1

960 Words
Jakarta, 20 Juli 2017 Kriiingg Alarm berbunyi nyaring memekik telinga. Dara meraba nakas di sebelahnya, mencari weker hitam yang sukses mengganggu tidur hari ini. Setelah dapat, lalu ia buang ke sembarang tempat. Gadis itu memang punya cara tersendiri untuk mematikan alarm pada wekernya. Tiga puluh menit kemudian. BRUKK "Aduh-" Tubuh mungilnya yang masih dibalut selimut tebal itu terguling dari tempat tidur, lantaran posisi tidurnya yang tidak pernah bisa diam dan tenang. Merasa waktu tidurnya sudah cukup, Dara bangkit. Kelimpungan mencari wekernya. Namun tidak ketemu. Akhirnya, dia melihat jam di ponsel yang tidak jauh darinya. "HAH?! UDAH JAM TUJUH?!" teriak Dara shock saat melihat jam di ponselnya menunjukkan pukul 06.45 WIB. Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali. Memastikan kalau apa yang dia lihat benar adanya. Sial! Ternyata benar. Dia telat!!! Untuk situasi seperti ini, biasanya Dara tidak pernah mandi. Cukup sikat gigi dan cuci muka, kemudian menyemprotkan parfume di sekujur tubuh dan seragam putih abu-abunya. "MA, AKU TELAATTT!!" pekiknya sambil berlarian menuruni anak tangga. "Udah biasa, kan?" Weny menyahut santai. Sudah biasa melihat pemandangan seperti itu pagi-pagi. "Ini semua gara-gara jam wekernya ilang, gak tau kemana." "Coba cari di kolong. Jangan-jangan kamu banting, lagi. Kemarin-kemarin kan juga gitu," Entah kenapa Dara selalu saja bilang wekernya hilang. Padahal dia tidak sadar kalau weker itu dia sendiri yang melemparnya tadi sampai wujudnya tidak berbentuk lagi. "Iya, ntar pulang sekolah aku cari, deh. Aku jalan, ya. Assalamu'alaikum," pamitnya sambil menyalimi tangan Weny. Tapi saat ingin bergegas mengambil kunci motor, wanita yang terlihat awet muda itu tidak melepaskan tangan putrinya. "Eh, tunggu," Dara menahan langkahnya. Membalikkan badannya malas-malasan ke arah mamanya. "Apalagi, sih, Ma? Aku udah telat, nih." "Sini kerahnya Mama benerin dulu." Tangan Weny meraih kerah baju putrinya yang belum terlipat. "Kamu tuh, ya, udah gede pake baju aja masih gak bener." Setelah selesai, Dara langsung terbirit mengambil kunci motornya yang tergantung di dinding kemudian gadis itu berlalu bersama scoopy hitamnya yang ia beri nama Inem. Dara mengendarai scoopy-nya dengan kecepatan penuh. Kata 'telat' selalu menjadi alasan utama yang membuatnya ngebut di jalan. Nyiiiitt Mesin motornya berdecit mengilukan. Hembusan napas lega nampak jelas di wajahnya. Nyaris saja Dara menabrak kakek pedagang es bersama gerobaknya. Kalau tidak melakukan rem dadakan barusan, bisa runyam urusannya. Setiba di depan gerbang SMA Garuda, Dara menepuk jidatnya kasar. "Allahu, gue lupa!!! Sekarang hari pertama MOS! Bodo ah, yang penting gue masuk." Sehabis memarkirkan motornya, Dara berlari menuju lapangan dimana seluruh peserta didik baru dibariskan, lengkap dengan atribut MOS yang membuat mereka semua persis terlihat seperti pasien RSJ. Namun, tiba-tiba saja gadis itu dihadang oleh tiga perempuan berambut panjang dan salah satunya berkacamata. Kalau dari tampilan mereka yang memakai Blazer cokelat bertuliskan pengurus OSIS, sepertinya mereka termasuk dari Panitia MOS. "Atribut lo mana? Main seenaknya mau masuk barisan," tegur salah satu dari mereka yang memakai kacamata sambil melipat tangannya di depan d**a. "Lupa, Kak. Kesiangan," Dara menjawab tanpa melihat wajah cewek itu. Bukan karena tidak berani, tapi ia takut emosinya memuncak ketika melihat keangkuhan wajah yang Dara yakini mereka adalah kakak kelasnya. "Alibi!" celetuk salah satu dari mereka yang memegang sebuah buku filsafat. "Nama lo siapa?" Dara melirik sebentar seseorang yang baru saja bicara dengan nada ketus itu. Sok cantik, sok pinter, tapi kalau pakai kacamata gitu... kelihatannya emang pinter, sih. Ah, tapi tetap saja Dara tidak suka tipe-tipe anak kesayangan guru!!! "Gue lagi ngomong sama patung, ya?" Perempuan kacamata itu berucap lagi dengan volume lebih tinggi. Dara tersentak. "Andara Stefionita, kak." "Masih anak baru aja gaya lo udah tengil gini!" Dara pikir, sudah cukup dia meredam amarahnya. Kini dia mengangkat wajahnya yakin. Menatap empat mata cewek itu lurus. "Gak usah bentak-bentak juga, kali! Sekarang saya diizinin masuk barisan apa gak? Kalo gak boleh saya mau pulang, kak." "Masuk sana! Siap-siap lo berhadapan sama Andra!" Dengan raut wajah yang super duper bete tingkat dewa neptunus, Dara barbaur dengan peserta didik baru lainnya di dalam barisan. "OSIS s****n!" gerutu Dara kesal. Baru tiga puluh lima menit berlalu, tetapi rasanya seperti tiga abad. Karena entah kenapa, waktu berjalan seperti merayap ketika Bu Zainab Wiraningsih---selaku Kepala Sekolah SMA Garuda---sedang menyampaikan pidatonya. Setelah hampir dua jam berbicara, bibirnya mulai mengering, warna lipstick-nya mulai memudar, barulah wanita tua yang fashionable itu mengakhiri pidatonya dengan salam penutup. Semua barisan dibubarkan dan masuk ke kelas masing-masing. "Heh, cewek!" Dara yang baru berjalan selangkah menuju kelasnya, alih-alih dia dicolek oleh perempuan di belakangnya. "Lo dipanggil, tuh, sama kak Thalia," "Kak Thalia?" Dara mengernyit, karena dia merasa tidak mengenali sama sekali nama yang barusan perempuan itu sebutkan. Tanpa berani menoleh ataupun menunjuk tiga senior yang ia maksud, orang yang tidak Dara kenali itu menjelaskan dengan bisikan, "Iya kak Thalia yang pake kacamata, kalau yang dikuncir itu namanya kak Reina, nah kalau yang lagi pegang buku itu kak Dhira."  Dara hanya manggut-manggut mendengar apa yang dikatakannya. Saat menoleh, ekspresi Dara berubah seratus delapan puluh derajat. Yahilah, mereka lagi mereka lagi ternyata! batinnya. "Saya, kak?" tanya Dara seraya menunjuk dirinya sendiri. "Iyalah, siapa lagi! Sori tadi nama lo siapa? Gue lupa." Thalia menunjuk wajah Dara sambil mengingat-ingat. "Dara, Andara!" jawabnya singkat dengan nada ketus. "Ah, Dara, sekarang lo lari keliling lapangan sepuluh kali, baru lo gue izinin masuk ke kelas lo!" Dengan rasa tidak ikhlas, akhirnya Dara mau melakukan apa yang diperintahkan perempuan berkacamata itu. Pada putaran ketiga, ketika Dara tidak lagi mendapati tiga senior rese itu mengawasinya, buru-buru ia meraih ranselnya. Bergegas pulang melalui gerbang belakang yang saat itu tidak dikunci. "Gila ya, tuh, orang! Senioritas banget. Mati gue yang ada kalo beneran lari sepuluh kali kelilingin lapangan. Dikira gue manusia apaan!" oceh gadis itu saat mengendarai motornya menuju perjalanan pulang. Jangankan Dara, mungkin atlet lari terhebat pun pasti akan pingsan jika diminta untuk berlari mengelilingi lapangan SMA Garuda yang begitu luas sebanyak sepuluh kali. __________________________________________________________________ To be continue... Gimana part pertamanya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD