Marina hampir mencapai pintu ketika kemudian ia berbalik dan tersenyum dengan gaya menggoda pada Mario. Samar-samar ia melihat jakun pria itu turun-naik menelan ludah, ia tertawa puas dalam hati.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Mario bingung, tadi gadis itu bersikap sangat cuek dan sekarang ia seolah sedang menggodanya.
"Aku hanya ingin bersikap baik pada tamuku," desahnya lirih yang dibuat-buat.
Sebenarnya Mario ingin tertawa melihat sikap Marina yang sama sekali tidak bisa menggoda, gadis itu terlalu kaku, bahkan sangat kaku. Sangat tidak cocok dengan kelakuannya saat ini, tapi ia memutuskan untuk diam dan mengikuti permainannya.
"Jadi, kau berubah pikiran, huh?" Mario mengangkat sebelah alis dan sialnya itu membuatnya semakin keren, tiba-tiba Marina merasa sudah menggali lubang kuburannya sendiri. Tapi, ia tidak ingin mundur secepat ini.
"Aku sudah mendukungmu di depan ayahmu tadi," Marina menggantung ucapannya dan duduk di sebelah Mario dengan anggun.
"Lalu?" Mario tidak mau kalah dengan gadis ini, ia semakin mengurangi jarak di antara mereka.
Marina bisa mencium aroma mint dan pafum mahal yang semakin membuatnya kesulitan bernapas. Bukan parfum yang menyengat, tapi harum menenangkan yang membuatnya nyaman. Baru pertama kali ia mencium parfum seperti ini.
Kenapa ada pria sewangi ini? Sial!
"Aku ingin menawarkan kerja sama denganmu.” Dengan susah payah Marina mengembalikan fokusnya dan berusaha bernapas tidak terlalu sering saat di dekat Mario. Dia harus fokus.
"Kerja sama?" Mario tidak menyangka gadis itu akan membicarakan masalah pekerjaan dengannya. Semula dia pikir Marina akan melemparkan lelucon konyol atau memaksanya untuk membatalkan pernikahan mereka.
"Jadilah modelku di fashion show musim panas di Paris nanti," pinta Marina tegas. Memutuskan untuk tidak mau berbasa-basi lebih lama lagi dengannya.
"Kalau aku tidak mau?" tantang Mario, ia semakin mendekatkan wajahnya pada Marina sehingga dengan jelas ia bisa melihat hidung mancung di tengah-tengah irish mata cokelat keemasan yang memesona dikelilingi oleh bulu mata yang panjang dan lentik miliknya.
Matanya beralih turun ke bibir tipis dan mungil yang Mario yakin berwarna merah alami tanpa pewarna apa pun. Tiba-tiba ia ingin menggigit bibir itu untuk memastikannya.
"Kau tidak punya alasan untuk menolak." Gadis itu makin berani mendekatkan wajahnya sehingga kini jarak mereka hanya beberapa senti saja, menahan debar jantungnya yang sudah bertalu-talu, berharap Mario tidak mendengarnya.
"Baiklah," kata Mario cepat, ia menjauhkan tubuhnya dari gadis beraroma lavender itu, kalau tidak, ia tidak akan sanggup menahan diri untuk tidak menciumnya.
Marina menghela napas lega, tapi hati kecilnya sedikit kecewa dengan sikap Mario yang mundur terlalu cepat. Namun ia segera menghilangkan perasaan itu jauh-jauh.
"Bagus, selamat malam, Mario Alexander." Ia tersenyum sopan lalu keluar dengan anggun.
Mario baru bisa bernapas lega ketika gadis itu sudah keluar dari kamar. Tadi itu sangat berbahaya, berdua dengan seorang wanita di dalam kamar sangat tidak disarankan kalau mau otaknya tetap berpikir waras.
Ia menghempaskan tubuhnya ke ranjang king size yang nyaman itu, matanya menerawang ke langit-langit kamar berwarna putih tersebut. Mario memegang jantungnya, kenapa ia berdebar begitu keras? Apakah ada yang salah dengan gadis itu?
Selama ini ia tidak pernah merasa begitu terancam sekaligus tertarik pada seorang wanita. Jantungnya selalu baik-baik saja meskipun ia berkencan dengan super model sekalipun, mungkin ia sakit jantung? Ya, ada baiknya ia menghubungi dokter pribadinya.
Matanya beralih pada dekorasi kamar yang didominasi warna-warna maskulin seperti hitam dan cokelat kayu tersebut. Tidak banyak barang yang berada di kamar super luas tersebut, hanya sebuah sofa berbentuk L di pojok kamar, beberapa lukisan yang ia tahu karya pelukis terkenal, lampu tidur yang cukup tinggi dan unik di kedua sisi tempat tidur, lalu meja kerja besar yang berjarak cukup jauh di sisi sebelah kanan tempat tidur.
Mario beranjak menuju meja tersebut dan melihat ada beberapa file yang tidak menarik perhatiannya, tangannya mengambil sebuah figura foto yang tidak terlalu besar. Foto Marina yang sedang tertawa lebar di depan Menara Eiffel, tanpa sadar ia ikut tersenyum melihatnya.
~oOo~
Sepertinya ia belum lama tertidur, tapi tenggorokannya terasa kering sekali. Mario beranjak menuju ke dapur, menuruni tangga pelan-pelan karena tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia mengambil gelas dan menuangkan air dari dalam lemari es yang habis dalam sekali teguk. Pria itu duduk sebentar di kursi tinggi yang ada di dapur dan mengernyit melihat jam yang menunjukkan pukul tiga dini hari.
Sebaiknya ia kembali tidur, tapi saat ia melihat ke lampu ruang tengah yang masih menyala, tanpa sengaja ia melihat Alexander Origa sedang berdiri membelakanginya, menatap foto keluarga yang cukup besar yang dipajang di sana.
Foto Alex Origa versi muda, seorang wanita cantik yang pasti adalah almarhumah istrinya, dan seorang gadis cilik berusia kira-kira delapan tahun, itu pasti Rin! Lalu ada foto seorang anak lelaki yang kira-kira berusia dua belas tahunan. Siapa dia? Apakah dia Davian yang disebut-sebut ayah Rin saat makan malam tadi? Kenapa saat sampai tadi ia sama sekali tidak memperhatikan foto itu?
Ia bermaksud ingin mendekati dan menyapa pria tua itu ketika terdengar sebuah isakan samar, hampir tidak terdengar. Mario terpaku. Ia melihat Alex Origa menangis dalam diam sambil memandangi foto keluarganya. Hatinya terenyuh.
Apa calon mertuanya itu sedang merindukan istrinya yang sudah tiada? Apakah ayahnya juga selalu melakukan hal yang sama? Ia menyesal selama ini tidak pernah memperhatikan ayahnya dengan lebih baik. Ayahnya pasti merasa sangat kesepian saat Mario tidak ada sampai begitu menginginkan pernikahan ini. Apa yang harus ia lakukan?
~oOo~
"Wah, segar sekali udaranya!" Rin merentangkan kedua tangannya dan menghirup napas panjang, lalu mengeluarkannya selama berulang-ulang.
"Ya, udara di sini memang belum tercemar polusi karena letaknya yang jauh dari jalan raya. Apalagi daerah ini cukup luas sehingga tidak akan mengganggu privasi walaupun banyak wisatawan yang datang," kata Rio menjelaskan.
"Kau pernah ke sini sebelumnya?" Rin menatapnya takjub.
Pria itu mengangguk, "Aku pernah melakukan pemotretan di sini sebelumnya, karena lingkungan pedesaan yang cocok untuk tema waktu itu."
Rin mengangguk-angguk setuju. Lalu tersenyum memandang padang rumput yang luas namun sangat terawat di depannya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan liburan seperti ini. Waktunya selalu habis terkuras oleh desain-desainnya dan para klien.
"Lalu, kapan fashion show-mu di Paris itu?" tanya Rio antusias. Dia segera berdeham dan mengubah raut wajahnya menjadi tak acuh setelah dirasa ekspresinya tadi terlalu berlebihan.
"Kau terlalu bersemangat untuk ukuran orang yang terpaksa," sindir Rin tajam, sementara Rio hanya mencibir pelan.
"Aku hanya ingin memastikan jadwalku, tahu!" elaknya. Apa kau pikir aku ini tidak punya banyak pekerjaan?
"Whatever!" Rin berkata cuek. Dalam hati dia membenarkan perkataan Mario dan merasa cukup beruntung karena pria itu bersedia menjadi modelnya meskipun dengan lamaran mendadak seperti tadi malam. "Fashion show musim panas tahun ini dimulai bulan depan dan akan berlangsung selama sepuluh hari."
Rio berpikir sejenak, "Kurasa aku bisa minta waktu free pada Erick, karena bulan depan kemungkinan aku sudah selesai syuting film layar lebar. Jadi, aku bisa minta libur dua minggu sebelum dirilis."
"Yah, kurasa itu lebih dari cukup," jawabnya datar.
Marina tidak mau berbelit-belit lagi. Masalah pekerjaan sudah selesai. Ia mengingatkan pada diri sendiri untuk menghubungi Grace dan memberitahukan hal ini. Tapi saat ini ia sedang berlibur, tidak ingin mengurusi masalah pekerjaan untuk sementara.