TUJUH

1191 Words
*** Ini adalah malam pertama Axel tidur dirumah orang. Jam dinding rumah Sisi sudah menunjuk ke angka 11 tapi Axel masih terjaga. Tangannya sibuk memukul kaki dan lengannya yang terus dihinggapi nyamuk. Berkali-kali Axel merubah posisi tidurnya tapi rasanya tetap tak nyaman. Mengingat ia saat ini tengah berbaring di sofa ruang tamu. Sofa itu tidak terlalu besar dan terlihat kusam. Mungkin umurnya sudah puluhan tahun. Tadi Axel sempat ingin masuk ke dalam kamar Sisi tapi sialnya pintu itu terkunci. Mungkin di dalam sana udara lebih hangat dan satu hal lagi, tidak ada kawanan nyamuk. "Gila. Bisa anemia gue. Banyak banget nyamuknya!" gerutu Axel sambil menepuk pipi kanannya yang dihinggapi nyamuk. Saat Axel sedang sibuk mengusir nyamuk yang mencoba menggigitnya, pintu kamar Sisi tiba-tiba terbuka. Pandangan mata Axel seketika beralih menatap Sisi yang sedang berjalan gontai menuju dapur. Membuka kulkas dan mengambil minum. Lalu mata Axel beralih menatap daun pintu kamar Sisi yang terbuka lebar. Kesempatan. Axel tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan langkah mengendap, ia masuk ke dalam kamar Sisi yang remang. Naik ke atas tempat tidur dan langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Suara derap langkah kaki mendekat dan Sisi masuk ke dalam kamar. Mengunci pintunya sambil menguap lebar. Ia tidak menyadari satu hal bahwa Axel berada didalam kamarnya. Setelah melepas alas kakinya, Sisi merangkak naik ke tempat tidur. Ia sedikit berkeringat, efek setelah minum air. Memiringkan badannya kekiri dan langsung memeluk guling disebelahnya yang entah kenapa terasa sedikit besar dan keras. Tapi Sisi tak mempedulikan hal itu. Matanya terasa berat sekali. *** Kening Sisi mengernyit saat ia merasakan ada sesuatu yang menindih sebagian bahunya. Perutnya juga terasa berat, seperti ada beban yang menindihnya. Bulu kuduk Sisi tiba-tiba meremang saat ia merasakan udara menerpa area sekitar lehernya. Dalam keadaan mata terpejam dan setengah sadar, otak Sisi bekerja. Mencoba mencari tau apa yang menimpa dirinya. Saat tiba-tiba kaki Axel mendarat di atas kedua kakinya, mata Sisi spontan terbuka. Ada yang tak beres. Ia menoleh kesamping dan pucuk hidungnya langsung membentur kening Axel. Untuk beberapa detik Sisi masih belum sadar dengan apa yang terjadi, hingga akhirnya di detik ke sepuluh Sisi sadar dan meronta dari kungkungan tangan dan kaki Axel yang membelit kakinya. "AXEL. WOI, BOCAH EDYAN. LEPASIN GUEEEE!!" teriak Sisi nyaring. Tangan Sisi mencengkram lengan Axel dan mencoba memindahkan dari atas perutnya. Tapi dalam sekejap saja tangan itu kembali mendarat diatas perut Sisi. Sisi mencoba menggerakkan kedua kakinya tapi kaki kiri Axel begitu kuat menindihnya. "AXEEEL. WOI, BUDEG LO YA? NGAPAIN LO TIDUR DISINI?" "Lo bisa diem nggak, sih?" suara Axel yang serak dan terpaan nafasnya yang menyapu leher Sisi membuat Sisi terpaku. Hembusan nafas Axel begitu hangat menyapu kulit lehernya. "Ax---lo bisa pergi nggak?" tanya Sisi dengan suara pelan. "Ngantuk, Si." "Tidur diluar atau gue tendang lo!" ancam Sisi. Sisi benar-benar takut karena posisinya saat ini sangat bahaya. Ia sama sekali tak bisa bergerak. Axel tak menjawab dan nafasnya terlihat teratur. "Ax, gue nggak bercanda. Lo yang minggir atau gue?" Lagi-lagi Axel tak menjawab membuat Sisi mendengus kasar. "Ax, gue teriak nih kalo lo nggak mau keluar dari kamar gue!" Sisi diam untuk beberapa detik, menunggu respon Axel. Tapi laki-laki itu sama sekali tak menghiraukannya. "Ax, gue ngomong sam----ma lo!" Axel tiba-tiba membuka mata dan malah berada di atas tubuh mungil Sisi. Ia menekuk sikunya dan dijadikan untuk menopang berat tubuhnya. "Lo tau ini masih malem? Kalo lo teriak-teriak terus, lo mau digerebek Pak RT? Dikiranya kita ngapa-ngapain?" Sisi menggeleng pelan sambil menatap Axel yang tampak tersenyum. Entah kenapa semua perlakuan Axel membuat tubuhnya seolah mati rasa. Harum aroma nafas Axel tercium hidungnya. "Bagus. Sekarang tidur dan nggak usah berisik!" Axel kembali membaringkan tubuhnya disebelah Sisi dan kembali memeluk Sisi. Kali ini kepala Axel tidak menelusup dilekukan leher Sisi, tapi berada di atas kepala Sisi. Sisi bisa merasakan dagu Axel menempel dipucuk kepalanya. "Tidur!" Telapak tangan Axel perlahan mengusap punggung Sisi dan entah kenapa Sisi merasa nyaman tidur dalam dekapan Axel. Senyumnya tersungging dibibir tipisnya. Tak jauh beda dengan Sisi, Axel tersenyum tipis saat melihat respon positif dari Sisi. Ternyata tidak susah menaklukkan hati Sisi. *** Hari pertama Axel menginap dirumah Sisi. Jam 9 pagi tapi laki-laki itu masih terlelap diatas tempat tidur Sisi. Melihat hal itu membuat Sisi mendengus kesal. Bagaimana bisa ia semalam tidur seranjang dengan mantan yang sangat ia benci? Satu-satunya cowok yang tidak ingin Sisi temui lagi. "Ax, bangun nggak lo?" suara Sisi menginterupsi tapi Axel masih saja memejamkan matanya. Sisi maju selangkah untuk memastikan apakah Axel benar-benar belum sadar. "Ax!" tangan Sisi menyentuh pundak Axel dan menggoyangnya pelan. "Bangun woi!" Axel hanya menggumam kecil membuat kening Sisi mengernyit. Sisi berdecak kesal saat melihat Axel terlelap lagi. "Ax, gue tinggal ya. Gue mau jalan----" "Hah? Kemana?" potong Axel cepat. Kening Sisi semakin mengernyit melihat Axel yang sudah membuka matanya. "Lo udah bangun dari tadi, kan?" seru Sisi. Axel tersenyum lebar tanpa memperlihatkan giginya. Tangannya meraih guling dan memeluknya. "Gue nyaman tidur disini!" "Ck. Pulang sana. Gue mau jalan!" "Kemana?" tanya Axel lagi. Kali ini ia sudah bangun dan duduk di tengah kasur. "Kemana aja. Suntuk gue ada lo disini!" Sisi membalikkan badannya dan hendak pergi meninggalkan Axel. Tiba-tiba tubuh Sisi terhuyung kebelakang karena tangannya dicekal oleh Axel dan tubuh mungil itu mendarat diatas kasur. Axel langsung melingkarkan kedua tangannya ke pinggang ramping Sisi. "Kalo gue pengen lo disini aja gimana?" Sisi menahan nafasnya dan memejamkan matanya sebentar saat hembusan nafas Axel menerpa kulit tengkuknya. Saat Sisi mulai sadar, ia menggeliat dan meronta dari kungkungan tangan Axel. "Bisa lepasin nggak?" desis Sisi. "Hm," Axel malah menelusupkan wajahnya kedalam lekukan leher Sisi. Wanita mana yang tidak spot jantung jika ada laki-laki yang berbuat seperti ini padanya, terutama didalam kamar. Dan Sisi hanya bisa diam. Dalam diamnya ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang berpacu semakin cepat dan berharap Axel segera melepaskan dirinya. "Siap-siap. Habis ini kita kerumah buat ketemu sama Mommy!" *** Sisi melangkah ragu memasuki bangunan megah di depannya. Rumah Axel, ah tidak lebih tepatnya rumah orang tua Axel. Dulu, Axel tidak pernah mengajaknya pulang kerumah apalagi untuk menemui orangtuanya. Dan kini, saat hubungan mereka kandas, Axel dengan terang-terangan membawa Sisi kerumahnya untuk dikenalkan dengan orang tuanya. Langkah Sisi mulai melambat saat sudah mendekati pintu utama. Ia sudah berjanji jika tidak akan berhuhungan lagi dengan Axel. Ia tidak ingin masuk lagi kedalam hidup Axel. "Ayo, masuk!" titah Axel. "Sorry, Ax. Gue nggak bisa. Gue pulang---" "Ini daerah gue. Keluar-masuk daerah sini harus ada ijin dari gue. Masuk!" Axel hendak meraih tangan Sisi tapi Sisi segera menepisnya. "Jangan lo pikir lo bisa berbuat seenaknya sama gue, Ax. Inget. Dulu lo yang ninggalin gue dan sekarang lo masuk lagi kedalam hidup gue. Lo pikir gue apa? Tempat persinggahan sementara? Lo pulang saat lo capek dan lo pergi saat lo bosan?" "Sisi, bisa nggak untuk saat ini nggak bahas masalah itu disini?" Sisi menggeleng cepat. "Nggak bisa. Mulai hari ini, detik ini juga jangan-pernah-gangguin-hidup-gue-lagi!" Sisi berbalik dan segera berlari meninggalkan rumah Axel. Tak mempedulikan teriakan Axel yang memanggil namanya. Ia hanya terus berlari. Berlari dari Axel. Berharap dengan berlari, Axel tidak bisa mengejarnya lagi. Axel tidak bisa masuk ke dalam hidupnya lagi. *** Surabaya, 13 Mei 2018 *ayastoria TUJUH
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD