Pingit

1420 Words
Persiapan pernikahan sudah hampir seratus persen, kedua keluarga sangat antusias sekali untuk menyambut hari bahagia tersebut, begitu juga dengan sepasang calon pengantin yang masih disibukkan dengan kepentingan mereka sendiri namun masih menyempatkan diri untuk mengurus semua persoalan pernikahan. Hari istimewa itu akan tiba dalam dua minggu kedepan, mereka masih menyempatkan diri untuk bertemu karena masih belum masuk masa pingit walaupun sudah sangat susah untuk bertemu. Apa lagi Sela, dirinya seakan tidak pernah ingin jauh dari kekasihnya, selalu saja ada alasan untuk bertemu dan itu hanya akal-akalannya saja hehe. Reno hanya menggelengkan kepala saja setiap kali gadisnya itu memaksakan diri untuk datang ke kantor, padahal sudah dilarang oleh Papah dan Mamahnya. Mungkin rasa rindunya sangat menumpuk, biasanya bertemu setiap hari sekarang mulai berkurang tetapi bukankah nantinya ketika mereka sudah menikah akan bertemu setiap hari, setiap saat bahkan setiap waktu? Ah! Dasar aja itu memang benar-benar akal-akalan Sela saja. "Sela, kamu 'kan baru saja dari kantor Reno, masa hari ini mau kesana lagi?" protes Mamah Vasya. "Mamah ih! Memangnya kenapa, sih? Masalahnya dimana kalau Sela tiap hari kesana?" "Ya ampun, Nak! Kalian itu sebentar lagi mau nikah, seharusnya sudah diam di rumah tidak kemana-kemana apalagi harus bertemu! Kamu ini! Kayak kucing aja gak kuat kalau gak ketemu kekasihnya!" "Haha, Mamah, masa anak sendiri di samain sama kucing?" sahut Papah Dedi. "Ya bagaimana lagi, Pah? Memang kenyataannya seperti itu! Sela sudah kayak kucing yang mau kawin dan gak kuat kalau gak ketemu sehari aja!" "Mamah ih! Sela bukan kucing!" "Iya memang bukan kucing, tapi kelakuannya kayak kucing yang kebelet kawin!" "Nikah, Mamah, baru kawin," timpal Papah Dedi. "Ya pokoknya seperti itu, lah, Pah." "Nak, sudahlah nurut saja sama Mamahmu daripada nantinya akan ada perang dunia di rumah ini. Lagian benar kata Mamah, kamu itu seharusnya sudah dipingit, gak boleh kemana-kemana, apalagi ketemu dan seharusnya ponsel juga disita!" "Loh? Kok? Papah jadi bela Mamah, sih?" "Ya terus Papah bela kamu? Bahaya, Sayang! Bisa-bisa Papah tidur di luar, gak deh!" ucapnya sambil terkekeh. "Papah sama Mamah menyebalkan!" rajuknya, Sela kembali ke kamarnya dengan menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai dan membuat Papahnya terkekeh pun Mamahnya menggelengkan kepalanya saja. "Bagaimana, sih, anakmu itu, Dedi! Heran sikapnya masih begitu saja! Mau nikah, harusnya bisa lebih dewasa, tapi ini malah makin kayak anak-anak!" "Sabar, Vasya. Itu juga 'kan anakmu, dan lagi kamu seperti tidak pernah muda saja!" "Loh? Aku dulu tidak seperti itu! Dia mah benar-benar kayak kucing kebelet kawin tau! Sebel, aku!" "Sudah jangan marah-marah terus. Kamu itu lemah lembut, gak pantas marah-marah seperti ini," goda Papah Dedi menoel dagu istrinya yang sedang marah itu. "Aku gak marah, Ded, hanya saja tidak habis pikir dengan sikap dan tingkah lakunya itu! Aku khawatir nanti kedepannya jika sikap dia masih seperti ini, bagaimana coba tanggapan Reno? Apakah nantinya tidak muak dengan tingkah Sela?" "Aku juga berpikir sama sepertimu, Vasya. Tetapi, ya mungkin memang ini sudah jalan dan jodohnya. Kita doakan saja, anak kita nantinya setelah menikah bisa berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya." "Semoga sama keluarga Reno bisa menerima segala kekurangan putri kita yang bar-bar itu, aamiin." "Aamiin, Sayang." *** Aghrrr …! Kesal, kesal, kesal sekali deh sama Mamah! Menyebalkan sekali Mamah Vasya itu! Tidak bisa apa sedikit saja berpihak padaku dan juga mengizinkan untuk pergi! Masa iya, hanya ingin bertemu dengan Reno saja dilarang-larang! Pingat-pingit! Aturan dari mana, sih, itu! Heran! Sela menggerutu di dalam kamarnya sambil bolak-balik kayak setrikaan, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang besar dan matanya menatap atap kamar, menerawang jauh dengan harapan rasa kesalnya hilang seketika. Ia menarik nafas panjang, berusaha untuk tenang kembali dan tidak emosi lagi. Huft … kesal sih, tapi bagaimana lagi? Mau tidak mau aku harus menuruti ucapan Mamah. Benar kata Papah, jika tak dituruti nantinya akan ada perang di dalam rumah dan aku tidak mau itu terjadi. Aku terlalu menyayangi dan mencintai beliau tapi sikapnya seringkali over padaku sehingga membuatku merasa kesal. Aku hanya rindu pada lelaki tampan yang sebentar lagi akan menjadi suamiku itu. Aku rindu melihat wajah tampannya, aku rindu berada di dekatnya, aku rindu masuk ke dalam pelukannya dan aku rindu belaian lembutnya. Aahh … semuanya yang ada di dalam diri lelaki itu membuatku candu. Ya, aku merasa kecanduan terhadapnya, terhadap tubuhnya, hidupnya, dunianya, keseharian dan kegagahannya. Oh tidak! Pikiran macam apa ini! Bagaimana bisa aku memikirkan soal kegagahannya? Haha gila! Aku benar-benar sudah tergila-gila padanya. Duniaku berubah tentangnya, aku merasa selalu ingin mendapatkan yang lebih darinya. Setelah menikah nanti, aku akan membuatnya bahagia bersamaku apalagi urusan di atas ranjang. Ah … aku tak sanggup lagi membayangkan wajahnya yang tampan itu penuh dengan peluh dan juga kelelahan akibat permainan panas kami, aku tak sanggup menahan untuk tidak memiliki anak darinya. Reno, apakah kau merindukanku? Apakah kau ingin bertemu denganku? Apakah kau kesal tidak bertemu setiap hari denganku? Ah, sedang apa lelakiku itu sekarang ya? Aku penasaran sekali, kalau di telpon apakah diangkat? Aku coba aahh …. Sela mengambil ponselnya di dalam tas lalu jari indahnya mulai menari di atas ponsel tersebut dan menelpon kekasihnya. Dua kali telponnya tidak juga diangkat, sepertinya lelaki itu sedang disibukkan dengan pekerjaan dan itu berhasil membuat Sela semakin kesal saja. Saat ia ingin membanting ponselnya, tiba-tiba ponselnya berdering kembali dan ternyata Reno menelpon balik. "Assalammualaikum, Sayang," sapa Reno lembut dari seberang sana. "Waalaikumsalam! Kenapa, sih, tadi gak di jawab!" "Maaf Sayang, tadi aku habis shalat dzuhur." Sela melihat jam dinding yang menyandarkan dirinya di dinding berwarna biru langit itu. "Oh iya, maaf. Kamu sudah makan siang, Ren?" "Belum, Sayang. Aku menunggumu, 'kan tadi katanya mau kesini." "Aku gak jadi kesana!" "Kenapa cintaku?" "Gak dibolehin sama Mamah! Kesal banget tau, gak, sih! Masa ketemu kamu saja gak boleh! Mamah tuh ribet banyak banget aturannya! Heran deh! Memang masih ada apa pangat-pingit seperti ini! Please deh, jaman sudah canggih seperti ini, kok, masih saja ada pemikiran kolot seperti itu." "Sela! Kamu tidak boleh berbicara seperti itu! Apa susahnya, sih, menuruti keinginan Mamah? Toh semuanya demi kebaikan kita 'kan?" "Kok kamu jadi bela Mamah, sih!" "Aku di sini gak bela siapa-siapa! Tapi aku meluruskan yang salah! Kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Mamah. Beliau itu Mamahmu, bisa-bisanya bersikap seperti ini! Bagaimana nanti sikapmu terhadap Mamihku!" "Kenapa kamu tega sekali bicara seperti itu? Aku cuman merasa kesal tapi kenapa kamu sampai berbicara seperti itu sangat menyakitkan sekali!" "Aku tidak bermaksud menyakiti, tapi aku ingin kau berubah menjadi lebih baik! Sebentar lagi akan menjadi seorang istri dan juga ibu, jadi kamu harus bisa jaga ucapanmu agar tidak seenaknya lagi." "Iya, maaf. Aku salah." "Bukan ke aku minta maafnya, tapi ke Mamah." "Iya nanti aku minta maaf ke Mamah." "Nah begitu, dong. Itu baru calon istri dan ibu yang baik. Semoga kedepannya kamu bisa menjadi lebih baik lagi, ya, ingat! Berubah!" "Iya, Sayang. Kamu makan siang dulu sana, aku 'kan gak jadi kesana." "Iya, aku sudah meminta Sesil untuk memesankan makan siang." "Awas ya, kamu jangan centil sama dia!" "Untuk apa? Aku hanya centil sama kamu, gak usah cemburu karena di hatiku hanya ada kamu seorang saja." "Aku merindukanmu." "Aku juga sangat merindukanmu." "Kamu rindu sama apa?" "Ya rindu sama diri kamu dong, Sayang. Memangnya kamu rindu sama apa?" "Aku rindu sama semua yang ada di tubuhmu. Aku merasa kecanduan dengan semuanya terutama kegagahanmu. Aku rindu dibuat tak berdaya di hadapanmu." "Hm … kamu mulai nakal, ya. Sabar ya, sebentar lagi kita akan bisa melakukannya setiap saat dan setiap waktu." "Kamu janji?" "Pasti, Sayang. Tanpa berjanji, aku akan selalu membuatmu tak berdaya di hadapanku." "Ah, aku tak sabar menunggu hari itu tiba." "Dua minggu lagi, Sayang. Tahan dan persiapkan dirimu untuk menerima kegagahanku yang tiada tara ini, haha." "Ih Reno! Kamu membuatku malu." "Malu atau ingin lebih?" Dan masih banyak obrolan tidak penting yang mereka ucapkan dan saling timpal satu sama lainnya. Mamah Vasya mendengar dari balik pintu hanya menggelengkan kepalanya saja, merasa anaknya benar-benar seperti kebelet kawin. Beliau hanya mampu menepuk keningnya pelan. Dasar anak jaman sekarang! Benar-benar tidak bisa di kasih tau! Sudah macam kucing mau kawin saja! Biasanya lelaki yang kebelet, lah ini perempuannya! Anakku pula yang kebelet! Ya Allah apa salahku hingga mempunyai anak seperti itu! Padahal dulu, aku yang dikejar oleh Papahnya, lah sekarang malah dia yang mengejar calon suaminya, haha! Benar-benar dunia terasa sudah terbalik! Mamah Vasya melangkah pergi menjauh dari kamar anak semata wayangnya itu sebelum ketahuan olehnya karena sudah menguping percakapan yang membuat siapa saja mendengarnya pasti terkikik geli. Ya bagaimana tidak terkikik geli? Obrolan mereka semakin lama semakin ngaco saja! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD