Patah

1099 Words
Gue tahu, ada saatnya gue kehilangan lo. Cuma, gue nggak pernah berharap bahwa itu terjadi sekarang. ××××××× Mikaela menatap mangkuk berisi mie instan yang masih utuh. Mie itu sudah mendingin dan mengembang karena ditinggal si pemilik. Niat Mikaela bukan untuk melihat mie mengenaskan itu, tapi mencuci mangkuk bekas makannya. Delan pergi berpuluh menit lalu, meninggalkan semangkuk mie instan tanpa menyentuh. Laki-laki itu belum makan, tentu saja Mikaela mengkhawatirkannya. Tidak ingin memikirkan Delan lebih jauh, Mikaela segera meraih mengkuk mie milik Delan. Dengan segala kesedihan dan kesepiannya, Mikaela melahap mie yang sudah mengembang itu. Dia hanya tidak ingin mie instan yang tidak berdosa merasakan sedih dan kesepian karena tidak diperhatikan. "Untung perut gue muat, lo jadi ngga perlu sedih karena dibuang," ucapnya sembari melahap mie itu. Setiap suapan berhasil membuat satu tetes cairan bening terjun dari sudut matanya. Sialan. Mikaela menyedihkan sekali karena menyamakan dirinya dengan mie. "Lo tahu, padahal gue ke sini karena di rumah gue ngerasa sendiri." Lagi-lagi Mikaela bercerita. Mie instan itu dia aduk-aduk kemudian ditarik memanjang sambil diajak berbicara. "Tapi Delan juga pergi, gue jadi sendiri lagi." Padahal ini bukan tanggal dia akan datang bulan, tapi emosinya sensitif sekali. "Gue nggak boleh gini teruskan, mie?" "Gue harus nyari temen baru juga. Delan pasti bakalan lepas gue perlahan, 'kan? Delan ... nggak mungkin selamanya sama gue." Mikaela terisak. Sekuat tenaga dia menahan tangisnya dengan sengaja memasukan satu sendok mie ke dalam mulut. Tapi gagal, mie itu justru membuatnya terbatuk sembari menangis. "Gue benci hari ini," lirihnya sambil menepuk-nepuk d**a yang kian menghimpit. ××××××× Mikaela akhirnya tertidur setelah mencuci mangkuk bekas makannya. Entahlah Delan pulang jam berapa semalam, yang jelas kini laki-laki itu sudah tertidur di sebelahnya. Mikaela memiringkan tubuhnya, menatap wajah Delan yang terlihat damai dalam tidurnya. "Apa lo beneran bakalan sama gue terus?" Itu pikiran Mikaela, dia jelas tidak berani mengucapkannya langsung di depan Delan. Dia takut tidur Delan terganggu. Diliriknya jam dinding di kamar itu. Pukul setengah 6 pagi. Mikaela segera beranjak dan menuju ke kamar mandi. "Maaf karena ninggalin lo sendirian." Tubuhnya menegang mendengar kalimat maaf dari Delan. Ini kali kedua laki-laki itu meminta maaf kepadanya. Mikaela yakin, kedepannya pasti akan ada kalimat maaf yang jauh lebih banyak daripada sekarang. "Naura ditinggalin di jalan karena berantem sama kakaknya, Reza. Jalan sepi banget, Mikae, gue cuma nggak mau dia kenapa-kenapa." Mikaela mengangguk, kemudian meneruskan aktivitasnya mencuci muka. "Lo nggak marahkan?" Mikaela meraih handuk kecil di sebelahnya. Menepuk-nepuk pelan wajah ayunya sebelum akhirnya menatap Delan melalui pantulan kaca. "Nggak kok." Dia tersenyum. "Gue juga paham, dunia lo bukan tentang gue lagi, De." "Mikae, lo jangan ngomong gitu." Mikaela membalikan tubuhnya, mendongak menatap Delan yang ada di depannya. "Lalu gue harus ngomong apa, De? Gue cuma berusaha buat jadi sahabat terbaik buat lo. Selama ini lo udah baik banget sama gue, De." Delan tidak segera membalas. Laki-laki itu justru menatapnya lama kemudian memeluk Mikaela erat. "Jangan menjauh, jangan marah, jangan pergi, Mikae." Mikaela tidak paham. Harusnya dia yang mengatakan itu kepada Delan, bukan malah sebaliknya seperti ini. ××××××× Suasana kelas kembali panas. Fasya seolah mengobarkan api kepadanya karena begitu heboh setelah Naura bercerita bahwa semalam Delan mengungkapkan perasaannya. Tapi, Fasya memang berhasil. Mikaela benar-benar merasa kecewa dengan fakta yang didapatnya. Delan tidak menceritakan ini, dia hanya mengatakan menjemput Naura tanpa ada embel-embel mengungkapkan rasa. "Bentar lagi jadian dong?! Astaga, gue jamin lo bakalan di treat like a queen! Sahabatan aja udah kaya pangeran jagain putri kerajaan, apalagi lo pacarnya!" Sebenernya Mikaela tidak mengerti kenapa mereka mengungkapkan ini dengan santainya. Apa tidak takut kalah misal nggak jadi jadian? Maksudnya, malu gitu? Eh, tapi, sepertinya tidak mungkin. Delan selalu serius dengan kalimat yang keluar dari bibirnya. Ya, sebelum mengenal Naura sih. "Bakalan jadi couple goals lo, secara lo cantik dan Delan ganteng!" Telinga Mikaela panas. Gadis itu bahkan sampai berdecak beberapa kali karena suara heboh Fasya. "Gue iri–" Biarkan aku Jadi sesuatu yang berarti untukmu tapi tidak sesaat. Suara Fasya tertutup dengan lagu. Diliriknya ke samping kanan di mana ada Daga yang tersenyum menatapnya. Mikaela segera melepas earphone yang Daga berikan. "Lo ngapain?" "Mencegah lo dari perasaan iri dan dengki," jawab Daga. Laki-laki itu kembali memakaikan earphone ke telinganya. "Dipakai, gue mau ke Clao," ucapnya kemudian meninggalkan Mikaela yang masih tidak mengerti. Kenapa Daga tiba-tiba mendekatinya? ×××××××× Istirahat akhirnya tiba, Mikaela dengan semangat menuju ke kanti sesuai janjinya dengan Delan. Pagi tadi Delan kembali berangkat dengan Naura dan menjanjikan makan siang sebagai gantinya. Meski nyatanya tidak rela, namun Mikaela hanya mampu berkata iya. Langkah Mikaela memelan begitu sadar tidak hanya Delan yang menunggunya. Ada Naura juga yang duduk di sebelah Delan. "Mikae!" panggil Delan dengan senyum mengembang lebar dan tangan melambai kepadanya. Mau tidak mau Mikaela melanjutkan langkahnya. Meski rasa kesal bercokol di hatinya, dia jelas tidak bisa mundur. Tidak logis juga kalau dia tiba-tiba pergi padahal Delan begitu bersemangat. "Mikae!" panggil Delan lagi begitu dia mendudukkan diri. "Tebak gue seneng kenapa!" Ah iya, dia sebenarnya penasaran. Apa karena makan dengan Naura? Atau karena ... astaga, jangan, jangan sampai pikirannya benar-benar terjadi. "Kenapa?" "Gue jadian!" Sialan. Mikaela mengepalkan tangannya sembari tersenyum paksa. Kenapa malah benar-benar terjadi?! "Wih, selamat ya!" Naura terlihat tersenyum malu menerima uluran tangannya. Sedangkan Delan kini menatapnya lama. "Selamat, De. Jangan lupa ini gue di traktir makan!" Delan kembali tersenyum dan mengangguk. "Lo mau pesan apa?" "Aku mau ayam geprek deh," ucap Mikaela. "Yang level tiga terus minumnya es teh." "Mikae, yang lain!" Mikaela melirik Naura sebentar. "Nggak, ini spesial karena lo jadian, jadi turutin gue!" Karena lampiasin amarah gue dengan kata nggak akan mampu buat lo natap gue. Akhirnya, Delan mengalah. Laki-laki itu tetao melangkahkan kaki menuju ke stand setelah bertanya Naura ingin makan apa. ××××××× Mikaela benar-benar puas menatap ayam geprek yang tinggal tulangnya. Bibirnya sudah kebas bahkan untuk merasakan nikmatnya es teh yang dia pesan. Sekarang dia puas karena kini biasa mengeluarkan air matanya tanpa perlu ditanya kenapa. "Sampe nangis lo," ucap Delan sambil memberikan satu kotak tisu makan. "Lo nekat banget, La," ucap Naura sambil geleng-geleng kepala. Tidak tahukah gadis itu kalau alasannya berbuat gila adalah dirinya? Mikaela merelakan kesehatan lambungnya demi melampiaskan kekesalan. "Dia emang ngeyel. Abis ini awas aja kalau sakit, gue nggak bakalan jagain lo!" acak Delan membuat Naura tertawa. Mungkin bagi Naura, Delan sedang bercanda, tapi bagi Mikaela, Delan sedang mengancamnya. "Nggak apa, gue bisa sendiri," jawabnya tenang. Wajah mengancam Delan hilang seketika berganti tatapan yang sulit diartikan. ×××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD