Sedekat Itu

1085 Words
Rasa sakit yang paling sakit itu bukan patah hati, tapi kesepian dan selalu merasa tidak punya pegangan. ××××××× Mikaela menggerutu begitu mendapati Delan yang melewatinya. Laki-laki itu benar-benar pulang bersama Naura, bahkan terlihat acuh dan seperti tidak mengenalnya. Bisa-bisa perkiraan Mikaela benar terjadi, Delan akan segera meninggalkan dirinya. Mikaela mencoba tenang. Tarik napas sebentar, buang, tarik lagi, buang, kemudian tersenyum lebar. Kakinya kembali melangkah menuju gerbang sekolah. Dia jelas berusaha membuang pikiran-pikiran negatif miliknya. Lagi pula, nggak mungkin banget kalau Delan akan meninggalkan dirinya. Delan ... tahu kok kalau Mikaela cuma punya Delan sebagai sandaran. Jadi, nggak mungkin 'kan kalau Delan pergi? "Neng Mikaela?" Gadis itu mendongak menatap abang ojol berbaju hijau. Matanya menyipit berusaha mengingat-ingat karena rasanya Mikaela belum sempat memesan ojek untuk pulang. "Iya, tapi ... saya belum pesan ojek, Bang?" Abang ojol itu mengernyit, tangannya segera mengotak-atik ponselnya. Kemudian ditunjukan ke wajah Mikaela. "Ini bener kok, Neng, wajahnya juga mirip sama yang di foto." Mikaela memajukan wajahnya, mengamati dengan jelas percakapan abang ojol dengan pelanggannya. Delan. Ternyata laki-laki itu yang memesankan ojol untuk dirinya. "Pacarnya yang nyuruh, 'kan, Neng?" Gadis itu kembali berdiri tegak, menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Bukan, tapi nggak papa deh. Udah dibayar, ya, Bang?" "Iya, udah." Baiklah, Mikaela anggap ini sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Delan karena tidak bisa pulang bersamanya. Meski nyatanya rasa tidak mengenakkan masih bercokol di hati Mikaela. ×××××××× Mikaela menatap pintu rumahnya dengan gelisah. Suara gaduh yang berasal dari dalam membuatnya enggan melangkah lebih dekat. Dia tidak menyukai ini. Tanpa melihat pun Mikaela sudah hafal dengan sesuatu yang terjadi di dalam sana. Harusnya, dia tidak pulang sendiri, sehingga tidak perlu berada di posisi seperti sekarang. Harusnya, tadi Mikaela mampir dulu jangan langsung pulang begini. Gadis itu menunduk, memainkan ujung sepatunya di konblok depan teras rumahnya. Dia tidak berani masuk, namun untuk pergi dari sana pun tidak bisa. Rasa khawatirnya menahan diri Mikaela untuk tetap berada di sana. "Saya bilang jangan sampai ada yang tahu!" Brak. "Saya juga sudah berusaha menutupi semua! Bahkan cafe itu saya sewa hanya untuk saya!" "Tapi publik sudah mengendus kejanggalan itu! Sialan!" Plak. Prang. Tangan Mikaela berpindah dari menggenggam erat tali tasnya menjadi menutup rapat telinganya. Gadis itu memejamkan mata, berharap semuanya segera berakhir. Dia bosan dengan masalah yang selalu saja mereka ributkan. Brak. Suara pintu terbanting membuatnya membuka mata, dilihatnya sosok laki-laki diusia empat puluh tahunan keluar dari rumahnya. Mata mereka sempat bertemu sebelum akhirnya Mikaela memilih menunduk. Setelah mobil hitam itu meninggalkan pekarangan rumahnya, Mikaela segera bangkit dan masuk ke dalam rumah. "Mama?" Sayangnya, wanita yang dikhawatirkan justru tidak merespons. Bahkan meninggalkan Mikaela yang menatap pecahan kaca di lantai ruang tamu. "Jangan dipikirkan, urusi saja sekolahmu. Jangan ikut campur." Mikaela kembali bungkam dan menunduk. Jadi, harusnya Mikaela tadi memilih pergi, bukan malah di sini dan kembali mendapatkan luka. ×××××××× "Gila, lo tahu ... Naura itu asik banget! Hobi kita sama dan klop! Dia juga suka main Voli sama Futsal. Gue tadi by one sama dia dan kemampuannya nggak bisa dibilang sepele. Gue kaya nemu tipe ideal gue, deh, Mikae!" Delan mengajaknya bertemu malam ini. Tentu saja Mikaela menyanggupi karena di rumah pun rasanya sepi. Namun, sedari dua puluh menit lalu, Delan terus saja mengoceh dan menceritakan harinya bersama Naura tadi. Begitu bersemangat bahkan terlihat bahagia. Mikaela hanya mampu tersenyum dan menanggapi seadanya. Niat hati ingin bercerita bahwa hal itu terjadi lagi pun tidak tega. Mikaela tidak ingin merusak hari bahagia Delan hanya karena kesedihannya. "Dia kayanya kasih lampu ijo biar gue maju. Astaga, gue bakalan gas terus sampe dapet!" Lagi-lagi Mikaela tersenyum. "Bagus dong, nanti biar cepet jadian." Delan bahkan menganggukkan kepalanya antusias. Seolah tidak melihat binar sedih di mata Mikaela. Padahal biasanya Delan selalu mengerti keadaannya, perubahannya. Hah... baru sehari, tapi Delan bisa berubah sebanyak ini. Lalu, bagaimana jika laki-laki itu benar-benar menjadi milik Naura? "De." Akhirnya, Mikaela memberanikan diri. Ditariknya napas dengan begitu berat, apalagi tatapan Delan yang seolah bertanya ada apa. "Jangan tinggalin gue." Setelah berkata demikian, Mikaela memalingkan wajahnya. Mencoba menata kembali hatinya dan berusaha sekuat tenaga menahan agar air matanya tidak menetes. ×××××××× "Udah mendingan?" Delan masih memeluknya. Kenyataan yang Mikaela terima adalah dia lemah di depan laki-laki ini. Tangis yang berusaha ditahan pun tidak dapat dibendung, apalagi Delan yang seolah mulai sadar dengan keanehan dirinya. "Maaf karena tadi nggak ada buat lo," ucap Delan tulus. Namun, kata maaf yang Delan ucapkan tidak bisa membuatnya tenang. Yang ada malah semakin membuatnya merasa gelisah, takut kalau Delan akan kembali mengulang kesalahannya. "Nggak, gue nggak papa," katanya parau. Hidungnya yang memerah dan matanya yang sembab jelas-jelas menunjukan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. "Gue tahu lo kuat, but jangan tunjukin sisi lemah ini ke siapa pun. Cukup gue." "Kenapa?" "Karena gue nggak mau ada yang manfaatin kelemahan lo, Mikae." Mikaela mengangguk. Lagi pula dia tidak bisa mempercayai siapapun kecuali Delan. Sejauh ini tidak ada yang mengerti dirinya sebaik Delan. "Jadi, mau pulang?" tanya Delan lembut. Jelas Mikaela menggeleng. Gadis itu tidak akan pulang karena dia sangat yakin rumahnya belum sembuh dari kekacauan tadi siang. "Terus mau ke apart gue lagi?" Tentu saja, Mikaela tidak punya tempat singgah lain kecuali milik Delan. "Emang nggak papa? Gue selalu ngerasa nggak enak kalau lo harus tidur sama gue di kasur sekecil itu." ×××××××× Mikaela tersenyum begitu mendudukkan diri di sofa milik Delan. Apart sederhana yang jauh lebih nyaman dibandingkan rumah besar miliknya. Delan membuka kulkas mengeluarkan dua botol minuman bersoda dan memberikannya kepada Mikaela. "Gimana sekolahnya?" Mikaela menatap Delan dengan botol yang masih menempel di bibirnya. Melirik sahabatnya itu sebentar sebelum akhirnya menyudahi acara minumnya. "Lancar, ada tugas kelompok buat presentasi dua minggu lagi. Lo sendiri gimana?" Delan berdecak pelan. "Ribet, ada praktik ke lab besok. Mana gue harus bawa satu cairan buat diteliti kadar asam basanya." "Asam basa? Bawa cuka 'kan asem, ya?" Delan menggeleng, laki-laki itu kemudian merebahkan diri di pangkuan Mikaela. "Enggak semudah itu. Gue di suruh bawa larutan basa." "Basa?" gumam Mikaela. Gadis itu segera meraih ponselnya dan mengetikan sesuatu di pencarian. "Air sabun?" Delan bergumam. Dia mulai memejamkan matanya dengan satu tangan di atas dahi. "Pikir besok aja, gue capek banget." Ah, Mikaela berhasil dibuat tersenyum oleh Delan. Tangannya mengelus lembut rambut laki-laki itu seolah lupa bahwa sedari tadi Delan juga membuatnya terluka. "Tidur aja, nanti gue bangunin kalau udah larut malam." ×××××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD