Chapter 4

811 Words
-----------------------------------   ALYA KIRANA DJATI (POV): -----------------------------------   "Maaf maksud Anda apa, Pak Dimas?” Aku berusaha menarik tanganku. “Dimas, lepas! Kamu gak sopan sama Dokter Kirana!” Dia masih mencekal kuat, tidak mengindahkan teguran mamanya. Aku memukul bahkan mencubit keras-keras lengannya. Dan akhirnya lepas. “Oke. Kalo soal menolong itu sudah kewajiban pekerjaan kami sebagai dokter. Dan, masalah Anda mau mati atau gak, kami tidak mau tau dan itu tanggung jawab Anda sama Tuhan.” “Gak usah sok jadi guru.”  Rasa-rasanya aku ingin menyiramkan segelas air putih penuh di atas nakas ke mukanya, menjambak rambut dan menjahit mulut pedasnya itu. “Maafin Dimas, Nak Kirana.” Aku mengangguk tersenyum pada sang mama.  “Owh, oke! Kalau Anda menyesal diselamatkan hidupnya lagi, silakan lho kalau mau bunuh diri. Jendela itu bisa dibuka kok. Saya rasa dari lantai tiga cukup bisa berhasil. Dan itu, terserah Anda! Tapi lagi-lagi, kami akan melakukan pertolongan sesuai prosedur yang seharusnya.” “Hahahaa. Cerdas juga lo. Makasih idenya. Tapi gue gak akan mati, cuma karena lo perintah. Apa hak lo?” “Dimas!!” “Bersyukur aja. Banyak orang diluar sana mati-matian pingin hidup, Anda yang udah enak hidupnya begini,  malah pingin mati!"  Aku menoleh ke mamanya, sambil berjalan ke arah pintu. "Maaf Bu kalau saya agak kasar, tapi Pak Dimas memang agak keterlaluan. Ibu yang sabar ya?" Aku melenggang keluar, mengikuti Dokter Ardi yang sudah lebih dulu keluar melanjutkan visite dengan seorang perawat, beberapa menit yang lalu. Aku sempat menghela nafas panjang di luar.  Dari sini, seperti terdengar sayup-sayup suara orang bertengkar dari ruangan yang baru saja aku tinggalkan. -----------------------------------   "Makan Ki yang banyak, dari dulu badan lo segitu-gitu aja sih. Kan jadi bikin gue iri. Mana bentar lagi perut gue makin mlendung." Aku terbahak mendengar kalimatnya.  Lara yang seperti ini, selalu membuat suasana hatiku menghangat setelah moodku pagi ini terjun bebas karena si pasien spesial tadi. Aku mengangguk.  Memang benar, bakso panas ini mampu mengimbangi panasnya otakku yang hampir mendidih. Seminggu? Dokter Ardi menitipkannya satu minggu padaku? Rasa-rasanya, jika dia tidak se-spesial ini, dan aku tidak sedekat ini dengan dokter Ardi, seketika akan aku tolak. Beliau sudah seperti ayahku sendiri.  ‘Ya Allah, kuatkan hati hamba-Mu. Ujiannya jangan berat-berat, please.’ "Eh Ki, temen yang mau gue kenalin sama lo, namanya Rama. Ramadi. Lo tahu gak staf dokter baru di Anak? Tuh adiknya Mala.”  Mala mengangguk sambil sibuk memotong-motong butiran bakso nuklir berisi telur puyuh, pesanannya. “Kenapa sih Mal kalian sama gitu ngambil PPDS-nya? Ga ngambil bedah aja itu si Rama?"  "Ya kali suka-suka kita. Gue emang passion-nya sama anak-anak. Kalo dia gue gak pernah nanya.” Mala meletakkan sendoknya.  “Nih ya Ki, gue restuin aja kok dia sama lo. Daripada dia jomblo mulu ga kelar-kelar. Tapi rese dia Ki, lo mau? Secara, lo kayaknya kriterianya banyak ya?"  "Hahaha ... gue gak matok kriteria apa-apa." "Gue sih sadar, adek gue ga ganteng-ganteng amat. Tapi dia baik. Kalo lo cari yang ganteng, itu tu staf BTKV baru noh, siapa namanya? Ronaldo? Rivaldo? Atau siapa itu?" "Renaldi, Neng. Sembarangan lo ngubah-ngubah nama orang. Panggilannya Aldi. Dokter Aldi. Ganteng sih Ki, tapi gue gak mau lo ma dia! Player gue denger kabarnya sih. Perawat anggrek tuh yang bangsal bedah aja, ga ada yang kelewat dia godain." Aku makin terbahak tak henti-hentinya melihat kelakuan mereka. Sambil menikmati bakso super pedas di kantin, kami punya kebiasaan mengobrol update terkini kehidupan di Rumah Sakit Anka Medika ini. Alias bergosip ria.  Seperti cacing kepanasan, sejak tiga tahun yang lalu, aku tak terlihat berpacaran atau menggandeng laki-laki, tiap hari mereka menyodorkan calon-calon baru kepadaku. "Gue angkat tangan deh. Udah tobat gak pacaran lagi. Beneran capek. Trauma gue sama cowok. Gak ada yang gak m***m. Udah gak abege juga gue, ibu-ibu sekaliannnn. Monmaap nyak." Aku pasrah, tapi bukan berarti menyerah mencari jodohku.  Setiap mereka berdua mengenalkan nama baru, aku mencoba untuk menjalaninya dulu. Tapi lagi-lagi, ada keraguan dalam hatiku. Sebelum mereka melangkah lebih jauh, biasanya aku menghindar hingga tak terdengar kabarnya lagi.  Begitulah hari-hariku. Usia dua puluh delapan tahun yang menjadi momok bagi semua perempuan. Karena kepala tiga bagi kami, adalah due date untuk segera menikah. Bahkan ibu bilang, seharusnya aku sudah menikah di usia dua puluh lima tahun.  Mala merengut protes. Tapi kemudian seperti teringat sesuatu. Dia merogoh Graceful MM LV bag baru di sampingnya dan membagikan kami beberapa selebaran. "Gak juga kali, Ki. Suami gue sayang kok sama gue. Suami lo juga kan, Ra?” “Apa nih?” "Emberrr. Amit-amit jabang bayi lo Ki kalo ngomong. Gak semua cowok kayak gitu. Mas Bram itu ya, walaupun cuek tapi gue tahu dia setia kok." Lara mengetuk-etuk meja buru-buru hingga sendok di mangkok kami yang sudah kosongpun ikut berdenting. “Oiya. By the way anyway busway ya, itu Departemen Anak lagi mau nyari dana buat proyek panti asuhan. Sekalian buat pendidikan usia dini anak-anak d*********s. Kalian bantuin gue sebarin dong? Boleh banget juga lho ya, sumbangannya. Dana dan tenaga." "Oke." "Eh, atau lo mau sama yang bukan dokter? Temen Mas Bram lagi dirawat tuh di sini. Cakep sih, kaya pula. Bos perusahaan advertising. Anaknya juga gampang berbaur. Tapi dia agak keras kepala, Ki. Mendominasi gitu orangnya." "Gak lah. Makasih Dokter Lara Kania Bramantya. Ntar yang ada, gue kayak burung dalam sangkar lagi.” Lara berdecak. “Udah yeee gue duluan. Baksonya gue yang traktir karena kalian udah baaaaiikk banget bantuin gue cari jodoh. Byeee." -----------------------------------  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD