meninggalkannya. Ia tidak ingin gadis itu bersedih, Marina harus bahagia. Itu sebabnya dia pergi.
Tembok yang ia bangun selama bertahun-tahun itu roboh dalam seketika. Ia sudah memutuskan untuk meninggalkan gadis itu, namun sekarang hatinya sudah kembali jatuh. Ternyata cintanya masih sama seperti dulu.
Kenapa gadis itu harus datang kembali dalam hidupnya setelah hampir enam tahun ia bersembunyi dan menulikan telinga tentang semua berita tentangnya. Ia sudah memilih jalannya sendiri dengan mengorbankan perasaannya.
Kemarin saat melihat gadis ini di restoran miliknya, ia pikir kalau semua itu hanya khayalan. Hanya ilusi yang diciptakan oleh otaknya karena terlalu merindukan Marina. Tapi ternyata gadis ini nyata. Gadis yang selama ini ia rindukan, ia cintai dengan segenap jiwa dan raga sedang berdiri di hadapannya.
Radith memberikan isyarat agar karyawannya kembali ke pekerjaannya masing-masing dan berhenti menonton mereka. Ia menghela napas lega ketika tempat itu hanya menyisakan dia dan gadis pujaannya.
Dengan perlahan Radith mendekati Marina dan ragu-ragu mengelus kepalanya seperti yang dulu sering ia lakukan.
"Jangan menangis, Rin," desisnya nyaris tidak terdengar.
Mendengar pria itu menyebut namanya, tangis gadis itu bukannya berhenti tapi malah semakin menjadi. Radith-nya belum berubah, ia tetap Radith yang dulu sebelum meninggalkannya.
"Sudah, kubilang jangan menangis. Kau ini tidak berubah ya, tetap saja cengeng," gerutu Radith pura-pura marah.
Ia merangkul tubuh mungil itu dalam dekapannya dan menghirup aroma lavender yang ia sukai dari gadis itu. Hatinya yang selama ini kosong sudah utuh kembali.
Mungkin takdir yang mempertemukan Marina untukku, dan sekarang tidak akan ada lagi penghalang di antara kami, bisik batinnya lirih.
"Kau jahat! Kenapa dulu kau meninggalkanku begitu saja?" Marina terisak dalam pelukan Radith.
Pria itu menghela napas berat, tidak mungkin ia mengatakan kalau ayah Marina yang memintanya menjauhi putrinya karena Marina akan dijodohkan dengan putra sahabatnya.
Dulu, ia tidak punya apa-apa untuk menolak, bahkan sekadar keberanian saja ia tidak memilikinya. Apa yang bisa ia gunakan untuk membahagiakan Marina yang notabene anak orang kaya raya?
Maka dari itu ia memilih pergi, tapi sekarang Tuhan mempertemukan mereka kembali dan ia juga sudah memiliki segalanya. Uang, jabatan, dan kekuasaan. Ia yakin kalau Alexander Origa tidak punya alasan untuk menolaknya lagi.
"Kenapa malah bengong? Jawab, Radith!" desak Rin tidak sabar.
"Maafkan aku, dulu egoku masih labil. Aku pergi karena aku ingin mencari kehidupan yang layak agar bisa menghidupimu. Kau lihat sendiri, sekarang aku sudah berhasil, bukan?!" kata Radith bangga.
Rin mengangguk, ia menatap Radith dengan takjub. "Kau memang hebat! Tapi, tetap saja kau tidak bisa dimaafkan."
"Aku mengerti, bagaimana kalau aku traktir makan sebagai permintaan maaf?" ajak Radit yang diangguki oleh Rin dengan antusias.
Mereka makan di cafe yang berada di lantai dua. Di situ juga banyak karyawan yang sedang sarapan, mereka berbisik-bisik melihat bos mereka makan bersama Rin.
"Aku merasa seperti selebritis," Rin ikut berbisik pada Radith.
"Karena kau sarapan bersama selebritis hotel ini," gurau Radith sambil terkekeh.
Beberapa karyawannya, baik pria maupun wanita menatap takjub pada Radith. Biasanya bos mereka itu sangat jarang tersenyum apalagi tertawa seperti itu. Entah angin apa yang membuatnya ceria. Yang jelas itu karena pengaruh gadis yang makan bersamanya, dan tatapan iri semakin ditujukan para penggemar Radith pada Rin.
"Hei, tadi aku melihat Mario di lobi, tahu!" samar-samar Marina mendengar percakapan dua karyawan wanita di sebelahnya.
Mendengar nama Mario disebut, jantungnya langsung melompat dari tempatnya. Mario sudah bangun dan pasti sedang mencarinya. Bisa gawat kalau dia menemukannya bersama Radith.
"Mario siapa?" tanya gadis lainnya tertarik.
"Itu lho, Mario Alexander yang model dan aktor terkenal. Masa kalian tidak kenal?"
"Iya, aku tahu! Aku pernah melihat filmnya, keren banget! Terus sekarang dia di mana?"
"Kayaknya sih mau check out, soalnya dia bawa koper besar gitu. Dua hari yang lalu sih katanya dia datang sama cewek, tapi tadi dia pergi sendiri. Tuh cewek bayaran kali, Mario udah bosen makanya ditinggalin," jawab si karyawati penggosip tadi dengan lagak sok tahu.
Marina yang mendengar perbincangan mereka menjadi naik darah. Ia menggebrak meja dengan kesal, dan berjalan ke arah para penggosip itu.
"Hei, jaga bicara kalian, terutama kamu!" tunjuk Marina pada gadis penggosip yang berdandan paling menor. "Kalau kalian tidak tahu apa-apa, lebih baik kalian diam saja. Mengerti!"
Para karyawati itu sebenarnya ingin melawan, tapi melihat bos mereka berdiri di belakang gadis itu membuat nyali mereka ciut dan memilih diam.
Marina tidak ingin buang waktu, ia segera bergegas ke lobi. Kalau yang dikatakan para biang gosip itu benar, berarti Mario masih di sana. Ia meninggalkan Radith yang berteriak memanggil namanya. Ia langsung masuk lift yang hampir tertutup dengan tidak sabar.
"Mariiooo!!!" jerit Rin begitu keluar dari lift.
Mario yang hampir masuk ke dalam taksi menoleh ke arahnya dengan wajah datar dan berdiri menunggu gadis itu.
"Kau mau ke mana?" tanya Rin dengan napas terengah-engah.
"London," jawab Mario singkat.
"Kenapa mendadak sekali?"
Mario tidak merasa perlu menjawab, ia kembali membuka pintu taksi untuknya.
"Aku ikut!" tahan Marina sambil memegang lengan Rio untuk menutup pintu taksinya lagi. "Aku akan mengambil barang-barangku dulu."
"Tidak! Aku akan pergi sendiri."
Langkah Marina terhenti mendengar perkataan suaminya, "Kenapa?"
"Kau tahu jawabannya." Tidak ingin menjelaskan lebih lanjut, Mario segera masuk dan taksi segera melaju meninggalkan hotel itu.
"Mario ...," desis Rin lirih, ia jatuh terduduk di lantai hotel yang dingin. Apa benar Mario sudah bosan padanya seperti yang dikatakan oleh karyawati tadi?
"Rin!" panggil Radith yang baru keluar dari lift, "Ada apa?"
Radith membenamkan wajah Marina ke dadanya untuk menyembunyikan tangis gadis itu. Mario yang melihat hal itu dari dalam taksi hanya bisa tersenyum pahit. Mungkin keputusannya untuk pergi adalah tepat.
"Dia ... pergi ...," kata Marina terbata dalam isaknya.
"Tenang, Rin. Siapa yang pergi?" tanya Radith bingung.
"Mario! Suamiku ninggalin aku, Dit!" jerit Rin tertahan.
Radith membeku mendengar perkataan Marina. Jadi, gadis impiannya sudah menikah? Di saat ia memiliki segalanya, kenapa ia harus kehilangan cintanya bahkan saat ia belum mendapatkannya kembali?
~oOo~