14. Antara Mimpi dan Kenyataan

1083 Words
Azura dan Gavin duduk berdampingan di tepi danau yang tenang. Telapak tangan mereka saling menggenggam. Keduanya terlarut dalam percakapan yang hangat, tertawa lepas, dan sesekali saling melempar pandang. Angin sepoi membawa aroma bunga-bunga musim semi yang baru mekar. Langit biru mulai berubah menjadi jingga keemasan saat matahari terbenam. Sungguh, semesta dengan senang hati menjadi saksi atas berlangsungnya kemesraan mereka berdua. Semua tampak begitu nyata, begitu hangat, hingga Azura merasa tak ingin momen ini berakhir begitu saja. "Ini adalah hari yang sempurna," ucap Azura. Gavin tersenyum. "Bersamamu, semua hari selalu sempurna." Azura merasa seolah-olah berada di puncak kebahagiaan. Semua masalah seakan menghilang, dan yang tersisa hanyalah kebahagiaan murni bersama Gavin. Saat kedua kaki Azura beranjak berdiri, kedua tangan Gavin terasa menyelinap di bagian pinggang. Jemarinya dingin, tapi rengkuhan tangannya terasa hangat. Terlebih lagi … bibirnya. Azura bisa merasakan dengan jelas saat Gavin mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala. "You complete me," bisik Gavin di telinga Azura sebelah kiri. Azura menatapnya dalam. Rasanya tak bosan melihat mata abu-abu yang tatapannya selalu tajam. Namun, ketajaman mata itu bukan ketajaman yang menyayat. Sorot mata itu lebih terasa seperti sedang menawarkan ketenangan. "Makasih udah ada di hidupku," lirih Azura. Seperti biasa, Gavin lantas tersenyum sedikit. Hanya sedikit. "Peluk?" ucap Gavin serata melebarkan kedua lengan. Tanpa berpikir panjang, Azura buru-buru menenggelamkan kepala pada 'rumah' terbaiknya. Tak hanya nyaman, dekapan ini sungguh berarti segalanya. Seolah-olah, apapun yang terjadi, Azura akan baik-baik saja selama mereka masih bisa saling memberikan peluk. "Apa kamu pernah tahu seperti apa keindahan surga?" tanya Gavin setengah berbisik. Dahi Azura mengernyit. "Memangnya seperti apa?" Bibir Gavin tertarik ke samping. "Mau aku tunjukkan bagaimana rasanya?" Ekspresi wajah Gavin membuat Azura paham kalau apa yang Gavin bicarakan adalah tentang sebuah aktivitas dua manusia dewasa. Sambil tersenyum, Azura lantas menggeleng. Kedua tangannya juga berusaha mendorong tubuh Gavin agar sedikit menjauh. "C'mon." Azura menggeleng untuk ke sekian kalinya. "Nggak mau." "Ayolah. Aku bisa menjamin kalau rasanya akan sangat indah." "Aku nggak mau." "Harus mau." Tanpa melonggarkan rengkuhan tangan, Gavin lantas mengangkat tubuh Azura. Wanita itu sampai memekik terkejut, sekaligus tertawa. Ada sedikit rasa geli, tapi lebih banyak luapan bahagia. "Turunkan aku!" pekik Azura seraya masih tertawa. "Kamu mau apa?" "Melakukan hal yang kamu pasti akan suka." Azura tergelak seraya memukul pelan pundak dan punggung Gavin. "Ini namanya pemaksaan." "Biarlah. Biar kamu tahu kalau kamu nggak akan pernah bisa lari dari aku." Sebuah tenda di dekat pepohonan menjadi tujuan Gavin untuk merebehkan tubuh Azura. Kedua telapak tangannya sempat dengan pelan memindahkan kepala Azura pada gulungan kain yang dijadikan bantal. Setelah itu, Gavin menutup rapat tenda itu dari dalam. "You're mine." Gavin berucap seraya memberikan kecupan di seputar telinga. Tenda yang sempit berangsur menjadi semakin panas karena kehadiran mereka berdua. Setiap gerak yang mereka ciptakan selalu bisa membuat napas tersengal. Setelah bertukar peluh selama sekian menit, sampailah keduanya pada kepuasan yang selalu akan mereka rindukan. "Gavin," lirih Azura pelan. Seperti gelembung sabun yang pecah, semua sensasi itu tiba-tiba sirna. Suasana berubah seketika. Dunia di sekitar Azura mulai memudar dan perlahan semuanya lantas menghilang. Azura seperti terlonjak, lalu terbangun dengan jantung berdebar. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar. Saat silau lampu menyambutnya, Azura pun menyadari bahwa semua ini hanyalah mimpi. "Dammit," lirih Azura seraya mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Mimpi ini sangat amat gila. Bagaimana bisa Azura memimpikan sederet hal intim yang dirinya sendiri belum pernah mengalami? Saat mengingatnya, ada geliat dalam diri yang membuat Azura merasa gelisah. Ini bukan kegelisahan tentang sesuatu yang buruk. Kegelisahan ini lebih mirip seperti keinginan yang teramat besar untuk segera menemui Gavin. Jika memungkinkan, Azura juga ingin sekali memeluknya. "Ada apa denganku," lirih Azura. Azura berani bersumpah kalau dia tidaklah terlalu memikirkan Gavin. Otaknya masih disibukkan dengan kasus tentang orang tuanya. Namun, mengapa jiwanya seperti menuntut kehadiran dan kasih sayang dari Gavin? "s**t!" umpat Azura. Ada perasaan aneh yang memenuhi hampir seluruh ruang di hati Azura. Bagaimana bisa dia sejatuh ini kepada lelaki asing yang belum Azura kenal dengan baik? Rasanya seolah-olah Gavin sudah menjadi bagian dari dunianya. Azura tahu kalau cinta memang gila. Namun, haruskah segila ini? Azura pun mengerti kalau perasaan seseorang terkadang ceroboh. Namun, apakah bisa seceroboh ini? "Please, jangan," ucap Azura pada dirinya sendiri. "Jangan secepat ini." Saat mengingatnya lagi, Azura sempat berpikir adalah apakah mimpi ini akan menjadi kenyataan? Sebab, jujur saja mimpi itu sangat indah. Rasanya tak rela saat mimpi indah itu tiba-tiba terputus begitu saja. But, wait. Jangan salah paham dulu. Rasa bahagia atas mimpinya dengan Gavin tidak lantas membuat Azura berharap. Sungguh. Azura tidak megaminkan kalau itu semua menjadi kenyataan. Azura hanya merasa berbunga dengan mimpi yang tadi. Tidak lebih. Maksudnya, Azura cukup sadar diri kalau dirinya dan Gavin sepertinya mustahil terikat dalam sesuatu bernama cinta. "Lebih baik lupakan semua mimpi itu!" perintah Azura kepada otak dan hati. Suara ponsel di atas nakas tiba-tiba berbunyi. Deringnya menjadi pengingat bahwa saat ini Azura telah kembali ke dunia nyata. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Azura buru-buru mengumpulkan pikirannya. "Ingat, Azura. Ini hanya mimpi. Hanya mimpi," tegas Azura kepada dirinya sendiri. Kedua mata Azura kemudian berpindah ke arah layar ponsel yang menyala. Azura bisa membaca jelas satu deret nama yang muncul. Laura. "Halo, Laura," ucap Azura dengan suara parau. "Halo, maaf meneleponmu sepagi ini." Azura mengangguk, meski tahu kalau Laura tidak akan melihatnya. "Azura, aku punya kabar baik," suara Laura terdengar antusias di ujung telepon. "Perkembangan kasus ini sangat positif." Laura mulai menjabarkan laporan tentang perkembangan kasusnya dengan Riki beserta keluarganya. Terkumpulnya bukti membuat Laura semakin yakin kalau kasus ini akan berhasil dia menangkan. Terlebih lagi, saat Laura sudah menemukan saksi ke tiga. "Kami sudah berhasil membuat salah satu orang suruhan Riki bicara. Dia juga orang yang terlibat dalam perencanaan skenario kecelakaan palsu orang tuamu." "Ya Tuhan, terima kasih," lirih Azura. "Makasih juga, Laura. Makasih banyak." "Jangan berterima kasih dulu. Masih ada beberapa hal yang harus kita lakukan, tapi aku yakin kita berada di jalur yang benar. Kita akan segera mendapatkan keadilan yang layak untukmu dan orang tuamu." "Aku benar-benar berhutang padamu, Laura." "No. Ini memang tugasku, Azura. Aku bekerja secara profesional, dan kamu juga membayarku. It's fair enough. Kita akan terus berjuang sampai akhir." "Ok, lalu apa yang harus aku lakukan setelah ini?" tanya Azura. "Tetaplah berada di sana, dan tolong bersabar untuk tidak keluar dari tempat itu. Aku mendengar informasi tentang Riki yang sedang terus mencarimu." "Ok, baik." "Kami hampir menyelesaikan semua dokumen yang diperlukan. Jadi, bersiaplah karena kasus ini akan segera dibawa ke pengadilan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD