Dulu gue selalu berani maju terdepan saat ada yang tanya siapa yang paling lo jaga, tapi sekarang bahkan buat denger pertanyaan itu aja gue nggak sanggup.
××××××××
Mikaela tertawa pelan begitu Delan mencicipi rasa air sabun yang baru saja mereka buat. Sabun mandi milik Delan yang direndam sejak setengah jam lalu. Wajah sahabatnya jelas meringis dan terlihat begitu konyol, ada-ada saja. Bahkan Mikaela yang anak IPS saja sadar kalau air sabun itu pasti rasanya pahit dan tidak enak. Namun, Delan yang kadar kekepoannya tingkat dewa itu tetap ngotot dan mencekupkan tangannya kemudian diemut.
"Nggak enak," kata Delan sambil menyengir-nyengir.
Laki-laki itu bahkan meninggalkan Mikaela yang kini sibuk memasukan air sabunnya ke dalam botol mineral mini. Gadis itu geleng-geleng kepala sambil tertawa. "Yang bilang anak IPA lebih pinter dari anak IPS itu bodoh. Mitos banget, itu Delan buktinya."
"Gue denger ya, Mikae!" tegur Delan dengan suara bass khas miliknya.
Mikaela kembali tertawa, sembari menutup botol bekas itu. Dibawanya botol itu ke ruang makan tepat di mana kini Delan duduk dan sarapan.
Dia heran sebenarnya karena Delan yang masih santai padahal jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh.
"Mandi, De."
Delan mendongak dengan mulut penuh. Tidak menjawab, Delan kembali menyuapkan nasinya. Setelah itu, dia segera meneguk habis s**u putih di meja dan beranjak dengan cepat.
Mikaela berdecak kecil menatap punggung Delan yang hampir menghilang di balik tembok. Tangannya kembali menyuapkan nasi dengan tenang sembari menunggu laki-laki itu selesai mandi. Namun, baru beberapa menit, Delan sudah melongokkan kepalanya.
"Gue hari ini mau jemput Naura, lo berangkat duluan aja."
Tangan Mikaela berhenti di udara, dia melirik Delan sekilas. Ah, aneh sekali rasanya mendengar kini bukan dia lagi yang Delan utamakan.
"Oh, okey. Gue juga udah selesai makan," ucapnya sebiasa mungkin.
"Lo belum habis, itu masih setengah lebih."
Benar, bahkan dia baru menyuapkan nasi beberapa sendok. Tapi ya mau bagaimana lagi, dipaksa makan pun pasti tidak enak. Mood-nya benar-benar buruk.
"Udah kenyang. Gue duluan, ya!"
×××××××
Kabar dekatnya Delan dengan Naura bak cahaya yang merambat begitu cepat. Semua siswa membicarakannya, bahkan dengan terang-terangan mereka mengejek posisi Mikaela yang tergantikan. Tidak sedikit pula yang mengeluh dan menginginkan posisi Naura sekarang.
Delan memang tampan, dia juga pandai, apalagi Delan itu berkulit putih dengan rambut coklat. Mikaela yakin, pasti ribuan gadis di luar sana mengidolakan Delan.
Langkah kaki Mikaela terhenti begitu tiba di depan kelasnya. Sorak heboh dari lapangan parkir berhasil menyita perhatiannya.
Di sana, Delan sedang melepaskan helm yang Naura pakai. Helm Minion yang selalu dia pakai. Jujur saja Mikaela membenci Naura sekarang, dia dengan lancang memakai barang miliknya dan jangan lupakan Delan yang dengan kurang ajar memberikan helm itu untuk dipakai Naura. Mikaela bersumpah, pulang sekolah nanti dia akan membeli helm baru!
"Serasi banget," ucap seseorang membuat d**a Mikaela semakin terhimpit.
"Gue kalau jadi Delan udah nembak sekarang juga. Toh, suasananya lagi pas."
Panas sekali.
Apakah ada kipas atau AC untuk memberikan kesan sejuk?
"Biasa aja dong lihatnya." Seseorang menempelkan sesuatu yang dingin ke dahinya.
Mikaela menatap orang itu. Daga, dia memberikan senyum lebar sembari menyodorkan kaleng cola dingin untuknya. "Buat ademin suasana panas," katanya.
Mikaela mendengus, meski lebih banyak merasa aneh dengan sikap Daga yang tiba-tiba mendekat.
"Lo kenapa?" tanyanya.
Daga tertawa renyah, tawa yang berhasil menimbulkan perhatian dari beberapa siswa di sana. Seolah, mereka sedang diberikan pertunjukan di mana pangeran dan putri telah menemukan jodohnya masing-masing.
"Gue cuma kasih itu buat sogokan." Daga menatap Mikaela serius.
"Maksudnya?"
Daga mengetuk pelan dagunya. Setelah itu, sedikit memajukan wajahnya membuat Mikaela terkejut dan melangkah mundur.
"Da-daga?"
Bukannya menjauh atau setidaknya merasa iba karena Mikaela ketakutan, Daga justru semakin mendekat hingga akhirnya posisi Mikaela terjepit antara tiang dengan Daga di depannya.
"Bantu gue buat bikin Clao kaya dulu."
Blank. Otak Mikaela serasa mati karena bisikan pelan dari Daga. Hembus napasnya terasa hangat dan sedikit membuatnya merinding.
"Maukan?" tanya Daga lagi. Kini posisinya sudah menjauh dari tubuh Mikaela.
Tentu saja Mikaela merasa lega. Dia jelas langsung mengambil napas dengan rakus, tidak peduli bisik-bisik dan gosip yang mulai muncul karena kedekatan dirinya dengan Daga tadi atau karena Delan yang serasi dengan Naura. Yang Mikaela pikirkan sekarang hanya satu, perasaannya sedang tidak baik-baik saja.
×××××××
"Mikae!"
Mikaela tersenyum cerah begitu mendapati Delan memasuki ruang kelasnya. Tangannya melambai pada sahabatnya itu.
"Naura mana?" tanyanya berhasil membuat senyumnya mengendur.
Lagi dan lagi Naura yang sedang Delan cari.
"Dia tadi ke perpus sih, cari referensi tugas sejarah."
Delan mendesah kesal. Laki-laki pemilik Surai cokelat itu mendudukkan diri di tempat Naura. Kepalanya sengaja bersandar pada pundak kecil Mikaela.
"Gue padahal mau ajak dia makan bareng di kantin."
Mikaela membisu. Dia tidak tahu harus mengatakan apa sekarang. Pikirannya berputar-putar mengulang kalimat yang baru saja Delan katakan. Mengajak Naura ke kantin, Naura, hanya Naura. Tidak ada kata lo atau setidaknya Mikaela.
"Susul aja, paling udah otw balik," ucap Mikaela.
Gadis itu mendorong kepala Delan dengan kasar. "Jangan nyender-nyender!"
Delan kembali cemberut. "Ah, elo mah! Biasanya juga lebih nggak papa."
Comel sekali! Mulut Delan berhasil membuat teman sekelasnya yang ada di sana menatap dengan tatapan menuduh.
Lebih. Lebih yang gimana, mungkin itu yang mereka pikirkan.
"Mulut lo, De," desis Mikaela dengan kesal.
Delan sendiri justru tertawa bahagia. Laki-laki itu kemudian kembali duduk di sebelah Mikaela. "Gue jujur, Mikae."
"Tapi mereka bisa mikir beda!"
"Terus?"
Mikaela berdecak kesal. "Gini, lo baru pedekate sama cewek, De. Kalau Lo bilang gitu emang dia masih mau sama lo?"
Delan menggaruk sisi kepalanya. Mikaela tidak habis pikir, padahal Delan anak IPA, tapi disuruh mikir hal sesimpel ini saja garuk-garuk kepala.
"Ya udah, gue susulin Naura, deh!" balas Delan sembari beranjak dari sana.
×××××××
Pelajaran dimulai, kali ini sesi berdiskusi masih berlanjut dan mengharuskan Mikaela duduk di sebelah Clao. Tentu saja hal ini wajib dilakukan, apalagi kemungkinan terbesar adalah Clao yang tidak akan ikut berdiskusi.
"Clao, perang dunia dua itu topiknya."
Clao berdecak. Pemuda yang duduk di antara tembok dan Mikaela itu langsung membuka lembar demi lembar buku LKS di depannya.
"Nih, ini buku udah ringkas semua tentang perang dunia dua. Kalau kurang referensi ambil di perpus."
Mikaela menganga lebar menatap Calo yang banyak berbicara meski dengan nada yang terkesan malas.
"Lo ternyata tanggap. Gue yang biasanya dengerin penjelasan aja nggak inget PD dua itu halaman berapa."
Daga terkekeh pelan mendengar dua manusia di depannya saling berbicara. Sepertinya, permintaan Daga kepada Mikaela akan dikabulkan.
××××××××