Bram sedang mencari sesuatu yang penting di internet. Coba tebak!
"Bagaimana cara untuk cepat tinggi dalam satu hari? Oh, come on, Mbah Google!" Bram berdecak sebal, karena tips-tipsnya tidak ada yang terlihat efektif. Dan tidak ada yang membuat langsung tinggi dalam satu hari. Payah!
"Ngapain sih, Bang? Kok teriak-teriak?" Hanny masuk ke kamar Bram, mungkin ia keberisikan. Tentu saja, karena kamar Hanny berada tepat di sebelah kamar Bram. Hanya terhalang dinding.
"Gue kesal! Solusi dari internet payah banget." Bram melempar ponselnya ke tempat tidur. Ia berbaring lemas, lalu mengambil bantal untuk menutupi wajahnya. "Han, bunuh gue, plis."
"Heh! Jangan ngomong gitu! Kenapa, sih? Pasti ada apa-apanya nih tadi di sekolah. Iya 'kan?"
Ya, Bram memang jadi merasa semakin minder untuk mendekati Stella. Padahal, Bram kira, Stella sudah menjadi lebih baik padanya. Tapi, tetap saja Stella tidak suka dengan lelaki aneh.
Bram tidak kunjung menjawab. Hanny langsung mengambil bantal yang menutupi wajah kakaknya. "Bang! Malah tidur!"
Bram hanya pura-pura tidur, karena Hanny sangat cerewet. Bram terus pura-pura mengorok, dan lebih terdengar seperti suara babi.
Dengan gemas, Hanny langsung memukul wajah Bram memakai bantal. "Jangan pura-pura! Cepet jawab!"
Bram akhirnya membuka mata, lalu tertawa. "Cie kepo."
"Bang, aku cuma takut Bang Bram ngelakuin hal yang aneh-aneh." Hanny duduk di tepi tempat tidur.
"Aneh-aneh itu contohnya apa, Han?"
"Erm ... minum obat peninggi. Sumpah, Bang Bram jangan minum obat begituan. Pasti ada efeknya di kemudian hari. Lebih baik, alami aja."
Obat peninggi? Kenapa Bram tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya?
Bram meraih ponselnya dan mulai mencari obat peninggi di online shop.
Hanny merebut ponsel Bram dengan cepat. "Bang Bram! Malah beneran mau beli obat peninggi, ya?!"
"Iya! Gue udah putus asa, Han!"
"Kenapa putus asa? Cepet cerita!"
Kenapa mereka malah teriak-teriak begitu? Mungkin terbawa suasana.
"Gue ... suka sama cewek."
"Serius?! Jadi, Bang Bram bukan gay? Astaga, itu berita bagus!"
Bram langsung menjitak kepala Hanny. "Jadi, selama ini, lo ngira gue gay?"
"Lah? Terus Kak Guntur itu apa? Bukannya, pacar Bang Bram?"
Bram menjitak kepala Hanny lagi. "Amit-amit. Gue normal! Dan gue sebenernya suka sama nih cewek sejak kelas sepuluh."
"Ohh, terus?" tanya Hanny sambil mengusap kepalanya yang sakit karena dijitak.
"Nih cewek, sering banget ngehina gue pendek. Jadi, gue mau tinggi, biar dia nggak ngehina gue lagi."
"Cie, terus pas Bang Bram tinggi, dia jadi naksir berat sama Bang Bram, ya?" ejek Hanny.
"Ya ... nggak, lah! Gue nggak mau berharap sampai sana. Soalnya, Guntur juga suka sama tuh cewek."
"Terus? Apa masalahnya, kalau Kak Guntur juga suka? Bersaing aja secara sehat..."
"Nggak bisa gitu, gue takut Guntur mikir, kalau gue ini 'temen makan temen'. Jadi, lebih baik biar dia aja yang maju."
"b**o," cibir Hanny, "Itu sama aja Bang Bram nyakitin diri sendiri."
"Biarin aja. Daripada yang lain, yang sakit. Gapapa, biar gue aja."
"Oh, Brother." Hanny menepuk-nepuk bahu Bram. "Gue jadi penasaran, sama cewek yang lo suka itu. Dia beruntung banget!"
Bram tersenyum miris. "Tapi, bagi dia, mungkin disukai oleh orang aneh kayak gue ini kesialan."
"Bang Bram nggak aneh. Cuma kurang tinggi. Yaudah, cepat ambil buku. Aku kasih tips-tips biar tinggi. Semoga ampuh!" Hanny tersenyum lebar, dan Bram dengan semangat langsung mengambil buku tulis dan pulpen.
"Selain minum s**u, Bang Bram juga harus rajin lompat-lompat. Oh, mulai besok, Bang Bram juga harus rajin berenang tiap hari."
Bram mengangguk dan mencatat semuanya. "Oke, terus?"
"Udah, yang aku tau itu aja."
Bram menghela napas. "Kalau cuma minum s**u, lompat-lompat, sama berenang, GUE JUGA UDAH TAU!"
Hanny menyengir. "Ya, maaf."
"Yaudah, keluar sana. Gue mau bobo." Bram menaruh bukunya di samping bantal, dan ia mulai berbaring.
"Udah minum s**u, Bang?"
"Eh? Belom. Ambilin, dong." Bram tersenyum semanis mungkin.
"Erm ... NGGAK. Ambil aja sendiri." Hanny menjulurkan lidahnya, lalu langsung kabur, keluar dari kamar Bram.
"Adik kurang asem," cibir Bram lalu meraih ponselnya.
Seperti dugaannya, ada LINE dari Guntur. Mari kita lihat.
Guntur Tomlinson: bro?
Bram: jol?
Guntur Tomlinson: haha masa brojol! Lucu banget sumpah, jangkrik peliharaan ge langsung pada bernyanyi krik krik!
Bram: ohh lebay sekali, ya?
Guntur Payne: sori ganti nama. Tomlinson kepanjangan.
Bram: bodo amat, sumpah!
Guntur Payne: eh, besok jadi berenang di rumah lo?
Bram: JADI!
Guntur Payne: oke, gue bawa bikini gue besok
Bram: terserah deh, gue lelah.
Guntur Payne: besok abis berenang, gue nginep oke?
Bram: iya, tapi jangan lupa bawa seragam buat hari senin. Lo nggak bakal muat pakai seragam gue...
Guntur Payne: muat, kok! Tapi, gue jadi keliatan seksi gitu
Bram: najis. HAHA
Guntur Payne: yaudah, bye! Gue ke rumah lo jam sepuluh ya!
Bram: oke, Bro!
Guntur Payne: sip, Jol!
Bram terkekeh, lalu mematikan ponselnya. Bagi Bram, Guntur itu sahabat yang sangat amat bisa diandalkan. Bram merasa banyak berhutang budi pada Guntur. Jadi, untuk kali ini, biar dirinya saja yang mengalah. Agar Guntur bahagia dengan Stella.
"Oh, walaupun gitu, gue harus tetap minum susu."
***
Guntur berenang dengan lincah seperti ikan duyung. Sementara Bram, ia malah sibuk berjemur saja dari tadi, seperti ikan asin.
Guntur terus berenang dengan bahagia, lalu ia memandang Bram sejenak dan menyipratkan air ke arah Bram. "Woy! Katanya mau tinggi? Cepetan berenang!"
"Sabar! Gue lagi post foto di Instagram." Bram terus sibuk dengan ponselnya.
"Post foto bareng gue, dong! Pasti banyak yang suka, deh."
"Bosen gue ngepost foto sama lo mulu. Kali-kali sama Hanny, ah. Followers gue jadi nambah."
"Enak ya punya adek cakep." Gutur mendengus.
"Kakak lo juga cantik," balas Bram santai.
"Iya, sih. Tapi, dia nggak bisa diajak bercanda. Dia waras banget, Bro!"
Bram tertawa. "Kak Tania emang yang paling waras di keluarga lo, sih. Gue juga heran."
"Dia kayaknya bukan anak mamih gue, deh."
"Ngaco! Udah, ah. Gue mau berenang, deh." Bram bangkit berdiri dan meregangkan ototnya. Setelah Bram menyebur ke dalam kolam, Guntur pun langsung keluar dari kolam.
"Eh? Kok lo udahan?" tanya Bram bingung.
"Gue mau jadi pelatih lo aja. Cepat berenang sepuluh kali bolak-balik, Bram!"
"Banyak banget!"
"Bodo amat, mau tinggi, nggak?"
"Eh? Mau, lah!" Bram dengan semangat, berenang bolak-balik sesuai perintah Guntur. Pelatih barunya.
"Ayo, lebih cepat! Bayangkan lo itu adalah ikan teri!"
"Kok ikan teri?" tanya Bram bingung.
"Soalnya ikan teri itu kecil, imut, dan setia kawan. Lo banget 'kan?"
Bram berdecak. Dan terus berenang, terus berenang, terus berenang. Kayak Dori aja, deh. Daripada ikan teri.
Bram keluar dari kolam, setelah melakukan apa yang Guntur perintahkan. "Gila, gue capek banget."
"Good job, gue yakin, lo udah tambah tinggi setengah senti. Selamat, ya." Guntur menepuk-nepuk bahu Bram dengan haru.
"Masa cuma setengah senti? Sedih banget gue," ucap Bram menyeka matanya. Agar lebih dramatis.
"Sabar, semuanya butuh waktu. Dan gue yakin, usaha lo nggak akan sia-sia."
"Oh, Buddy..." Bram memeluk Guntur, "Lo emang the best."
"Iya, dong." Guntur tersenyum miring, dan melepas pelukan Bram. "Eh, ada babi terbang!" Guntur menunjuk langit, membuat Bram melihat ke atas. Dan dengan cepat, Guntur mendorong Bram hingga kembali masuk ke dalam kolam.
Tentu saja itu membuat Bram kaget. "s****n!"
Guntur hanya tertawa puas, dan masuk ke dalam rumah Bram sambil membawa handuk. Lagi-lagi, ia berhasil.
Bram dengan susah payah keluar dari kolam, dan berjalan ke kursi untuk mengambil ponsel dan handuk. Matanya melebar saat melihat pemberitahuan i********:. Stella menyukai foto Bram.
"Ah, jangan baper."
***
Pada malam harinya, Bram dan Guntur bermain laptop di tempat tidur (Guntur meminjam laptop Hanny). Kalau Bram, tentu saja ia mengerjakan tugas presentasi untuk besok. Sedangkan Guntur, ia malah bermain game.
"Bro, menurut lo, Nico itu kayak gimana?" tanya Bram tiba-tiba.
"Nico? Dia jarang ngomong sama kita, sih. Sebenernya gue rada takut kalau diliatin sama dia."
Bram mengernyit. "Why? Kenapa takut?"
"Tajam gitu tatapannya, gue jadi takut salah pas latihan."
"Bro, Nico itu terkenal, 'kan?"
Guntur mengangguk. "Terus kenapa?"
"Gue punya ide biar kita ikut terkenal. Gimana kalau kita temenan sama Nico aja?"
"Lo yakin? Dia anaknya kayak nakal gitu, Bro. Gue takut ketularan nakal..."
Bram terkekeh. "Tenang, kita berdua nggak akan ketularan nakal. Iman kita harus kuat."
Guntur tersenyum lebar, lalu menjentikkan jarinya. "Jadi, besok kita ngajak Nico temenan, gitu?"
"Yep."
"Terus Troy gimana?"
"Dia juga temen kita, tapi kita harus lebih deket sama Nico demi tujuan utama kita. Lagian, Troy kan sama Disa mulu."
"Oke, Bro!" Guntur menutup mulutnya saat menguap lebar. "Udah, ah. Gue mau tidur. Goodnight, Bro."
Setelah Guntur menutup laptop dan menaruhnya di tempat yang aman, ia pun tidur di tempat tidur Bram dan langsung terlelap pulas dalam hitungan detik.
"Dasar kebo." Bram melepas topinya, dan ikut berbaring, setelah menyimpan laptop-nya.
Saat mata Bram hampir terpejam, ia malah kembali memikirkan seorang perempuan jutek yang sangat kejam.
Kira-kira, Stella lagi apa, ya? Selamat malam, Stell...