05 : Alika Naila Putri

1752 Words
Aku mengetuk pintu unit apartemen Dara dengan keras. Berulang-ulang kali, sangat tidak sabaran. Tidak perlu bersopan santun dengannya. Apalagi suasana hatiku sedang tidak baik sekarang. Untuk tersenyum saja berat. Kulipat kedua tanganku di depan d*da sambil aku ketuk-ketukan ujung SOVO Genuine Leather Inner Heel Women's Sneakers in White ku pada lantai. Bisa kudengar dengusan Akbar di belakangku. Bodo amat! Aku sudah amat sangat ingin sekali merebahkan tubuh lelahku di kasur empuk milik Dara. ”Lama amat!” gumamku. Ku tahan kekesalanku yang sudah di ubun-ubun. ”Sabar, Njir.” ”Bacot! Diem lo!” Ku lirik Akbar dengan sinis. Langsung ku tendang tulang keringnya ketika dengan berani mengikuti ucapanku dengan mulut bebeknya. Dia langsung memegang kakinya. ”Dammit! Sakit, Njing!” Aku tidak merasa bersalah sama sekali pada Akbar. Aku malah tertawa keras melihatnya melompat-lompat sambil menggeram kesakitan. ”Mampusin! Don’t play with someone who is broken hearted.” ”F*ck you!” ”Talk to my middle finger.” Ku acungkan jari tengah tangan kananku depan mukanya. ”s**t!” Cklek! Sontak, aku langsung menoleh. Reflek mundur ke belakang, aku nyaris menabrak d*da Akbar kalau saja dia tidak cepat-cepat ikut melangkah mundur. Nice focus! ”Ngapain lo kesini, Al?” todong Dara langsung tanpa basa basi busuk. Ha-ha-ha. How nice of a host she is. Dengan tengilnya, dia melipat kedua tangan di depan d*da. Dih! Aku putar kedua bola mataku malas. ”Sopan kayak gitu sama tamu, Dar.” sindirku. ”Inget, tamu adalah ratu.” ”Ratu?” Dara mengulang. Aku mengangguk. ”Gue cewek. Ya, kali raja.” Dia geleng-geleng kepala. ”Tamu? Elo?” Dara menunjukku. ”Lo bukan tamu. Lo itu biangnya rusuh, Al. Mau ngapain sih. lo?! Ganggu tahu gak. Don’t waste my weekend.” Aku tak berniat menjawab pertanyaan dan membalas pernyataan Dara. Langsung kudorong dia masuk ke dalam unit apartemennya. Aku tertawa melihatnya terseok-seok, berjalan mundur. ”Perusuh emang lo, Al.” Tak kuhiraukan ucapan Dara. Aku menoleh ke belakang. ”Masuk, Bar.” ”Heh! Bawa siapa lo?” Dara langsung melihat ke luar. ”Kacung gue.” kekehku. ”Bengek, ngab!” ”Lo ngapain mau-mau aja, b**o!” tanya Dara pada Akbar. ”Dahlah! Lo urus temen lo. Gue balik. Mau ngedate. Bye, girls!” ”Sialan!” umpat Dara pada Akbar yang bisa-bisanya langsung kabur meninggalkan koper dan belanjaan ku begitu saja. ”Bawa majikan lo, woy!” Dia berdecak keras. ”Ck!” Aku tutup pintu unit apartemen Dara sebelum aku menyusulnya ke satu-satunya sofa yang ada di apartemen tipe studionya sambil menyeret koper. Apartemen Dara tidak besar. Saat masuk semua isinya akan terlihat. Setia ruangan yang ada di dalamnya saling menyatu, tanpa sekat. Ranjangnya langsung berhadapan dengan ruang tengah dengan televisi dan two seater sofa yang sekarang sedang didudukinya. Dekat dengan balkon. Ruang makan, meja makan material kaca empat kursi langsung berhadapan dengan kamar mandi dan dapur lengkap. Kitchen set, microwave, lemari pendingin dua pintu dan mesin cuci satu tabung. Skema warna apartemen Dara adalah putih dan nude. Sedikit sentuhan warna hitam. ”Gue putus.” Aku duduk di samping Dara setelah meletakkan barang-barang bawaanku di dekat ranjangnya. Dia dengan cepat berpaling dari layar televisi, menatapku.  ”Demi apa lo?”  Raut wajah Dara terlihat begitu terkejut. Dia menatapku dengan sorot tidak percaya. Aku mengangguk.  ”Jadi Radit beneran selingkuh?” tanyanya masih dengan raut tidak percaya.  ”Hmm,” Aku mengangguk lagi. ”Sama resepsionis baru itu? Siapa namanya?” ”Iya. Tansy.” ku jawab pertanyaannya singkat-singkat. Kuangkat bokongku sedikit supaya aku bisa mengambil toples di atas coffee table. Lumayan ada keripik kentang balado. Bisa untuk memanjakan perutku dan mengolahragakan mulutku. ”Tensi?” Kulempar keripik ke arahnya.  ”Kotor, b**o!” Dara mengibaskan kaos oblongnya. ”Tansy, budeg!” Dia terkekeh pelan. ”HRD ada masalah apa? Kenapa bisa terima cewek uler gitu masuk perusahaan? Gue laporin ke Pak Air juga, nih.” ”Udah. Biarinlah!” balasku singkat dengan mulut penuh keripik. Jorok. Benar ucapan Akbar, gimana Radit bisa betah sama aku? Kelakuanku saja minus. Tidak ada anggun-anggunnya. Aku mengangguk samar, membenarkan ucapan Akbar.  ”Mau kemana lo?” tanyaku saat melihat Dara tiba-tiba saja berdiri. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah langsung pergi ke dapur. Dasar! Aku mengangkat kedua bahuku tak acuh. Melanjutkan acara ngemilku. ”Kita ngobrol di luar aja, Al.” Aku langsung mengangkat wajahku. Pandangan kualihkan pada Dara yang sudah berdiri di depanku membawa dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Keripik kentang yang sudah sedikit masuk ke dalam mulutku, terpaksa harus aku keluarkan lagi. ”Makan! Jangan masukin ke toples lagi.” katanya.  Ya, sudah. Ku masukkan lagi keripik tadi ke dalam mulutku. Mengunyahnya cepat-cepat. Aku berdiri sambil menutup toples. Meletakkan toples di atas coffee table. Aku berjalan keluar melewati pintu sliding kaca yang memisahkan area dalam dan balkon. Aku berdiri di samping Dara. Dia menoleh dan menyerahkan cangkir kopi di tangan kirinya padaku. Tidak ada kursi di balkon hanya ada satu pohon indoor. Untuk beberapa saat kami hanya terdiam. Menikmati seduhan kopi instan dan pemandangan gedung-gedung tinggi di hadapan kami yang mulai diterangi lampu-lampu. ”Kenapa?” pertanyaannya memecah keterdiaman kami. ”Karena Radit masih aja gak bisa terima sama kelakuan bar-bar lo, Al? Sepele.” Dara menoleh, menatapku dengan satu tangannya memegang pembatas besi balkon. ”Hmm,” Aku mengangguk saja, karena tepi cangkir kopi sudah menempel di bibirku ”Kenapa lo gak bilang sebagian waktu lo yang hilang demi Radit juga? Gemes gue. Gak tahu diri banget.” Kujauhkan cangkir dari depan bibirku. Menumpukan kedua tanganku pada pembatas besi balkon. Aku menunduk menatap ke dalam cangkir. ”Gak perlulah. Gak akan merubah kenyataan kalau Radit selingkuhin gue.” kataku sambil memutari ujung cangkir dengan telunjuk tangan kiriku. ”Gue ikhlas juga ngelakuinnya. Gue kasihan aja, Dar.” ”Tapi Radit gak kasihan sama lo.” Aku mengangguk. ”Ya, emang karena gue gak perlu dikasihani, Dar.” Dara mengangguk. ”Iya, sih. Bener. Ngapain juga. Masih gak nyangka aja, sih gue dengernya. Laki-laki yang lantang bilang benci perselingkuhan, malah selingkuh sendiri.”  Dara terkekeh. ”Namanya juga laki-laki, Dar. Katanya, perasaan laki-laki itu lebih cepet berubahnya. Kalau cewek makin lama, rasa sayangnya makin naik level. Kalau cowok rasa sayangnya penuh waktu di awal, makin lama, makin menurun drastis.”  Dara berbalik. Dia menumpukan kedua sikunya di atas pembatas besi balkon. ”Udah normalnya manusia begitu. Pasti berdoa, mintanya yang baik, sempurna tanpa cela. Mau menerima kelebihan. Selalu menuntut perubahan pada kekurangan yang gak ada apa-apa dibanding segudang kelebihan. Cewek perhatian, sering chat, sering telpon dibilang posesif. Jarang-jarang chat sama telepon dibilang cuek.” ”Gue gak tahu kita bisa samaan gini. Leta paling parah. Diselingkuhi terus ditinggal nikah. Lo diselingkuhi. Gue--” ”Lo gagal move-on.” potongku cepat. Aku terkekeh melihat wajahnya yang langsung berubah masam. Dan aku memang benar. Dara sedang dalam fase gagal move-on dari kematian pacarnya. ”Gue bukannya gagal move-on, Al. Tapi gue belum mau mencoba move-on. Ekspektasi gue tentang cowok aja yang jadi tinggi. Gue selalu banding-bandingin mereka yang datang sama dia yang pergi.” Dara menunduk. Aku hanya diam saja mendengarkan ceritanya tanpa menyela. Dia sudah menceritakannya berulang kali, tapi aku tidak pernah bosan. Setidaknya itu sedikit bentuk dukunganku sebagai seorang sahabat. ”Ya, siapa orangnya yang bisa dengan gampang ngelupain orang yang selalu ada. Merubah kebiasaan, sesulit itu.” Bisa ku dengar suara helaan nafas beratnya di sampingku. ”Gue yang emang gak biarin siapapun masuk. Karena masih ada urusan di masa lalu gue yang belum selesai. Gue selalu mikir, belum tentu ada lagi yang sama, yang sayang sama gue tulus tanpa sebab. Gue pisah bukan karena kenapa? Atau siapa? Tapi karena takdir sang pencipta. Mana lagi sayang-sayangnya. Secara tiba-tiba pula.” Ku lirik Dara yang sedang berdehem. Masih bisa kulihat jelas gurat-gurat kesedihan yang mendalam di wajahnya. Aku mengangguk paham.  ”Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir.” Dara terkekeh. Dan itu cukup membuatku bernafas lega. Walau kami tidak akur, sering adu mulut dan membuat Leta pusing. Kami-- aku, Leta dan Dara saling menyayangi. ”Kayak yang pernah denger gue.” Kuangkat kedua alisku naik. ”Journey to the west.” ”Ah … Kera Sakti. Panglima Tian Feng. Cu Pat Kay.” Kami saling melempar tawa. Suasana di antara kami tiba-tiba saja menjadi hening. Kuhela nafasku pelan. Menatap langit yang sudah gelap. Kulirik Dara yang bergeming menatap ke dalam cangkir kopinya. Aku tersenyum. ”Lo belanja apaan tadi? Tumben amat buang-buang duit.” Aku menoleh ke belakang, ke arah beberapa paper bag yang tergeletak di lantai. ”Baju doang.” Aku melihat ke depan lagi. ”Buat gue pakai besok.” Dara menoleh padaku. ”Patah hatinya, mahal ya, Bund.” Aku tertawa menanggapi sindirannya. ”Lo mau nginep disini, Al?” ”Hmm,” Aku mengangguk. ”Gak mungkin gue balik, Dar. Bokap nyokap gue bisa introgasi gue kalau lihat mata gue yang bengkak. Kelihatan banget abis nangis.” Dara melihat ke arah mataku. Dia memperhatikan area bawah mataku yang memang masih bengkak. Walau masih sedikit saja. Masalah utamanya, bukan pada kondisi mataku yang bengkak. Tapi pada kemalasanku menjawab pertanyaan kedua orang tuaku nanti, yang pasti tidak sedikit. Belum lagi aku harus meladeni tingkah menyebalkan Nando, yang pasti akan berlagak layaknya adik yang baik, yang sangat menyayangi kakaknya. Ew ... ”Oh ...” Kuhela nafas berat. ”Lagian bokap nyokap gue juga udah tahu Radit selingkuh, Dar.” Dara melotot. ”Pardon me?” Dara menatapku tidak percaya. Dia saja tidak percaya. Apalagi aku yang berharap cukup aku saja yang tahu soal Radit yang selingkuh. ”Sebelum gue putus. Bokap sama nyokap gak sengaja lihat Radit jalan sama Tansy di mall.” ”Terus lo mau gimana besok?” Keningku mengerut. ”Besok gimana maksud lo, Dar?” ”Lo mau gimana sama Radit?” Aku mengangkat bahu. ”Ya, kayak biasa aja sih, Dar. Kalau di kantor Radit atasan gue, jadi gue harus sopan sama dia. Hubungan profesional. Kalau di luar, anggap kenalan biasa aja.” ”Gue berharap gak jantungan, tuh nyokapnya Radit kalau tahu kalian putus karena anaknya selingkuh.” ”Heh!” Ku pukul pelan tangan Dara. ”Jangan sembarangan.” ”Bodo amat!” Aku tatap punggung Dara yang berjalan masuk dan berhenti di depan lemari pendingin. Ku putar kepalaku kembali menghadap depan. Menikmati terpaan angin malam sambil menghabiskan kopi di cangkir. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD