-----------------------------------
ALYA KIRANA DJATI (POV):
-----------------------------------
Hari senin konon adalah hari yang paling dihindari oleh banyak orang. Kali ini aku merasakannya. Membuat langkah kakiku terasa begitu berat untuk keluar dari apartemen.
Sejak kuliah, bekerja dan menetap di Jakarta, aku tidak pernah pindah dari apartemen ini. Orang tuaku membelikannya beberapa tahun yang lalu, sejak masuk kuliah kedokteran UI.
Apartemenku memang sangat jauh dari kampus, tapi lebih dekat dengan keluarga ibu yang ada di Jakarta, Tante Ambar dan suaminya.
Letaknya di Mampang Prapatan, memakan waktu yang cukup lumayan untuk sampai ke rumah sakit. Apalagi saat kondisi macet yang tak terelakkan begini.
Hari ini yang seharusnya menjadi jadwal off-ku, mengharuskanku turun ke parkiran dan menyalakan mobil. Pasti macet.
"Assalamualaikum. Pagi."
Aku masuk bersama Mba Dewi, perawat senior di lantai VVIP ini.
Kamarnya sunyi, hanya terdengar suara jarum detik jam. Bu Airlangga yang biasa menungguinya juga tidak terlihat.
Yang kudapati hanya seorang laki-laki menyebalkan, sedang menyandarkan diri di kepala ranjang pasien dan memegang iPad nya. Memakai baju pasien berwarna putih motif dengan lengan panjangnya yang dia lipat sampai siku.
Wajahnya berubah merah, dingin dan menatap tajam, saat menyambut kami yang masuk.
"Gue gak ada keluhan, gak usah lo periksa. Kapan gue bisa pulang?"
Aku dengan senyum yang sangat kupaksakan demi menjaga hubungan baik pasien-dokter, mendekatinya. Hatiku panas, ingin memaki tapi stok sabarku ternyata masih banyak. Sabar banget ya aku?
"Pak Dimas bisa tidur terlentang dulu? Saya periksa keadaan Bapak walaupun tidak ada keluhan. Suster Dewi tolong dibantu."
"JANGAN SENTUH GUE!"
“Gak sentuh. Cuma mau periksa.”
Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Mba Dewi yang berwajah agak galak dan tegas membelaku, membantu Dimas yang sudah takluk untuk telentang.
"Bukan bagian saya sebenernya memeriksa Bapak. Di VVIP ini pun ada dokter ruangan yang stand by dua puluh empat jam. Saya di sini karena menjalankan amanah seseorang untuk monitor Bapak. Bila Bapak tidak berkenan, dengan senang hati sekali, Bapak bisa telepon beliau dan memintanya untuk menunjuk dokter lain.”
Aku mengalungkan stetoskop dan mengecek kaki kanannya. Kalimatku yang tanpa henti, tidak sekalipun ia sela.
“Sejauh ini kondisi Bapak stabil. Rontgen terakhir juga banyak perkembangan. Untuk kaki nanti beliau yang akan konsul rehabilitasi medik untuk terapi jalannya."
Dimas tetap dalam posisinya membuang muka melihat jendela. Membelakangi aku yang di sebelah kanannya. Saat aku ijin undur diri dan berjalan beberapa langkah, dia memanggilku.
Aku menoleh dan mendapatinya mengambil selembar kertas dari laci nakas disampingnya.
"Ini ambil! Lo mau imbalan kan karena udah selamatin anak yang punya rumah sakit? Pakai jampi-jampi apa lo, sampai mama gue lebih ngebela lo daripada anaknya?”
“Apa?”
“Cih! Gak usah pura-pura! Perempuan dimanapun sama aja. Baik-baikin orang, tapi ujung-ujungnya duit!! Kalo bosen tinggal ganti cari mangsa lain.”
“Maksud Bapak apa?”
“Butuh berapa lo? Gue punya banyak, berapapun yang lo minta. Asal lo gak usah pengaruhin mama buat ngejodoh-jodohin lo sama gue."
“Bapak keterlaluan!”
Hatiku mencelos, tak menyangka bagaimana laki-laki ini bisa menilaiku seperti itu?
Dengan hati berdebar dan tenggorokanku yang hampir tercekat karena menahan tangis, mataku mungkin sudah berkaca-kaca dan hampir pecah, aku mendekat.
Aku membaca cek yang dia berikan.
Dua ratus juta.
Aku memegangnya dengan tangan gemetar sambil berpandangan dengan Mba Dewi yang sedari tadi tidak bersuara. Mungkin dia juga sama terkejutnya.
Aku menyerahkannya kembali. "Sudah aturan bagi kami untuk tidak menerima hadiah atau pemberian dari pasien."
"AMBIL!! Ini perintah! Atau, lo mau dipecat dari rumah sakit ini?! Gue gak mau utang budi. Apalagi keluarga gue utang budi sama lo. Terserah mau lo apain. Dibuang kek, pesta foya-foya kek, beli tas branded. Ter-se—”
"STOP! Oke, kalo ini sebagai perintah dari atasan. Terimakasih Bapak Dimas yang terhormat."
Aku menyambar kertas itu, langkahku sedikit berlari ke arah pintu. Tangisku pecah saat tiba di luar, air mataku tak tertahankan.
Mba Dewi yang melihatku pun ikut kalut. Menenangkanku. Mengusap punggungku beberapa kali. Dia mengajakku ke toilet bersih di ujung koridor. Kulihat wajahku sudah tidak berbentuk lagi.
"Mba kok dia sekasar itu ya? Aku aja jarang ketemu Mama dia."
"Sabar Dokter. Mungkin salah paham."
Mba Dewi memelukku. Aku mengangguk. Mungkin alasan salah paham cukup bisa melegakanku.
"Mba, bisa minta tolong? Kamu bisa kasihin ini ke Dokter Mala di Anak gak, Mba? Kemarin katanya mereka butuh dana buat proyek pantinya. Bilang aja dari Pak Dimas yang punya rumah sakit. Tapi jangan bilang ini dari aku. Dan ga usah cerita masalah barusan ke siapa-siapa, termasuk Mala."
*****
-----------------------------------
DIMAS AIRLANGGA (POV):
-----------------------------------
Aku gak tahu kenapa aku menjadi sejahat ini kepadanya. Masalah yang beruntun datang di kehidupanku, membuatku gak bisa berpikir jernih. Mungkin karena Kirana terlalu cantik dan baik.
Saat pertama kali dia mengunjungi kamar ini, melihatnya lebih jelas daripada saat aku diperiksa di IGD, rasanya seperti de javu.
Wajahnya yang manis, matanya yang jernih dan bulat dengan dandanan yang gak berlebihan, membuatku mengingat seseorang.
Apalagi mama yang beberapa hari ini melebih-lebihkan cerita tentangnya, yang aku tau pasti maksud mama ujung-ujungnya apa.
Perjodohan.
Untuk kesekian kalinya dan aku bosan!
Dewanti, gadis Bali itu pernah menjadi pacarku selama beberapa bulan saat mengambil S2 Master's in Business Administration di Columbia University beberapa tahun lalu. Dia juga cantik, baik dan terlihat lugu, mirip sepertinya.
Tapi sialnya, dia hanya main-main dengan uangku.
Aku gak pernah mempermasalahkan sama sekali, memberikan apapun yang dia minta. Tapi aku mulai gak terima ternyata si Dewanti Dewanti ini, juga main dengan laki-laki lain. Di belakangku.
Ini yang membuatku menilai semua perempuan sama. 'Ada maunya'.
Sesimpel itu.
Aku memang tipe laki-laki yang gak pernah resmi berpacaran, meskipun banyak perempuan mendekatiku. Dengan lifestyle, lingkungan pertemananku, seluk beluk orang tua, harta dan kelebihan paras--mungkin?-- itu sudah cukup untuk membuat banyak perempuan bertekuk lutut. Saat aku mulai mencoba serius menjalani hubungan dengannya, dia gak ada bedanya dari yang lain.
Dan hari ini, aku sudah dengan kasarnya membuat Kirana menangis. Ada sedikit penyesalan karena sudah keterlaluan, saat Kirana menolak imbalan uang yang aku sodorkan. Matanya terlihat berkaca, tangannya mengepal.
Tapi ternyata prasangkaku gak salah. Dia berbalik dan menerima uang itu.
Kirana tetap datang memeriksaku seminggu ini. Aku gak menggantinya. Aku ingin melihat seberapa kuat dia bertahan demi sebuah profesionalisme.
Kalau bukan karena amanah, mungkin dia sudah muak bertemu denganku.
Ekspresinya berubah ketus, gak ada senyum ramah yang pertama kali dia tunjukkan saat visite pertamanya. Benar-benar datar dari wajah maupun nada bicaranya. Nasehat dokternya pun terus diulangi dengan kalimat yang sama, tiap harinya. Tapi seketika bisa berubah menjadi sopan dan ramah, saat mama menimpalinya.
"Ibu, InsyaAllah besok Dokter Ardi sudah pulang, jadi besok beliau sudah bisa visite lagi. Mudah-mudahan Pak Dimas sudah boleh pulang. Maafin saya lahir batin ya Ibu selama ini. Saya ijin dulu."
-----------------------------------
***