Selamat Datang

1117 Words
Gue nggak suka kaya gini. Cemburu, tapi nggak memiliki. ×××××××× Mikaela tersenyum masam begitu turun dari tangga rumahnya. Matanya memanas ketika mendapati Papa dan Mamanya kini sedang berdebat. Niatnya turun karena mengira Bibi lupa mematikan televisi yang cukup keras untuk didengar dari lantai dua. Namun, nyatanya bukan Bibi, tapi orang tuanya yang sengaja mengeraskan volume televisi agar tidak ada yang mendengar perdebatan mereka. Mikaela berhenti di ujung tangga menyaksikan mereka. Gerak gerik dan amarah dari kedua orang tuanya tidak luput dari penglihatan Mikaela. "Saya itu sampai nggak bisa bicara di depan kolega. Kamu pikir kamu hebat sampai berani bawa brondong kamu ke hadapan publik?! Para investor banyak yang mencibir sikap kamu, Mega!" Papanya marah, menunjuk-nunjuk wajah mamanya yang kini juga tak kalah sengit menatap balik. Mikaela benar-benar bosan, lagi-lagi masih masalah yang sama. "Kamu juga bawa pacar kamu ke publik, Mas!" Plak. Sial, Mikaela segera menutup kedua matanya. "Dia sekertaris saya, sudah berkali-kali saya bilang kalau kami tidak ada hubungan apapun!" "Kamu yang selingkuh!" Mamanya lagi-lagi berteriak, bahkan sepertinya tamparan dari sang papa tidak membuat mamanya bungkam. Mikaela tahu masalah ini sejak dulu. Masalah yang entah siapa yang benar. Mamanya yang selingkuh dengan pria muda atau papanya yang selingkuh dengan wanita muda. Yang Mikaela tahu, Papanya sering keluar kota bersama dengan tim dan sekertaris mudanya itu. Kemudian mamanya sering keluar rumah bersama teman dan juga pemuda yang papanya bilang selingkuhan mamanya. Tapi, masa sih mamanya selingkuh dengan supir taxi? Ganteng kok, tapi kalau selingkuh Mikaela tidak yakin. "Meski kita menikah karena perjodohan, saya tidak pernah mempermainkan sebuah ikatan, Mega." Kalimat Papanya terdengar serius. Tekanan demi tekanan semakin Mikaela terima begitu Mamanya membalas. "Saya juga tidak pernah mempermainkan ikatan kita, Mas! Sudah saya bilang kalau dia bukan selingkuhan saya, tapi Mas nggak percaya! Kamu menuduh saya supaya kamu terbebas dari tuduhan selingkuh, bukan?!" "Sudah, berbicara dengan wanita bodoh seperti kamu tidak ada gunanya!" Mikaela membuka matanya begitu terdengar suara langkah kaki menjauh dari sana. Ditatapnya sang Mama yang kini sedang mematikan televisi dan membelakangi dirinya. Kadang Mikaela merasa Mamanya adalah korban Papanya, tapi kadang Mikaela juga merasa bahwa keduanya sama-sama bersalah. Tubuhnya menegang begitu Mamanya berbalik dan menatap Mikaela dengan datar. "Kamu dengar lagi, ya? Harusnya kamu pergi, jangan malah diam di sana dan semakin tahu betapa hancurnya rumah tangga Mama." Setelah itu, Mamanya berjalan melewatinya, meninggalkan Mikaela yang lagi-lagi harus menekan kuat dadanya yang menghimpit. Semuanya sudah tidak ada artinya. Mikaela pun sudah kehilangan sandarannya. "Delan, gue harus apa?" lirihnya, badannya luruh dengan tangis yang tidak dapat dibendung. Mikaela lelah, dia ingin hidup normal layaknya teman-temannya yang lain. Bukan seperti ini, di rumah namun terasa bagai neraka baginya. ××××××× Menatap ponselnya bagaikan menatap udara yang dia rasakan. Hampa, seperti harapan yang dia gantungkan kepada Delan. Terlalu besar dan terlalu banyak. Bahkan, Mikaela sampai kesulitan sendiri untuk mengambil kembali harapan yang dia gantungkan. Pesannya untuk mengajak Delan keluar diabaikan laki-laki itu, padahal Mikaela mengirimnya sudah dua jam lalu. Delan juga sempat membuka ponsel terlihat online saat Mikaela mengeceknya kembali. Namun, membaca pesannya saja tidak. Apa itu tanda bahwa Delan sedang bersama Naura? Tapi, ketika Delan sedang bersamanya, pasti sempat kok membalas pesan gadis itu. Ah, iya, Mikaela lupa. Delan kan pacarnya Naura, sedangkan Mikaela bukan siapa-siapa, hanya sahabat. Jadi, seharusnya jangan begini bukan? Gue mau pergi ke danau biasa, De. Kalau ada waktu, lo ke sana ya. Akhirnya, Mikaela lebih memilih mengirimkan pesan itu kepada Delan. Dia tidak ingin berharap Delan akan datang, meski nyatanya ada setitik saja harapan itu. Menyambar jaket dan juga dompet, Mikaela mulai ke keluar dari kamarnya. Menatap sejenak pada pintu di ujung tangga yang tertutup rapat, kemudian pergi dari sana. Mikaela butuh menenangkan pikiran. Selang tiga puluh menit Mikaela sampai di danau tempat biasa dirinya dan Delan menghabiskan waktu. Gadis itu segera mendudukkan diri dan merapatkan jaketnya agar semakin memeluk tubuh mungilnya. Hawa dingin menusuk kulit putih Mikaela. Bibirnya yang merah sedikit menggigil karenanya. Tentu hal itu tidak membuat Mikaela ingin beranjak pergi. Dia jelas lebih memilih duduk sendirian dan dipeluk oleh dinginnya malam daripada duduk di rumah yang hangat, namun tidak memberi kenyamanan. Gadis itu kembali menatap layar ponselnya yang kosong. Delan belum membalasnya, mungkin benar laki-laki itu sibuk dengan Naura. Ah, Mikaela ingin memanggil teman rasanya. Tapi, ingatan tentang Delan yang melarangnya membuat Mikaela ragu. Srek.Srek. Mikaela menatap awas. Suara daun terinjak membuat sebagian diri Mikaela menyuruh gadis itu waspada. Srek. Srek. Lagi-lagi daun kering itu terinjak. Tubuh Mikaela semakin menggigil takut. Sepertinya selama dia di danau tidak pernah ada hewan buas, jadi kemungkinan terburuk adalah ada orang lain di sini. Mikaela berdiri pelan-pelan, menatap awas ke seluruh penjuru dengan waspada. Apalagi, keadaan yang cukup gelap dan hanya bermodal bulan sebagai penerangan. Dengan gerakan tergesa, Mikaela menghidupkan ponselnya, mendial nomor Delan dengan segera karena situasi yang genting seperti sekarang. Dering mulai terdengar beriringan dengan suara langkah yang kian mendekat. Mikaela tidak mungkin lari, karena jalan akses ke danau ini jelas hanya setapak jalan itu. Kalau dia melewati area lain jelas itu akan membuatnya tersesat dan semakin sulit ditemukan. Tidak ada jaminan sinyal bagus jika dia sampai tersesat di sini. Krek. Batang kayu kering terinjak dengan begitu keras. Sudah dipastikan itu pasti manusia. Namun, sebergetar apapun tubuh Mikaela dan seberapa sering dia mendial nomor Delan, laki-laki itu tidak kunjung menjawabnya. "Akh." Tubuh Mikaela terhempas hingga ponselnya melayang entah ke mana. Matanya menatap bayangan itu, sosok manusia bermantel hitam dengan topeng putih berdiri di depannya. Mikaela semakin takut. Tubuhnya diseret kian menjauh dari sosok itu. Ingin rasanya Mikaela melawan, berdiri dan berlari dari sana. Namun, tubuhnya yang bergetar membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih. Apalagi, sosok itu kini berjongkok dan memegang dagu Mikaela dengan begitu kuat. Nyerinya sungguh terasa. Terlebih sosok itu kini tampak memajukan tangannya yang satunya. Mengelus lembut pipi dingin gadis itu dengan gerakan yang pelan namun mematikan. Mikaela ketakutan, apalagi ponselnya terlihat bergetar dikejauhan. Sepertinya Delan yang menelponnya. Puk. Puk. Sosok itu menepukkan selembar kertas ke pipi Mikaela dengan begitu lembut. Setelah itu, dia berdiri dan berjalan menjauh dari gadis itu. Mikaela jelas langsung berdiri dan meriah ponselnya. Dengan getar yang masih ketara pada tubuhnya, Mikaela mengangkat panggilan dari Delan. "Gue ... masih di ... danau," katanya padahal Delan belum mengucapkan salam. "Gue ... tadi, gue ... di–" "Gue ke sana sekarang!" Tut. Panggilan terputus sepihak. Gadis itu kembali menghembuskan napasnya dengan lelah. Matanya tidak sengaja menatap kertas yang orang itu tepukan di pipinya. Tentu saja Mikaela penasaran, gadis itu langsung berjongkok mengambil lipatan kertas itu dan membukanya. Selamat datang Hanya itu tulisan yang ada di atasnya. Selamat datang. Selamat datang di mana? Mikaela semakin bingung dibuatnya. ××××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD