Bab 5

1358 Words
Bram masuk ke kelas, saat bel jam pertama selesai. Ia sedikit kesulitan berjalan, tapi untungnya ia baik-baik saja. Bram berjalan ke tempat duduknya, dan menaruh tasnya dengan santai. Mengabaikan tatapan Guntur yang terlihat cemas. "Lo udah baikan? Masih sakit, nggak?" Bram hanya tersenyum kecil, dan melihat telapak tangannya. "Udah sembuh." Guntur bernapas lega, dan merangkul Bram. "Gue kira badan lo sakit parah, Bro. Tapi, untung aja udah sembuh. Gue jadi nggak kesepian lagi." Guntur memang terkadang suka berlebihan. "Mana buku catatan ekonomi lo? Gue pinjem," ujar Bram tenang, namun saat melihat cengiran Guntur yang mencurigakan, Bram langsung menepuk dahi Guntur dengan keras. "Lo tidur, iya 'kan?!" Guntur meringis, mengusap dahinya. "Aw, iya. You know me so well, Buddy..." Bram mengembuskan napas kesal, dan tiba-tiba ia melihat tangannya, lalu dahi Guntur. "Tunggu dulu..." "Tunggu? Tunggu apaan? Apa yang harus gue tunggu? Cepet kasih tau!" Guntur terlihat penasaran dan panik. "Kenapa gue mukul jidat lo pake tangan? Kenapa?!" Guntur memandang Bram dengan heran. Pertanyaan macam apa itu? Apa Bram kesambet? Lagi? "Soalnya ... kalo lo mukul jidat gue pakai kaki, itu namanya nendang. Bukan mukul." Dengan polosnya Guntur menjawab, namun jawabannya ternyata membuat Bram semakin sedih. Bekas tangan Stella, berpindah ke dahi Guntur. Oh, tidaaaakk.... "Kenapa, sih? Kok lo tiba-tiba sedih? Gue jadi makin bingung, dan merasa serba salah..." Bram tiba-tiba melirik Guntur, dan Guntur pun tersenyum miring. Lalu dengan kompak, mereka mulai bernyanyi. "Apa lagi salahkuuu? Apa lagi salahku? Ku tak mengerti.... Sudah, lupakan segala cerita ... antara kita ... ku tak ingin, ku tak ingin, ku tak ingin kau terluka ... karena cintaaa..." Bram dan Guntur ingin melanjutkan nyanyian mereka, tapi Arwin tiba-tiba datang dan merusak suasana. "Berisik, gue nggak punya uang receh!" "Win! Gue nggak level sama uang receh. Cih." Guntur memulai akting menjadi ornag kaya sombong. Padahal yang kaya adalah Bram, bukan dia. "Halah, beli gorengan aja lo ngutang!" Arwin melengos pergi, dan kembali duduk ke tempatnya. Di paling depan. "Jadi, dia rela jalan sepuluh langkah ke meja kita, cuma buat ngomelin kita, ya?" Guntur mengernyit, menatap punggung Arwin tajam. "Kayaknya, iya." Bram mengangguk pelan. "NAJONG! Kurang kerjaan!" Guntur tertawa hingga memukul mejanya, membuat kelas semakin gaduh. Bram ikut tertawa, karena melihat wajah Guntur yang merah. Arwin tentu saja merasa kesal karena ditertawakan. Ia bangkit berdiri, dan kembali berjalan--sepuluh langkah-- untuk menghajar Guntur. "Guntuuurrr!" Guntur melebarkan matanya saat Arwin mulai mendekat. "Arwiiinnnnn..." "Yang manggil gue siapa, dong?" Bram mendengus sebal. "Bram! Lo dipanggil Bu Sukma ke ruang BK." Bram tertawa mendengar informasi dari salah stau teman sekelasnya. "Bercanda lo nggak lucu, Bro!" "Anjir, siapa yang bercanda? Buruan!" Mampus. Bram bangkit erdiri, dan memandang Arwin yang berdiri mematung di dekat meja. "Ngapain lo?" "Ah, lo mah mengganggu adegan gue mau ngehajar Guntur. Jadi nggak seru, ah." Guntur mendengus. "Padahal tadi udah keren-kereh, ih." "Yaudahlah, Tur. Kapan-kapan aja kita berantemnya." "Oke, Win. Atur aja jadwalnya biar sama-sama bisa. Dan nggak ada halangan." "Sip, deh. Love you, Bro." "Najong, kita nggak sedekat itu, Win. Bro gue cuma Bram." Arwin menekuk wajahnya, lalu kembali ke tempat duduknya. Bram hanya menepuk-nepuk kepala Guntur. "Good boy, good boy. Nanti gue beliin gorengan." "Thank you, Bram!" *** Bram masuk ke dalam ruang BK, dan terkejut sat melihat Stella juga ada di ruangan tersebut. Seperti sedang diceramahi oleh Bu Sukma. "Bambang! Ayo masuk!" Siapa Bambang? Bram menoleh ke belakang, dan segala arah. Tapi, tidak ada siapa-siapa. "Maksud Ibu, SAYA?" tanya Bram menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya. "Iya, lah! Siapa lagi yang namanya Bambang di sekolah ini?" Bambang? Itu kan nama ayahnya Guntur... "Bram, Bu. Namanya Bram." Perempuan itu. Perempuan itu ternyata bisa menyebut nama Bram dengan lembut. Tanpa amarah. Ataupun nada yang sinis. Otomatis, Bram tersenyum, dan masuk ke dalam ruang BK. "Bram? Memang ada, ya? Kok Ibu lupa, ada murid yang namanya Bram? Yakin, nama kamu bukan Bambang?" Bu Sukma mau ngajak Bram berantem, ya? Segitu tidak populer kah Bram? "Saya belum amnesia, Bu. Seinget saya, nama saya itu BRAM. Mungkin, Bambang itu nama mantan Ibu, ya?" Bu Sukma sejenak berpikir. "Bukan, mantan Ibu mah namanya Antonio. Dia wajahnya arab-arab gitu, mirip Zayn Malik." Terserah, Bu. Yang penting Ibu Happy. Bram duduk di sebelah Stella, dan mengembuskan napas. "Lupakan tentang mantan Ibu. Jadi, kenapa Ibu manggil saya?" "Stella, coba jelaskan pada Bam-- maksud Ibu, BRAM." Stella menoleh sedikit pada Bram. "Itu, masalah lo main sepatu roda." "Lo ngadu?" Mata Bram menyipit. "Tidak, Bram. Dia malah yang menjelaskan, kalau kamu tidak terlalu salah. Tadi kamu jatuh, ya?" Bu Sukma menatap Bram kasihan. Bram menjawab singkat, "Ya." "Maksud Ibu, jatuh cinta. Cie." Bu Sukma tertawa tidak jelas, dan memandang Bram serta Stella secara bergantian. "Kalian pacaran, ya?" Bram dan Stella langsung berpandangan dengan cepat. "Nggak!" "Wah, kompak." Bu Sukma tersenyum miring. "Masa bukan pacaran? Terus, Stella kok bisa tau nama kamu, Bram? Dan ... kenapa tadi di depan pintu kamu senyum-senyum?" "Ibu salah paham. Saya tau nama dia, karena kita dulu sekelas! Nggak lebih!" Oh, nggak lebih? Bram harus mencari alasan yang tepat, untuk membela dirinya juga. "Saya tadi senyum-senyum, karena ... kagum sama penampilan Bu Sukma. Kok bisa awet muda banget, Bu? Apa rahasianya?" "Ah, kamu bisa aja. Ibu cuma rajin makan sayur dan buah, kok." Bu Sukma tersipu malu. Bram sedikit geli, jadi ia hanya berusaha tersenyum. Dan saat ia melirik Stella, ternyata perempuan itu juga sedikit tersenyum. Manis sekali.   "Pagi, Bu. Ini mie ayam pesenan Ibu..." Bram dan Stella menoleh ke sumber suara. Ternyata ada murid yang membawakan semangkuk mie ayam untuk Bu Sukma. "Bu, katanya ... rajin makan sayur dan buah?" ledek Bram. "Mie ayam lemaknya banyak lho, Bu!" tambah Stella. "Eh, erm ... yasudah, kalian boleh pergi. Saya mau makan dulu, lagipula kasus kalian nggak penting banget, kok. Lain kali, jangan main sepatu roda dan buat ribut, ya!" Bram rasanya ingin tertawa. Ia bangkit berdiri. "Baiklah, Bu. Semoga mie ayamnya enak. Tambah bon cabe, pasti lebih enak, Bu!" "Saya tidak suka pedas." Sial. "Oh, yaudah. Permisi..." Bram langsung kabur, dan diikuti dengan Stella. "Lo suka bon cabe juga?" tanya Stella saat mereka telah keluar dari ruang BK. "Juga? Lo suka bon cabe?" Stella mengangguk. Sebenarnya ia merasa sedikit gengsi untuk mengakuinya. "Gue suka pedes, sih." "Wah, sama! Kapan-kapan, kita makan mie ayam pake bon cabe bareng, yuk!" Sial, kenapa Stella sedikit terpesona dengan senyum semangat Bram itu? "O-oke." *** Setelah bel pulang sekolah berbunyi, ada empat orang yang berkumpul di studio musik. "Stella mana, sih? Kok nggak dateng-dateng?" tanya Guntur mulai bosan menunggu. "Bentar lagi dateng, sabar." Bram tetap tenang dan duduk bersandar di sofa. "Kira-kira, kita langsung latihan atau gimana, ya? Gue gerogi," kata Troy menghela napas. Ia juga sedikit gugup, karena ternyata satu band dengan Nico. "Santai, Troy. Gue juga gerogi, nih. Stella galak banget, terus kalo kita salah, pasti dihukum, deh." Rasanya, Troy sangat ingin memukul kepala Guntur. Tapi, ternyata Bram sudah mewakili dirinya. "Lo malah membuat Troy semakin gerogi, Pinter!" Troy tertawa. "Udah lebih baik, setelah lo mukul kepala Guntur, Bram." "Yoi!" Bram dan Troy ber-high five. Di depan wajah Guntur, karena Guntur duduk di tengah-tengah mereka. "Sori, ya. Tadi ada gangguan sedikit pas gue mau ke sini." Stella mengatur napasnya, setelah masuk dan menutup pintu studio musik. "Lama banget." Nico hanya berdecak, dan tidak terlalu peduli. "Ada apa? Lo gapapa, Stell?" tanya Bram cemas. Stella terlihat kelelahan. Stella meringis. "Gue tadi abis kabur, dari cowok cupu yang aneh." "Apa?!" Guntur bangkit berdir. "Mana cowok aneh itu?!" "Mau apa lo?" tanya Stella ketus. "Mau kenalan. Siapa tau dia pinter, dan mau disewa buat ngerjain PR gue. 'Kan lumayan!" Bram dengan gemas menarik Guntur untuk duduk kembali. "Coba ceritain, kenapa lo kabur?" tanya Bram serius melihat Stella. "Dia aneh. Dia nembak gue, pake mawar. Tapi, mawarnya udah mati. Terus, kata-katanya aneh banget. Gue takut..." "Kata-katanya gimana?" tanya Troy. Sedikit penasaran. "Stella cantik, harus pacaran sama cowok yang berkualitas. Kayak aku. Kamu mau jadi pacar aku, ya?" Bram seketika merinding. "Freak. Dia pikir, dirinya berkualitas? Narsis banget." "Dia mungkin nggak punya kaca, makanya nggak tau diri begitu. Sebelum dia mau nembak gue, seharusnya dia ngaca. Apa dia pantes?" Stella terkekeh hambar. Dan lagi-lagi, perkataan Stella membuat Bram merasa ditampar keras. Ngaca? Apa gue juga harus ngaca, Stell?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD