1. Kevin Hadiyaksa

1064 Words
Kevin Hadiyaksa Laiqa Ruqaya tersentak mundur, membiarkan tubuhnya menubruk pegangan lift. Dua manik matanya menatap waspada sosok lelaki asing dihadapannya yang tanpa permisi menarik tangannya. Apalagi saat si lelaki membahas tentang harga, semakin waspada saja ia. Jari-jari tangannya terkepal erat, siap melayangkan pukulan, andai lelaki dihadapannya mengambil gerakan untuk menyudutkannya. "Jangan menatapku semengerikan itu. Aku beneran bukan sindikat penjual perempuan di pasar gelap. Meski aku punya koneksi untuk itu," Kevin menatap wajah penuh kewaspadaan perempuan asing dihadapannya. Sangat maklum jika ekspresi seperti itu yang ia dapatkan. Memang perempuan mana yang bisa tenang-tenang saja, ketika ia ditarik lelaki asing dan terjebak di dalam lift hanya berdua, lalu mulai membicarakan tentang harga. Apalagi disebuah hotel. "Kalau bukan, lalu apa?" Laiqa memicingkan mata. Semakin menghujam tajam lelaki asing didepannya yang terlihat amat santai. "Aku Kevin. Kevin Hadiyaksa. Biar kamu nggak mikir macam-macam, alangkah lebih baik kalau kita berkenalan lebih dulu." Kevin mengulurkan tangan. Memasang wajah yang amat teduh. Bodohnya ia yang main tarik saja perempuan itu tanpa memastikan wajahnya lebih dulu. Hanya karena perempuan itu mengenakan pakaian dan memiliki rambut yang ciri-cirinya sama persis dengan yang Bara sebutkan sebelumnya. Laiqa mempertahankan kepalan tangannya disisi tubuh, tanpa sedikit pun menggerakkannya untuk menyambut uluran tangan lelaki asing yang mengaku bernama Kevin. Kevin menggoyang tangannya, lalu meringis karena sadar betul jabatan tangannya tidak akan disambut. Dia memutuskan untuk melanjutkan pembicaraannya sebelumnya, tentang harga. "Jadi, apa kamu mau bekerja sama denganku. Harga bisa nego. Aku nggak mungkin ke bawah lagi. Nggak punya waktu." Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Bola mata Laiqa membulat lebar. Perempuan itu membuka mulutnya dan hendak menjerit meminta bantuan. Namun, Kevin bergerak lebih cepat. Lelaki itu menangkup bibirnya dan membungkamnya. "Shhh ... nggak perlu pakai histeris." Kevin sedikit merendahkan tubuhnya agar wajahnya sejajar dengan perempuan yang siap mengeluarkan suara. Sebenarnya, kalau pun perempuan itu menjerit, tidak akan berpengaruh banyak. Karena mereka berada di dalam lift yang hanya diisi mereka berdua. "Aku butuh bantuan kamu malam ini, dan mungkin seterusnya. Tapi, mungkin juga hanya malam ini." Laiqa berkedip tak mengerti. Dua tangannya yang sebelumnya terkepal kini mencengkeram bahu Kevin, berusaha mendorongnya. Sayang, Kevin lebih kuat menekan satu bahunya agar tak bergerak leluasa. "Kamu aku sewa malam ini. Hanya untuk berpura-pura menjadi kekasihku. Aku beri 10 juta. Bagaimana?" Kevin memberikan penawaran. Dipikirannya hanya satu. Malam ini harus berjalan mulus seperti keinginannya. Perkara ke depannya, biar ia pikirkan nanti. Laiqa menatap manik penuh keyakinan di depannya. Mendengar sepuluh juta dan kekasih pura-pura untuk semalam. Ia sedikit tergiur. Karena sesungguhnya, ia sedang terlilit hutang yang amat menyesakkan. Ditambah, ia baru dipecat seminggu lalu. Sudah berusaha mencari pekerjaan, namun apalah daya, pekerjaan itu tak juga ia dapatkan. "Bodoh, Laiqa. Kamu mungkin akan jadi boneka bergilir lelaki itu semalaman. Untuk menghangatkan ranjangnya." Berbekal bisikan hati yang memperingati, Laiqa menggeleng tegas. Menolak. Sesulit apa pun kondisi ekonominya, ia tidak akan menyerahkan tubuhnya dengan begitu mudah untuk ditiduri. "Hanya makan malam. Tidak lebih dari dua jam. Setelah itu kamu bebas pulang. Membawa uang sepuluh juta dariku." Kevin kembali berucap. Masih mempertahankan tangkupan tangannya di bibir perempuan di depannya. Laiqa mengerjap pelan. Dia memindah tangan kanan yang sedari tadi berusaha mendorong Kevin untuk mencengkeram pergelangan tangan Kevin dan menariknya turun. Dengan susah payah. "Jangan teriak. Dan aku lepaskan." Saat mendapatkan anggukan dari lawan bicaranya, Kevin sedikit menarik sudut bibirnya dan menurunkan tangkupan tangannya. Laiqa segera mengembuskan napas kasar. Membiarkan dadanya naik turun secara cepat untuk menarik napas dan menghelanya. "Jadi bagaimana? Setuju?" tanya Kevin. Bertepatan dengan itu, lift berdenting dan pintunya segera membuka. "Hanya untuk dua jam dan mengaku sebagai kekasihmu?" Laiqa berusaha memastikan. Jika hanya seperti itu, tentu bukan hal yang sulit. Laiqa tidak mendapat kerugian apa pun. Toh, ia memang tidak terikat hubungan dengan siapa pun. Dan yang pasti ia tak perlu menjual dirinya di ranjang. Kevin menjentikan jari. Lalu menggerakan tangannya untuk mempersilakan perempuan yang belum juga memperkenalkan diri padanya untuk keluar lift lebih dulu. "Benar. Hanya makan malam, mengaku sebagai kekasihku. Semudah itu." Dia mengayun langkah menuju restoran yang berada di rooftop hotel. "Kalau kamu setuju, kita berkenalan sekali lagi." Laiqa menelan ludah. Menatap wajah Kevin dan uluran tangan lelaki itu. Didalam pikirannya, menari-nari perkataan sang ibu sore tadi. Yang menangis tersedu karena rentenir menagih hutang dan mengancam akan mengusir kelurga jika tak juga menyicil hutang mereka. Menghembuskan napas satu kali, Laiqa menyambut uluran tangan Kevin. "Laiqa," sebutnya. "Oke deal. Kamu harus mengaku jadi kekasihku di depan keluargaku." Kevin tersenyum miring. Dia tahu, tidak akan sulit menjerat seseorang dengan diiming-imingi uang. Meski itu orang asing. Laiqa mengangguk. "Jadi kekasih Kevin Hadiyaksa." "Pintar." puji Kevin, sembari terus mendekati meja reservasi orang tuanya. "Tapi kenapa kamu menarik saya?" tanya Laiqa penasaran. Kedatangannya ke hotel itu, tentu bukan untuk bertemu Kevin. Dia ada janji temu dengan kawan lama yang kebetulan menginap di hotel itu dan meminta ditemani semalam. "Aku sebenarnya menyewa seorang perempuan sebelumnya. Dia memakai baju yang sewarna denganmu dan rambut hitam bergelombang. Dikejar waktu, aku jadi tidak memperhatikan lebih detail." "Sonia yang kamu sebutkan sebelumnya?" Kevin mengangguk. "Ya. Bukan masalah kalau kamu atau Sonia. Siapa pun juga bisa. Yang jelas mau bekerja sama denganku." "Beneran saya akan dikasih sepuluh juta, kan?" "Iya, Laiqa. Aku janji. Ck, nama kamu susah disebut. Enaknya dipanggil apa?" "Terserah kamu saja. Selama masih diambil dari nama saya. Saya oke-oke saja." Kevin melirik Laiqa. "Jangan saya-kamu coba. Kita nggak keliatan sama sekali seperti sepasang kekasih." Kening Laiqa mengernyit. "Aku?" "Itu lebih baik." Kevin mengangguk. "Lalu tentang 500 juta yang kamu sebutkan. Itu tentang apa?" tanya Laiqa penasaran. "Kalau itu tentang penjualan organ tubuh dipasar gelap. Terima kasih, tak perlu dijawab." Kevin terkekeh pelan. "Bukan. Tentu saja bukan. Sudah aku bilang sejak awal aku bukan orang seperti itu. Kita akan bicarakan itu setelah makan malam ini, kalau kamu mau. Dan melihat situasi juga nanti." Laiqa tak lagi menjawab. Dia hanya terus meyakinkan diri kalau yang ia sepakati dengan Kevin bukan termasuk tindakan menjual diri. "Ah, tunggu ..." Kevin memindai pakaian Laiqa, mendecap lirih dan segera melepas jas hitamnya. "Pakai ini. Blouse kamu bagus, tapi sedikit kusut. Jadi lebih baik ditutupi," ucap Kevin sembari melingkupi punggung Laiqa dengan jasnya. Laiqa hanya memakai blouse polos warna navy, celana kulot, flat shoes dan sling bag yang bersyukurnya memiliki warna senada dengan blouse yang dikenakan. Meski jauh dari penampilan keluarganya. Tapi itu tak masalah. Yang pasti, malam ini Kevin memiliki alasan untuk berkelit dari perjodohan yang keluarganya rencanakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD