"Baguslah kalau begitu. Well, trik apa yang kau gunakan untuk membuat playboy itu menurut padamu?" tanya Alex Origa penasaran, ia tahu betul sahabatnya itu selalu mempunyai cara-cara aneh untuk mendapatkan sesuatu dari putranya.
"Hanya sedikit ancaman, tentu saja. Secara tidak sengaja aku merekam Mario sedang menciumi gambar salah satu kartun animasi di poster yang dia pajang di kamarnya. Aku tidak tahu siapa atau apa nama gambar itu, yang aku tahu wajahnya cantik dan berambut pink. Anak itu langsung mengamuk begitu tahu kalau aku mengabadikan semuanya, sejak itu semua poster yang ada di kamarnya ia copot, dan aku punya sesuatu yang bagus untuk membuatnya menurut," jawabnya sambil tertawa, "Kalau kau? Hmm, biar kutebak. Pasti adegan memelas dengan puppy eyes andalanmu yang membuat semua wanita di kampus dulu memujamu dan menuruti semua keinginanmu, bukan?"
"Tepat sekali! Ternyata jurus itu masih ampuh sampai sekarang."
Kedua sahabat itu tertawa keras bersama. Dimulai dari nama depan mereka yang sama, hobi, dan sifat yang hampir sama. Keduanya juga bersikeras ingin mengubah persahabatan mereka menjadi ikatan persaudaraan, dengan cara menikahkan anak-anak mereka.
Kedua Alexander senior tidak tahu kalau putra-putri yang sedang diceritakan itu menguping di belakang mereka.
"Apa kau memikirkan hal yang sama seperti yang aku pikirkan?" bisik Rio tepat di belakang gadis itu. Dia menghirup aroma lavender yang menguar dari rambut cokelat gelap milik Marina. Ia ingin sekali memegang rambut lurus yang tergerai indah itu, pasti rasanya halus. Tapi segera ia urungkan setelah memikirkan akibat dari perbuatannya tersebut.
Rin mengangguk, mencoba menghalau sensasi aneh yang ditimbulkan oleh embusan napas berbau mint milik Rio di tengkuknya. "Ya. Sepertinya ... kita sudah dijebak!"
"Aku punya rencana." Mario tersenyum miring, "Ikuti aku."
Langkah kedua pasang sepatu muda mudi itu menyadarkan Origa dan Forbs dari obrolan 'rahasia' mereka dan segera berganti topik.
"Jadi, kapan pernikahan akan dilangsungkan?" tanya Alex Origa pada calon besannya.
"Secepatnya," jawabnya mantap.
"Tidak bisa!" Mario yang baru saja datang segera menginterupsi. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa dengan keras, sementara Marina hanya mengangkat alisnya heran.
Rencana apa yang akan kau mainkan, Mario?
"Kenapa tidak bisa? Bukankah kalian sudah menyetujui perjodohan ini? Jangan main-main denganku, Kiddo!" protes Alex Forbs geram.
"Aku setuju, tapi bukan berarti kami akan menikah secepatnya. Aku masih punya beberapa kontrak yang belum selesai," kata Rio datar. "Dan berhenti memanggilku Kiddo, Dad!"
Alex Forbs hanya mendengus.
"Aku juga harus berkonsentrasi untuk peragaan busanaku di Paris musim panas nanti," dukung Rin tegas.
Alex Origa menyipit tidak setuju dengan perkataan putrinya tersebut, karena itu Rin memilih diam meskipun masih ada yang ingin ia sampaikan. Kondisi kesehatan ayahnya sedang tidak begitu baik belakangan ini, Marina tidak mau membuat kesehatan beliau semakin buruk.
"Kalian bisa menyelesaikan semua urusan setelah menikah nanti," ucap Alex Origa bijak.
"Tidak bisa!" seru Rin dan Rio berbarengan. Lalu keduanya saling menatap, heran.
"Wah, kalian sudah mulai kompak, ya. Sepertinya kalian memang berjodoh," Forbs terkekeh pelan.
"Apaa?! Tidak mungkin!" teriak mereka lagi bersamaan. Dan lagi-lagi mereka beradu pandang seakan sudah diatur waktunya. Lalu sama-sama melengos.
"Kubilang juga apa," kata Alex Forbs tertawa lebar.
"Tapi, Dad, aku serius soal kontrak itu. Aku tidak boleh menikah selama masih terikat kontrak dengan mereka atau mereka akan menuntutku dalam jumlah yang sangat besar," Rio menjelaskan.
"Kalau begitu, biar Daddy yang akan membayar dendanya," ujar Forbs enteng.
Rio makin berang, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha untuk tidak membentak ayahnya.
"Ini bukan masalah uang, Dad. Aku masih punya cukup uang untuk membayarnya, tapi ini adalah masalah profesionalisme pekerjaan. Aku sudah menandatangani kontrak itu dan aku harus bertanggung jawab," jawabnya tegas.
Rin sedikit tersentak dengan ketegasan Mario, diam-diam dia merasa salut akan tanggung jawabnya pada pekerjaan. Dia adalah perancang busana dan dia sudah biasa bergelut dengan para model papan atas yang mengaku profesional, tapi terkadang bersikap semaunya. Mentang-mentang model terkenal, lalu berbuat sesuka hati dan sombongnya bukan kepalang. Berbeda sekali dengan sikap Rio yang selama ini ia cap sebagai model selengean.
"Aku mengerti dengan alasan Rio, Om. Dan aku mendukung sepenuhnya pada pekerjaannya. Kalau dia tidak bisa bertanggung jawab pada pekerjaannya, bagaimana mungkin dia bisa bertanggung jawab pada keluarganya nanti? Biarkan kami menyelesaikan masalah pekerjaan kami dulu sebelum menikah," kata-kata Rin tepat pada sasaran karena sepertinya kedua ayah mereka tampak sedang berpikir keras.
Rio melemparkan senyum terima kasih karena sudah membelanya. Dan gadis itu bersumpah kalau jantungnya sempat berhenti satu detik karena melihat senyum pertama yang tulus dari pria itu.
"Baiklah, Daddy setuju. Berapa lama kontrakmu itu?"
"Bulan ini adalah bulan kedua, mungkin sekitar sepuluh bulan lagi karena ada beberapa fashion show dan syuting di negara tetangga," jawab Rio setelah berpikir sejenak.
"Ugh, masih lama sekali! Padahal Daddy ingin segera menggendong cucu," keluh Alex Forbs, sementara Rin dan Rio tersenyum dengan wajah memerah. "Bagaimana menurutmu, Rin?"
"Mungkin lebih baik begitu, Om. Aku juga akan sangat sibuk dalam beberapa bulan ke depan," Marina menjawab diplomatis.
"Baiklah, kau beruntung punya istri yang sangat pengertian," kata Forbs lagi, sementara Origa yang sejak tadi terdiam hanya manggut-manggut saja.
"Hei, sepertinya gencatan senjata kita berhasil menunda pernikahan konyol ini. Teruslah bersikap menjadi anak manis," bisik Rio, matanya mengerling dengan sikap mengggoda.
Rin menegang. Pernikahan konyol katanya? Jadi pria itu menganggap kalau perjodohan ini hanya main-main? Baiklah, kita lihat siapa yang menang dalam permainan konyol ini. Dia tidak sudi disamakan dengan gadis-gadis yang selama ini selalu menempelinya seperti lem tikus.
Selesai acara makan malam, kedua keluarga kecil itu mampir ke kediaman Origa demi melanjutkan pembicaraan yang belum selesai antara kedua Alexander tua tersebut.
"Bagaimana kalau kalian menginap di sini? Besok kan hari libur, jadi kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama," usul Origa pada calon besan dan menantunya setelah mereka sampai ke rumah besar kediaman keluarga Origa.
"Wah, ide yang bagus, Besan," dukung Alex Forbs sambil tertawa lebar.
Alex Origa mengajak besannya menuju kamar tamu yang ada di lantai bawah, lalu ia menoleh kepada Marina.
"Rin, ajak Mario ke kamar Davian, ya."
"Kenapa harus kamar itu, Pa?"
"Karena kamar tamu yang lain belum dibersihkan. Lagi pula, kamar itu bersebelahan dengan kamarmu. Jadi, kalian lebih gampang kalau ingin melakukan sesuatu," jawab ayahnya sambil tertawa.
Sesuatu? Yang benar saja! desis Rin kesal dalam hati. Ayah macam apa yang mengajari anaknya melakukan sesuatu sebelum menikah?
Terkadang Rin tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya ini. Mungkin semakin bertambah usia maka pola pikirnya pun akan berubah kekanakan. Bukankah sering kali ada yang bilang kalau orang tua itu sifatnya kembali seperti anak-anak?
Rin menghela napas. Dengan berat hati ia membawa Mario ke lantai atas. Pria itu mengikutinya tanpa banyak bicara. Membuatnya sedikit curiga kalau saat ini dia sedang tersenyum lebar dan merencanakan sesuatu di dalam otak mesumnya.
"Ini kamarmu, jangan membuat kekacauan atau aku akan membunuhmu!" ancam Marina kasar, ia merasa tidak perlu bersikap baik pada tamunya yang satu ini.
Mario tersenyum menatap gadis itu, tidak gentar sedikit pun pada ancaman dari mulut manisnya. Sudah lama sekali ia tidak pernah melihat ada wanita yang bersikap acuh tak acuh, bahkan terkesan menolaknya. Ia berpikir untuk sedikit menggodanya, mungkin ini akan menyenangkan.
"Jangan tersenyum seperti itu, kau menjijikkan!" Marina mendengus sebal, ia harus segera pergi dari sini kalau tidak mau tersesat dalam pesona Don Juan satu ini.
"Mau ke mana? Aku ini tamu, bukan? Setidaknya temani tamumu ini sebentar." Mario duduk di tepian ranjang dan menepuk tempat di sebelahnya.
Marina bergidik, dia tidak ada waktu untuk meladeni permainan playboy ini, pikirannya sudah cukup penuh dengan masalah fashion shownya. Tapi kemudian sebuah ide melintas di benaknya.
Mungkin ini adalah kesempatan yang bagus untuk menyelesaikan masalahnya di Paris. Dia sudah kehabisan ide memikirkan ini semua. Dan jalan keluar dari masalahnya sekarang ada di depan mata.