Chapter 3

911 Words
Alya Kirana Djati, sudah tiga tahun ini mengabdikan diri di Rumah Sakit Anka Medika, sebagai dokter jaga IGD. Kirana--begitu nama panggilannya--sangat menyukai profesinya. Bertemu dan membantu sebanyak-banyaknya orang adalah keinginan besarnya. Dengan kesibukan ini, setidaknya ia bisa mengurangi waktu melamun. Ia benci melamun. Sangat benci. Gadis berambut pendek sebahu, mempunyai tinggi seratus enam lima sentimeter. Warna kulit putih langsat dan penyuka warna merah muda. Hal yang umum bagi seorang perempuan. Kirana memang perempuan kalem keturunan Jawa, seorang putri Solo. Tumbuh dari keluarga yang berkecukupan, tidak membuatnya sombong atau berlebihan. Hanya terkadang, ia bingung menggunakan uangnya.  Hidup haruslah seimbang, salah satu motto sahabatnya. Seimbang akhirat dan dunia. Di saat Kirana hanya terpikirkan sedekah, Lara terus mengomporinya membeli barang-barang branded, seperti dirinya.  Ibu Kirana adalah seorang dokter yang berakhir melepas karir dan memilih berbisnis sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Ayahnya baru saja pensiun dari jabatannya, sebagai Sales Director salah satu perusahaan elektronik multinasional, Takeda Electronics. Turun dari Toyota CHR hitamnya, dengan tunik lengan sesiku berwarna salem, rok panjang span tujuh per delapan warna navy, ia berjalan dengan Fendi brown snake skin heels-nya, ke arah lobi rumah sakit. Di sana, Kirana janji untuk bertemu salah satu sahabat terdekatnya sejak kuliah. Seorang dokter spesialis Rehabilitasi Medik, bernama Lara. Kirana mempercepat langkahnya. "Ki, lama banget sih lo?” “Sori-sori, macet, Ra.” "Ditungguin juga, katanya jam delapan. Gue keburu ke poli." “Yang ini beneran macet, bukan cuma alesan. Mana?" Sahutnya sambil menengadahkan tangan. "Nih. Gue langsung ke poli yaa. Makasih udah mau bantu rekapin, lo emang kesayangan gue! Imbalannya, besok gue kenalin sama temen gue lagii ...” “Ah lo, gak usah!” “Dokter kok, Ki. Mudah-mudahan kali ini kalian jodoh.” “Capek gue.” “Gak boleh nolak. Bye ..." Lara pamit dengan mengedipkan salah satu mata dan berjalan ke arah poli dengan buru-buru.  "Hei! Tiati lo bumil! Gak usah pake buru-buru kali."  Kirana menghela nafas ketika melihat kecerobohan sahabatnya itu. Sahabat yang selalu rajin menjodohkannya dengan teman kencan dari segala profesi dan segala tipe. Sahabat yang akhir-akhir ini mengalami mual muntah, sampai-sampai dia tidak tega membiarkannya mengerjakan tugas penelitiannya sendiri.  Kirana, Lara dan Dokter Ardi memang sedang terlibat dalam sebuah penelitian di bidang Orthopedi dan Rehabilitasi medik.  Berbeda dengannya, Lara sudah menikah sejak satu tahun yang lalu dengan Bram, salah satu staf petinggi perusahaan provider seluler terbesar di Indonesia, yang memiliki kantor pusat di daerah Jakarta Selatan. Setelah menerima setumpuk lembaran laporan kasus pasien dari Lara, Kirana meneruskan langkah ke IGD. *** -----------------------------------   ALYA KIRANA DJATI (POV): -----------------------------------   "Dokter Kirana, temani saya visite pasien semalam ya? Yang anaknya Pak Airlangga. Dokter kapan dapat shift jaga ruangan? Karena kemungkinan saya mau titip untuk minggu depan. Saya ada seminar di Bali seminggu." Pergantian shift masih tiga puluh menit lagi, membuatku melenggang santai ke ruang terdepan rumah sakit ini.  Di tengah perjalanan, handphoneku bergetar. Nama Dokter Ardi terpampang. Bagiku, ia adalah guru sekaligus seniorku di sini. Aku berbalik menuju lift lantai satu, tempatnya menunggu. Demi menuruti permintaan beliau, mengikutinya visite. Sebuah kejadian langka, seorang Dr. dr. Ardianto Kusuma, Sp.OT(K) main titip-titip begini. Biasanya apabila beliau menghadiri seminar, masih ada banyak juniornya di Orthopedi yang siap dimintai tolong. "Dok, maaf. Bukannya biasanya ada Dokter Syahrul, Dok? Yang menggantikan dokter saat Dokter keluar kota? Saya jaga ruangannya masih bulan depan. Bulan ini yang jaga Dokter Luna."  Di dalam lift yang menuju lantai tiga, tempat kamar-kamar VVIP berapa, Dokter Ardi hanya tersenyum simpul menanggapi pertanyaanku. Pembawaannya sangat santai walaupun kini usianya sudah memasuki lima puluh tahun.  "Iya Syahrul kalo ada cito operasi, kalau ini saya titip buat monitoring aja. Kalau ada masalah, tetap nanti kamu konsul Syahrul atau bisa langsung ke saya ya? VVIP spesial soalnya, Ki. Anak sahabat saya. Udah kayak anak saya sendiri. Saya juga gak enak ninggalin dia minggu depan." "Owh ... baik Dok."  Lift berdenting.  Menandakan kami sampai di lantai ini. Koridor lantai yang sepi, ditengah-tengahnya terdapat nurse station, juga satu set sofa besar berwarna coklat tua tertata apik di sampingnya.  Kami memasuki ruangan di ujung koridor. Kamar 3A. Kamar luas dengan ranjang pasien, ranjang penunggu pasien berukuran cukup besar ada disisi seberangnya, sofa dari kulit dan segala fasilitas lengkapnya. Ruangan ini justru lebih cocok disebut kamar hotel daripada kamar pasien. Di ranjang pasien, terbaring laki-laki yang semalam tampak berantakan, kini sudah terlihat bersih dengan baju pasiennya dan mengembalikan kadar ketampanan aslinya. Sorot matanya tajam, dengan rahang yang tegas dan bibirnya yang masih terlihat pucat, melihat kearah kami dengan wajah yang datar dan tanpa ekspresi.  Auranya mengerikan seperti sedang menyimpan marah dan siap menyantapku hidup-hidup saat tatapan mata kami bertemu.  "Assalamualaikum, pagi. Gimana Dimas, masih pusing? Atau mual? Masih terasanya sakit sekali atau berkurang? Sudah bisa kentut belum, Bu Airlangga?" "Udah enakan Om, tapi masih pusing aja." Dengan enggan, Dimas memberi jawaban singkat. Ibu Airlangga terlihat sangat hangat ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Tapi tidak sebanding dengan ekspresinya yang tersenyum, ada kegetiran seperti sedang ditindih beban berat. Matanya juga sedikit merah. "Udah kentut kok tadi pagi, Dok. Tadi udah mulai saya suapin dikit-dikit. Makasih banyak Dokter sudah operasi Dimas. Nak Kirana juga terimakasih semalem sudah bantu Ibu. Dimas ini memang semalem agak keterlaluan keluar ngebut-ngebutan kayak anak muda aja." "Mamaa!"  Dimas yang tadi diam akhirnya bersuara agar mamanya tidak melanjutkan kata-katanya. Kami pamit setelah melakukan pemeriksaan dan terakhir aku memeluk hangat Bu Airlangga demi menguatkan hatinya. Aku tahu memiliki anak dengan temperamen seperti Dimas, hanya akan menguras energi. Untung beliau tabah.  Mungkin, Dimas sedang lupa, bahwa surga ada di telapak kaki ibunya.  Beliau bangun dari kursi dan akan mengantarkan kami ke pintu, sebelum tiba-tiba tangan kiriku dicekal dengan tangan kanannya yang terpasang infus. Bola mataku membulat, hatiku panas seperti ingin marah dengan kata-kata yang kemudian dia ucapkan dengan kasarnya.  "Gue inget! Lo dokter yang nolong gue kan pertama kali? Ngapain lo pake acara nolong gue kemarin?! Harusnya lo biarin gue mati." “What?!” -----------------------------------   -----------------------------------   Visite : Kunjungan dokter kepada pasien untuk memonitor perkembangan penyakitnya.  *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD