Bab 4

1290 Words
Mungkin, gadis ini terlihat sangat cerewet di sekolah. Dia memiliki banyak teman. Walau, ia tau hampir semuanya palsu. Dia juga selalu ingin dihormati, oleh siapapun. Ia tidak mau kalah, karena ia merasa, kalah adalah hal yang sangat terhina. Jika ia sedang kesal, ia bisa menjadi gadis yang pemarah. Tapi, terkadang ia malah hanya diam, tanpa emosi. Gadis ini bernama Stella Berliana. Ia memiliki paras yang cantik, kulit yang pucat, dan rambut yang panjang bewarna cokelat kemerahan. Tentu saja, ia mewarnai rambutnya. Karena, rambut aslinya bewarna pirang, seperti orang luar negeri. Ayahnya memang orang Jerman, sedangkan ibunya asli Indonesia. Stella senang dengan gen yang ia dapat dari ayahnya, tapi ia benci rambut pirangnya itu. Karena rambut pirangnya, selain mirip dengan ayahnya, juga sangat mirip dengan selingkuhan ayahnya. Ia tidak suka. Jadi, ia merubah warna rambutnya. Karena ia juga tidak ingin mengingat ayahnya yang sangat jahat itu. Sekarang, ia hanya tinggal bersama kakak serta ibunya. Ayahnya sudah kembali ke Jerman sejak setahun yang lalu. Dan sejak ayahnya pergi, Stella benar-benar berubah. Ia jadi jarang tertawa. Bahkan, ia jarang bicara dengan kakak serta ibunya. Rumah hanyalah tempat untuk dia makan dan tidur. Ia tidak mau bicara dengan keluarganya lagi. Mungkin, ia bicara. Tapi, itu hanya satu atau dua patah kata. Sepentingnya saja. "Stella! Sarapan dulu!" Stella terus berjalan melewati meja makan, lalu tiba-tiba, kakaknya menghentikan langkahnya. "Stella! Sampai kapan kamu kayak gini? Apa kamu nggak capek?!" "Nggak." Stella memandang Shera--kakaknya, dengan datar. "Kakak udah nggak bisa liat kamu terus kayak gini. Stell, mungkin dad memang udah pergi, tapi kita masih punya mom. Iya 'kan?" Stella membuang pandangan matanya ke arah lain. "Aku udah hampir terlambat." "Stella!" "Cukup, Kak. Aku nggak punya waktu, untuk urusan yang nggak penting. Aku berangkat." Stella berjalan melewati Shera, dengan langkah yang pasti. Mungkin aneh, karena Stella sangat marah terhadap ibunya. Tapi, ia merasa ibunya terlalu lemah dan baik. Makanya, ayah bisa dengan mudah selingkuh, dan pergi, meninggalkannya. Dan juga, Stella tidak ingin seperti ibunya. Ia harus selalu terlihat kuat, dan tidak boleh ada yang bisa merendahkan harga dirinya. Tidak boleh. *** Saat turun dari mobil mewahnya, Stella langsung tersenyum miring. Dan mulai memasang topengnya kembali. "Hei, Stella..." "Gila, Stella cantik banget hari ini!" "Pagi, Stella." Stella mendengus, dan memasang senyuman palsu. Semua orang mengagumi paras cantiknya. Itu sudah biasa. Stella tiba-tiba tersenyum lebar saat melihat Nico berdiri di depan kelas. "Hei, Nico!" "Eh, Stella." Nico terpaksa tersenyum. "Nic, nanti pulang sekolah ada latihan band." "Gue udah tau." Stella meringis. "Gue akan ngawasin kalian latihan." "Oh, ya? Oke." Stella bingung harus bicara apa lagi dengan Nico. Kenapa Nico selalu menjawab dengan singkat? "Misi, woy! Misi!" Stella, Nico dan murid lainnya langsung menoleh ke dua orang lelaki yang sedang bermain sepatu roda. Astaga, apa yang ada di pikiran kedua lelaki gila itu? "Misi! Nabrak, bukan salah gue!" teriak Guntur keras, Bram langsung ikut tertawa. Dan berjalan santai di belakang Guntur, menggunakan sepatu roda barunya. "Mereka gila," komentar Stella yang langsung disetujui oleh Nico. "Kayak bocah." Stella punya ide cemerlang. Ia berdiri di tengah-tengah koridor, dan membuat Guntur serta Bram panik. "Awas, Beb!" Stella tetap diam, bahkan tetap tersenyum miring. Guntur untungnya berhasil berhenti, dengan cara berpegangan pada salah satu murid yang tidak ia kenal. "Makasih, Bro. Anda sudah menyelamatkan nyawa saya." "Lo siapa, sih?! Lepas!" "Pelit banget! Gue juga terpaksa, kali." Guntur memang selamat. Tapi, mata Bram malah melebar saat dirinya hampir menabrak Stella. "Minggir!" Stella tiba-tiba raut wajahnya berubah. "Berhenti, Bram!" "Nggak bisa!" Stella akhirnya menyingkir, tapi Bram tetap menabrak bahunya. "Argh..." Brukk Bram jatuh dan badannya mencium lantai. "Aw ... sakit." Bram meringis, dan berusaha bangkit duduk. Tapi, sulit. "Mas Bram! Are you okay?! Wait!" Guntur melepas sepatu rodanya, lalu langsung berlari menghampiri bram. "Mana yang sakit?!" "Semuanya, Buddy. Aw..." Bram terus memegangi bahunya. Memang badannya mendarat di lantai dengan keras, tapi bahunya yang terasa paling sakit, karena sempat bertabrakan dengan bahu Stella. "Heh! Lo harus tanggung jawab, Stell!" Bram mendelik ke arah Stella yang sedang mengusap-usap bahunya juga. "Gue juga sakit, b**o!" "Siapa suruh lo ngehalangin jalan kayak tadi?! Punya otak, nggak?" Bram kali ini tidak mau kalah. Walau, ia sebenarnya tidak tega membentak Stella. Stella semakin melototi Bram. "Lo yang salah! Siapa yang suruh main sepatu roda di sekolah, hah?!" "Sudah! Cukup! Ini semua bukan salah Bram! Gue yang ngajakin dia main sepatu roda. Please, kalian jangan bertengkar lagi..." Guntur menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Stella dan Bram langsung terdiam. Antara kasihan, dan geli. "Buddy, udahlah. Bantuin gue ke UKS aja," ucap Bram dengan helaan napas. Ia membuka sepatu rodanya, dan Guntur juga ikut membantu. Saat Guntur membantu Bram untuk berdiri, Bram langsung berteriak kesakitan. "Pake perasaan, dong! Badan gue tambah remuk, Pinter." "Sori, Bro..." Stella memandang kepergian Bram dan Guntur dengan perasaan bersalah. Ia tidak menyangka, Bram akan terjatuh seperti itu. Pasti sakit. Berbeda dengan Stella, Nico malah tertawa puas dengan murid-murid lelaki lainnya. "b**o banget duo i***t itu." "Eh, Nico. Mereka 'kan satu band sama lo!" Nico mengernyit. "Oh, iya. Astaga, gue nggak ngerti, kenapa bocah kayak mereka berdua bisa lolos audisi." "Tanya Stella aja, Bro!" Nico langsung melirik stella. "Oh, iya. Lo jurinya 'kan? Kenapa mereka berdua bisa lolos?" Stella merapihkan rambutnya, menjawab dengan ketus. "Gue juga nggak mau lolosin mereka. Tapi, terpaksa." *** "Untung aja lo nggak jatoh, terus Stella tangkep. Dan kalian berdua jadi tatap-tatapan sampe sejam kemudian..." Bram memutar bola matanya. "Ini bukan sinetron, Bro." Hidup ini nggak mungkin bisa seindah sinetron. Realistis aja, lah. "Iya, syukurlah." Guntur menyengir lebar. "Kalo kalian berdua sampai kayak gitu, nanti gue cemburu." Bram meringis kecil. "Oh, Buddy. Gue nggak akan selingkuh..." "Heh! Gue masih normal. Gue nafsunya sama bebeb Stella, bukan lo." Guntur mendengus kesal. Lalu melipat tangannya di depan perut. "Eh, mending lo masuk kelas. Ekonomi, Bro! Pasti disuruh nyatet banyak, deh." Bram tidak bermaksud mengusir Guntur, tapi sahabatnya itu memang harus masuk. Jadi, Bram bisa meminjam catatan Guntur nanti. "Lo bener, yaudah, lo istirahat." Guntur memandang Bram prihatin. "Maaf, Bro." "Iya, gapapa!" Bram berusaha terkekeh, walau itu membuat badannya sakit. Setelah Guntur pergi, Bram memejamkan matanya. Dan mencoba tidur di bangkar, tapi ia kembali membuka mata saat pintu UKS terbuka. "Stella?" Bram sungguh terkejut melihat perempuan itu. Yang lebih membuatnya terkejut, Stella membawa teh hangat. "Nih, minum." Stella menyerahkan teh hangat itu, tapi Bram punya ide bagus. "Tangan gue sakit, susah digerakin, Stell. Gue gimana minumnya?" "Ah, lo nyusahin banget!" "Argh..." Bram meringis lagi, walau badannya tidak terasa sakit lagi. "Oke! Fine!" Stella akhirnya mendekatkan teh hangat itu ke mulut Bram. "Pelan-pelan." "Kok pahit?" tanya Bram setelah meminum sedikit teh yang Stella bawa. "Lo nggak boleh minum yang manis-manis, nanti diabetes, baru tau rasa." Stella mendengus, menaruh teh hangat itu di meja. "Ow, perhatian sekali." Bram tersenyum senang. "Jangan kepedean. Gue ke sini, juga karena terpaksa." "Terpaksa kenapa?" "Gue ... ngerasa bersalah." Bram tersenyum kecil, melihat raut wajah Stella yang salah tingkah. Ternyata, Stella masih punya hati nurani. "Gimana bahu lo? Masih sakit?" tanya Bram. "Nggak, kok. Kalo bahu lo?" "Masih sakit, sedikit." "Ohh." "Lo bisa mijit, nggak, Stell?" Mata Stella melebar. "Apa maksud lo?" Bram terkekeh. "Gue nanya aja. Yaudah, lo balik ke kelas, gih." Bram memejamkan matanya, untuk menghilangkan gugup dan perasaan aneh yang terus menjalar. Tapi, ia mengernyit saat merasakan pijitan di bahunya. "Maaf..." Suara Stella terdengar tulus di telinga Bram. "Dimaafkan. Udah, gue udah lebih baik. Makasih." Bram menahan tangan Stella yang ada di bahunya. Waktu terasa berhenti untuk beberapa saat. Mata mereka tidak sengaja saling berpandangan, tapi, Stella buru-buru mengerjapkan mata, dan menarik tangannya yang disentuh Bram. "Yaudah, gue balik ke kelas dulu, ya. Get well soon," ucap Stella, lalu pergi dengan debar jantung yang tidak karuan. Bram tersenyum lebar melihat kepergian Stella, lalu ia kembali melihat tangannya. Gue nggak bakal cuci tangan sampai besok...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD