Tidak Tahu

1032 Words
Entah bodoh atau gimana, tapi rasa gue buat lo nggak hilang meski udah jelas nggak ada harapan. ××××××× Delan terkekeh pelan menatap Mikaela yang kini sibuk memilih mie instan di depannya. Keduanya sedang berbelanja bersama di supermarket terdekat dengan apartemen milik Delan. Ya, hari ini Mikaela belum berniat pulang, gadis itu masih enggan untuk kembali ke rumah karena kedua orang tuanya masih di sana. Delan sendiri merasa tidak enak, tempatnya terlalu kumuh untuk gadis secantik dan sekaya Mikaela. Apartemen kecil dan sempit miliknya jelas menyiksa untuk Mikaela yang tinggal di istana. Luas apartemennya dengan kamar Mikaela saja sama atau bahkan lebih kecil. Dari semua itu, tentu Delan merasa tidak pantas untuk Mikaela. Dia terlalu sempurna, sedangkan Delan hanya manusia biasa. Bohong jika dia tidak memikirkan pernyataan Mikaela yang menyukainya. Bahkan dadanya ikut berdetak cepat karena Mikaela. Hanya saja, janji dan rasa tahu diri miliknya mengingatkan bahwa dia tidak pantas bersama gadis itu. Menjadi sahabat sekaligus sandarannya saja sudah lebih dari cukup untuk Delan. "De, mie ini katanya kuah pedesnya nampol!" Delan berdecak, merebut mie instan itu dari tangan Mikaela. "Asam lambung, inget sama kelemahan!" Mikaela cemberut, gadis itu langsung berbalik dan kembali memilih mie instan dalam diamnya. Delan sendiri segera mengembalikan mie instan yang Mikaela ambil tadi. Kemudian, dia terdiam sebentar mengingat kedekatannya dengan Naura. Gadis pemilik sifat yang jelas berbanding terbalik dengan Mikaela. Gadis yang Delan cari dan sangat pas dengan kriteria perempuan yang akan dijadikannya kekasih. Sejak pandangan pertama Delan memang merasakan hal berbeda. Bahkan dengan Naura membuatnya lupa akan Mikaela yang tidak pernah berhenti berlari di pikirannya. "De, seandainya lo jadian sama Naura beneran gimana?" Dahi Delan menekuk, badannya pun kini menghadap Mikaela yang mendongak menatapnya. "Gue senenglah," jawabnya jujur. Lagi pula benar adanya, tidak akan ada yang tidak suka jika bisa mendapatkan gadis incarannya. Mikaela menunduk, ditaruhnya mie instan di dalam keranjang kemudian diangkatnya kerajang itu. Delan tidak paham, kenapa Mikaela terdiam lama bahkan enggan kembali menatapnya. "Lo kenapa?" Delan mencoba bertanya. Kedua tangannya meraih bahu Mikaela dengan lembut. "Gue...." Mikaela menggantung kalimatnya, semakin membuat perasaan Delan tidak tenang. Apa dia salah menjawab pertanyaannya Mikaela seperti itu? "Mikae, kenapa?" "Apa ... apa lo bakalan ... jauhin gue?" Delan terdiam lama, memikirkan kalimat tanya yang Mikaela berikan. Menjauh? Menjauh yang bagaimana? "Nggaklah, ngapain juga menjauh!" jawabnya setelah beberapa menit. Mikaela mendongak menatap Delan. Senyumnya melebar dengan sendirinya, tentu saja hal itu berhasil membuat Delan merasa tenang. "Cuma lo yang ngerti gue," bisiknya menghasilkan senyum di bibir Delan. Ya, dia bangga dan bahagia karena hanya dia yang bisa mengerti dan menjadi sandaran bagi Mikaela. ××××××× Mie instan baru saja Delan letakan ke dalam mangkuk. Namun, dering ponsel menghentikan aktivitasnya. Nama Naura tertera di sana. "Halo?" Tidak ada sahutan, yang ada justru suara isak dari gadis itu. Perasaan khawatir tentu menyeruak ke dalam dirinya. Delan segera memberikan satu mangkuk mie instan kepada Mikaela yang sedang asik menonton televisi. Tentunya dia masih berusaha bertanya ada apa dengan Naura. "Ra, lo kenapa?" Mikaela bahkan menatapnya penuh tanya. Namun, keadaan Naura lebih penting sekarang. "Ra, jawab lo di mana!" "Gu-gue nggak tahu. Tadi, gue diturunin Re-reza di jalan." Reza. Delan tahu laki-laki itu, dia kakak laki-laki dari Naura yang sempat bertemu dengannya ketika dia mengantar Naura pulang. "Share lock sekarang!" Setelah itu, Delan berlari memasuki kamarnya. Mengambil dua jaket dan kunci motornya. "De, mau kemana?" Delan menatap Mikaela sebentar. "Gue mau jemput Naura." "Lo nggak makan?" "Nanti, lo makan duluan aja." ××××××× Naura, gadis itu benar-benar membuat perasaan Delan ketar-ketir. Kendaraannya dia lajukan sekencang mungkin agar segera sampai ke tempat di mana Naura berada. Daerah yang cenderung sepi dan jarang dilewati. Pasti gadis itu merasa ketakutan sekarang. Delan membelokan motornya sesuai arahan dari Maps. Di depan sana terlihat Naura yang meringkuk di dekat pohon. Delan segera menghentikan motornya, turun dan menyelimuti gadis itu dengan jaketnya. Tanpa pikir panjang, Delan memeluknya, menenangkan Naura agar berhenti dari tangis yang Delan jamin sudah cukup lama. "Hey, tenang, ada gue sekarang." ××××××× Naura memegang mug dengan kedua tangannya. Jaket Delan masih bertengger di kedua bahunya dan si pemilik jaket duduk di sebelahnya. Mereka mampir di sebuah kedai yang masih buka karena Delan sendiri yang merasa lapar. "Kalian dari mana sampai bisa Lo diturunin di jalan?" Naura menatapnya. "Dari rumah nenek, kita debat gitu karena gue sempet jadi bahan nenek buat ngomelin Reza." Delan mengangguk mengerti. Dia tidak berniat mencari tahu lebih dalam permasalahan Naura. Pikirannya kini tertuju pada Mikaela, gadis yang ditinggalkannya sendirian di apartemen. Delan hanya bisa berharap, semoga tidak ada hujan untuk malam ini. "Lan." Delan mendongak. "Ya?" "Kenapa lo peduli sama gue?" tanya Naura membuatnya terdiam. Apa ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan bahwa dirinya tertarik? Atau besok saja menunggu waktu pendekatan yang lebih lama? Delan bingung. "Kalau emang lo cuma cari selingan biar nggak bosen sama Mikaela, gue ... nggak bisa buat lo deketin terus, Lan." Jelas Delan langsung menggelengkan kepalanya. "Enggak, gue nggak jadiin Lo selingan, Ra. Gue ... gimana cara ngomongnya?" "Apa, Lan?" Delan mengangguk mantap, dia yakin untuk mengucapkan ini sekarang. Toh mau besok atau seminggu lagi sama saja, dia akan mengungkapkannya. Lagipula, semakin lama dan ditunda bisa membuatnya kehilangan kesempatan. "Gue suka sama lo, Ra," ucapnya cepat. Naura menatapnya, tatapan terkejut yang membuat senyum Delan terbit. Dia menyukai ekspresi itu. "Lo?" "Iya, gue tahu ini terlalu cepet. Tapi, gue nggak mau lo salah paham." Naura tersenyum, namun hanya sebentar. Senyumnya kembali luntur begitu Delan membalas senyumnya. "Tapi, gue-" "Nggak perlu dijawab sekarang. Gue masih bakalan kasih waktu banyak buat lo mikir." "Bukan," kata Naura. Gadis itu kini menunduk melepas mug yang sedari tadi dia pegang. "Gue takut jadi yang kedua. Banyak cerita yang bahas kalau cowok bakalan lebih pentingin sahabat ceweknya. Gue takut, Lan." Delan sendiri juga takut. Dia takut tidak bisa adil dengan Naura dan Mikaela. Dia juga takut jika keduanya terluka karena sikapnya. Namun, Delan tidak bisa jika harus melepas Naura ataupun Mikaela. Delan membutuhkan Naura untuk mengisi hatinya, sedangkan Mikaela membutuhkannya. "Gue bakalan adil. Nggak akan lukain lo ataupun Mikaela. Kalian punya arti masing-masing buat gue." ×××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD