Senyum Aina

979 Words
Aina duduk di balkon rumah. Ia mengelus perutnya yang semakin membesar, satu bulan pernikahan Allah menitipkan anugerah di rahimnya dan sekarang kandungannya memasuki usia delapan bulan. Jam menunjukan pukul delapan malam, Aina masih memandangi halaman rumah berharap sang suami segera pulang. Ia sudah mencoba menghubungi Adnan, tetapi tak juga ada jawaban membuat rasa cemas dan khawatirnya semakin memuncak. Adnan--lelaki yang menikahinya sembilan bulan yang lalu--itu selalu berpenampilan sederhana, ramah, dan karena kebaikan hatinya membuat Aina begitu menghormati sang suami. Perkenalan mereka berawal ketika Adnan menolong Aina yang hampir menjadi korban perdagangan manusia. Niat hati ingin membantu mengantar pulang ke kampung halaman, tetapi Ayah Aina justru meminta mereka menikah segera. Suara deru motor terdengar di halaman rumah, Aina bergegas keluar menemui suaminya. "Assalamualaikum." Adnan mengucap salam. "Wa'alaikum salam." Aina mencium tangan suaminya, menyambut kedatangan sang lelaki dengan senyum mengembang seperti biasanya dan selalu mendapat hadiah kecil dari Adnan. Cup! Adnan mencium kedua pipi istrinya. "Kenapa kamu nungguin Abang? Ini sudah larut malam nggak baik buat kesehatan Ibu hamil," kata Adnan seraya mengelus perut sang istri. "Enggak biasanya Abang pulang larut. Aku khawatir, Bang," ucap Aina berkaca-kaca. Sejak hamil, ia memang menjadi sensitif. "Sudah makan? Abang bawakan martabak bangka kesukaanmu." Adnan menyodorkan bungkusan yang dibelinya saat pulang tadi. Dengan wajah semringah, Aina mengambil bungkusan yang diberikan suaminya. Adnan memang kerap membelikannya sesuatu saat pulang bekerja. "Terimakasih, Bang." Aina kemudian melangkah ke dapur menyiapkan air hangat untuk suaminya. Adnan bekerja di perusahaan jasa pemasangan elektronik, membuat ia kadang pulang larut jika ada yang harus diperbaiki. Gaji yang tidak sebesar pekerjaannya dulu di Jakarta, membuatnya kadang bingung mengatur keuangan. Maka ketika ada tambahan lembur di luar jam kerja, ia akan mengambilnya untuk menambah pemasukan. Aina memandang wajah Adnan yang sudah terlelap. Gurat-gurat lelah nampak jelas di wajah lelaki tersayangnya itu. Waktu persalinan semakin dekat, tetapi tabungan untuk biaya bersalin masih kurang dan dengan memandangi wajah sang suami ia berharap kekhawatirannya sedikit berkurang. *** Sinar matahari pagi menerobos dari balik jendela, tadi selepas subuh Aina tidur kembali karena merasa kurang sehat. Ia menoleh ke samping, tetapi suaminya sudah tak ada di sana. Pasti Adnan sedang di kamar mandi untuk bersiap kemudian berangkat kerja jam tujuh seperti biasanya, tetapi saat ia melihat jam masih menunjukkan pukul enam Aina heran dan segera duduk di tepi ranjang. Ponsel milik suaminya di atas nakas berdering, membuat Aina terkejut. Ia melirik untuk melihat siapa yang sudah menelepon sepagi ini. Aina baru saja akan menekan tombol terima karena berpikir mungkin itu telepon penting tetapi pangilan sudah terputus. Kemudian, masuk sebuah pesan singkat. Aina mengusap layar ponsel berniat untuk membaca pesan, tetapi ponsel suaminya terkunci menggunakan sandi. Ia berpikir sejenak, mungkinkah tanggal pernikahan mereka atau tanggal awal bertemu? Ketika Aina ingin mencoba memasukan pasword, pintu kamar mandi terbuka, dan Adnan keluar dari sana. Aina meletakan kembali ponsel suaminya dan tersenyum menyambut Adnan pagi ini. "Bang, kok nggak bangunin Aina?" tanya Aina. "Kamu tadi malem nggak bisa tidur, pasti butuh banyak istirahat. Abang nanti sarapan di kantor saja, kamu lanjutkan istirahatmu." Aina terharu dengan perhatian Adnan, kebahagiaannya terasa lengkap karena cinta sang suami. Ia berharap, suaminya akan tetap seperti ini sampai mereka menua bersama. Aina mengantar kepergian suaminya sampai pintu depan. Ia mencium tangan Adnan kemudian, mengucap salam. Kebiasaan yang Aina pelajari di pesantrennya kala itu. Dulu, orang tuanya khawatir dengan pergaulan dan nasib Aina di masa depan. Maka mereka memasukkan Aina ke pesantren di sebuah kota besar. Akan tetapi, ketika menginjak jenjang SMA Aina memutuskan berhenti sekolah karena ia tidak bisa merubah sikap yang menurut orang tuanya, nakal. Bukan nakal Aina menyebutnya, ia bersikap seperti itu karena bosan orang tuanya terlalu overprotective dan Aina lebih memilih bekerja di Jakarta. Naas, ketika orang yang mengantarkan Aina bekerja dan mengiming-imingi gaji besar dengan pekerjaan ringan, ternyata hanya omong kosong. Sebab, sesampainya di Jakarta, Aina justru di pekerjakan di sebuah penginapan tempat di mana banyak wanita penghibur. Beruntung waktu itu Aina bisa bertemu Adnan, saat ia ke hotel untuk menemui seorang bos kaya yang sudah menyewanya tanpa sepengetahuannya. Kala itu, Adnan bekerja sebagai Room Boy yang mengantar Aina ke kamar. Jodoh memang kuasa Alloh dan jodoh akan menemukan jalannya sendiri. Malam itu, Aina terkejut karena bos yang akan ia temui ternyata bermaksud lain. Gadis itu berhasil kabur, ia bergegas meninggalkan kamar hotel terkutuk itu. Saat akan menaiki taksi, Aina kebingungan harus ke mana. Ia memberanikan diri bertanya kepada Adnan dengan menyebutkan alamat kampung halamannya. Rasa iba sekaligus simpati, membuat Adnan membawa Aina sementara ke kontrakan dekat hotel yang disewanya. Kebaikan Adnan yang malam itu mau menampungnya, bahkan secara tidak langsung sudah menyelamatkannya di saat ia sendirian berada di Jakarta membuat Aina jatuh cinta. Lelaki baik hati itu, kemudian mengantarkan Aina pulang ke kampung. Akan tetapi, ia tak pernah menduga jika orang tuanya salah paham dan menikahkan mereka. Usia Adnan dan Aina terpaut jauh, bilangan usia Adnan lebih di atas Aina. Kedewasaan suaminya terbukti karena dalam kondisi keuangan yang masih serba terbatas, tak membuat Adnan mengeluh akan keadaan. Cara berpikir dan bagaimana ia bersikap menunjukkan kematangan dalam berpikir. Ting! Notifikasi pesan berbunyi pada ponsel Aina, ia melihat siapa yang mengirimkannya. [Dek, udah makan? Jangan telat makan terus minum susunya, ya. Biar dede bayi sehat dan kuat kayak papanya.] Aina tersenyum membaca pesan dari Adnan. Perhatian-perhatian kecil seperti ini yang membuat Aina semakin mencintai suaminya. [Udah, Bang. Abang jangan lupa sarapan, maafin Aina tadi nggak sempet buat sarapan buat Abang, tapi insyaAllah nanti malam Aina masakin masakan kesukaan Abang] Balasan terkirim, dan centang biru menandakan pesan Aina langsung terbaca oleh Adnan. [Ok, Sayang] Balasan dari suaminya membuat pipi Aina bersemu, karena Adnan menyertakan emoticon cinta. Aina merasa pacaran setelah menikah itu lebih indah karena setiap waktu selalu membuatnya kasmaran dengan pasangan halal. Dari pada menjalin hubungan tanpa kejelasan dan ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya, hanya jagain jodoh orang itu namanya dan sakit hati yang ada. Ibarat menunggu antrian toilet, eh ternyata toiletnya rusak. Apes ... apes.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD