Chapter 2

980 Words
-----------------------------------   ALYA KIRANA DJATI (POV) : -----------------------------------   Rasa. Kita, sebagai makhluk Allah diberkahi satu hal menakjubkan bernama indera perasa. Rasa itu, saling terkait. Saat sebuah bagian dalam tubuh kita merasakan luka, maka tubuh lain akan merasakan hal yang sama, lantas bereaksi Ketika jari kakimu tersandung meja, tangan seketika akan mengusap tempat yang sakit, mulut mengaduh seraya beristighfar, atau justru merapalkan segala u*****n. Otak dalam sepersekian detik, memerintahkan kamu untuk menjauh dari sumber masalah. Seperti beberapa saat lalu, seorang ibu paruh baya berjilbab instan hitam, tangan kiri menenteng tas bersimbol LV, datang tergopoh-gopoh memasuki ruang IGD.  Langkahnya cepat. Nafasnya terengah-engah. Kerutan di wajahnya pun makin jelas menampakkan kekhawatiran dan raut terluka. Berjalan dari ranjang satu ke yang lain. Dia sedang mencari bagian dirinya yang terluka. Keluarganya.  Tak kunjung ditemukan, ibu itu mendatangi nurse station, tempat kami duduk.  "Suster, ada pasien namanya Dimas Airlangga, gak? Yang tadi kecelakaan. Katanya dibawa kesini, saya mamanya, Suster," tanya ibu itu dengan penuh kecemasan dan mata yang sudah berkaca. "Owhh ... yang tadi kecelakaan, Bu? Sedang dioperasi di OK IGD. Mari saya antarkan. Sekalian Ibu konfirmasi datanya sama kami ya? Karena pasien tadi ga bawa apa-apa, Bu. Cuma Pak Polisi yang ngurusin.”  Sambil membawa map rekam medis, mba Lusi mengantarkan ibu itu ke ruang tunggu operasi, tepat di belakang ruang IGD ini. Seorang pria paruh baya, berbaju kemeja putih menyusul dibelakangnya. Bapak itu memakai tongkat untuk memperlancar langkahnya. Meskipun begitu, beliau masih tetap terlihat tegap. Badannya besar tapi tidak terlalu gemuk. Gagah seperti seorang priyayi dengan rahangnya yang tegas.  Tak terlihat gurat khawatir, justru ekspresi tenang dan dingin yang beliau tampakkan.  Kami saling menundukkan kepala saat beliau menyapa dengan mengangguk. "Mas Anton, gitu banget liatinnya? Kayak liat setan. Jangan bengong!” “Bentar-bentar deh, Dok.” “Itu hasil yang cek darah udah ada belum? Telepon gih!"  Seperti setengah percaya, Mas Anton mendekat dan menggeleng kepadaku. "Dok Dok, kamu tau gak? Kayaknya tadi yang lewat.. kalo gak salah ya.. itu Pak Airlangga yang pernah jadi direktur rumah sakit kita ini lho. Dulu. Tapi sekarang udah pensiun.” “Oh ya?” “Iya. Sekarang kan yang jadi direktur kita itu, adiknya beliau. Aku juga udah lupa-lupa inget. Soalnya dulu aku masuk sini, Pak Pramono baru aja dilantik. Ini rumah sakit kan juga sahamnya muter-muter aja di keluarga beliau, Dok." "Beneran? Gak salah liat orang kan? Trus yang lagi di op tadi ini, jadi ...?"  Tiba-tiba jantungku berdebar. Otakku berhenti bekerja.  Keadaan berbalik. Aku yang sekarang malah terbengong, tanganku dingin, keringat bermunculan padahal AC ruangan ini sudah di suhu terendah. Bukan perasaan takjub dan bahagia yang membuat aku mengalami serangan panik. Aku tidak pernah merasa bangga berhadapan dengan pasien seperti ini. Tapi justru perasaan takut yang muncul di benakku.  Benar-benar takut.  Takut dipecat kalau anaknya mati atau cacat.  Takut gak sembuh.  Takut disidang karena kurang gerak cepat tadi.  Aku hanya bisa memohon dalam doa, agar pasien ini sembuh. Tidak terjadi kesulitan selama operasi. Yang apabila terjadi sesuatu, maka akan berbuntut panjang. Dua dokter operator, para perawat asisten, dokter anestesi, bahkan kami yang di garda pertama pasti akan ikut tersangkut. Ada sebuah aturan yang tidak memperbolehkan seorang dokter memilih-milih pasien.  Tapi, sudah terpatri di alam bawah sadar kami bahwa lebih baik menangani dengan pasien umum yang kami tidak kenal sama sekali sebelumnya, daripada dihadapkan dengan pasien dari keluarga staf rumah sakit. Apalagi ini yang punya rumah sakit. 'Congrats Kirana, he's very very special VVIP. Duh, mati gueee!!' -----------------------------------  "Alhamdulillah, beres Mba. Telepon bangsal, kita siap naikin dia! Ah iya, abis ini aku ke kamar jaga bentar ya? Nanti kalau ada pasien, ketok aja pintu."  Aku membuang handscoon dan membuka masker, usai memasang kateter urin pada pasien terakhir kami. Kemudian meminta ijin untuk merebahkan badan sejenak.  Baru beberapa langkah, mba Lusi memanggil sambil memegang gagang telepon yang baru saja diangkatnya saat berdering.  "Dok, kayaknya belum bisa deh istirahatnya. Nih, kamu dipanggil ke ruang dokter di OK tuh." Mba Lusi dan Mas Anton hanya berpandangan dan mengangkat kedua bahu tidak tahu, saat aku menanyakan ada perlu apa aku dibutuhkan di sana.  Kami bertiga yang akhirnya sama-sama tahu bahwa kami masih memiliki pasien spesial di OK, terus berdzikir agar Allah melindunginya. OK, Operatie Kamer dalam bahasa Belanda, berarti kamar operasi. OK IGD ini terdiri dari beberapa ruang lagi, yaitu dua kamar operasi yang bisa dimanfaatkan bersamaan, satu ruang transit pra op, satu ruang post op untuk menunggu pasien sadar, dan satu ruang dokter. Sedangkan untuk operasi terjadwal dan tidak darurat, semua dilakukan di Instalasi Bedah Sentral di lantai tiga gedung ini.  Di ruang dokter yang aku masuki sekarang, sudah lengkap di sana semua fasilitas seperti kulkas, mesin pemanas air, televisi, komputer sekaligus wifi, juga set sofa warna coklat s**u dan beberapa meja kursi staf yang berjajar rapi. Semua bagian OK didominasi oleh cat warna hijau. Bahkan jubah dan scrub jaga Departemen Bedah juga berwarna senada.  Hijau memang warna menyejukkan. Warna daun. Ketika darah berwarna merah, dan membuat yang melihatnya terlalu lama menjadi silau saat mengalihkan pandangan, hanya hijau dan biru tua yang mampu menetralkannya. Dan kali ini, aku melihat pemandangan kontras itu. Semua yang duduk, masih mengenakan baju scrub hijau, kecuali kedua orang tua pasien.  Kedatanganku sepertinya telah memotong obrolan sang ayah dengan kedua dokter operator, yang tampak sudah saling akrab. Sang ibu duduk di samping suaminya, sambil terus mengusap mata sembabnya.  Aku tidak melihat Wijaya di sini. Sepertinya, dia sedang menunggu pasien sadar. That’s his job. Pandai menidurkan pasien, maka harus pandai pula membangunkannya lagi.  Aku sedikit merundukkan tubuh, menghadapi para senior ini. Siap menerima segala resiko terburuk. "Malem Dokter Budi, Dokter Ardi, Pak, Bu, saya Dokter Kirana, dokter IGD yang jaga malam, hari ini. Tadi saya dipanggil kesini, maaf ada per—"  Belum selesai aku memperkenalkan diri, ibu pasien langsung menghambur ke arahku, memelukku dan menumpahkan air matanya. "Makasih Nak Kirana, kalo kamu gak cepet-cepet ngurus operasi Dimas tadi, Ibu gak tahu akan seperti apa keadaan dia sekarang." Aku tak bisa berkata-kata. Hanya bisa mengusap punggung beliau sambil menenangkan isakannya. Menunduk sopan sambil memeluk ibu ini ketika tatapanku bertemu langsung dengan suaminya dan para dokter. "Sama-sama, Bu." -----------------------------------   -----------------------------------   Handscoon    : Sarung tangan medis.  Kateter urin   : Selang yang dimasukkan pada saluran kencing pada pasien sulit buang air kecil. Pra op             : Sebelum operasi. Post op           : Setelah operasi. Operator        : Pemimpin jalannya operasi. Dokter yang bertanggung jawab.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD