Keributan Pertama

1015 Words
Cukup tahu diri dengan tidak memaksakan. Gue tahu batasan kalau Lo udah milik dia. ××××××× Mikaela tidak pulang ke apartemen Delan malam ini. Gadis itu memilih pulang ke rumahnya karena memang kabar dari bibi bahwa orang tuanya telah pergi. Mikaela memang tidak suka sepi, tapi Mikaela juga tidak suka ketika orang tuanya di rumah. Mereka berdua hanya membuat keributan dan itu lebih menyesakkan untuk Mikaela dengar. Malam ini begitu sepi, sepulang sekolah tadi Mikaela cukup senang karena ada bibi yang menemaninya. Tapi, hanya sampai sore hari saja. Para pekerja di rumahnya kecuali satpam akan pergi tepat pukul 5 sore setelah semuanya selesai. Memandang luaran rumah dari balkon kamarnya memanglah hal yang paling menyenangkan untuk dipilih saat ini. Udara yang sejuk dan bintang yang kemerlip di atas sana menambahkan senyum Mikaela semakin melebar. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama. Gadis itu kembali murung saat mengingat soal Delan dan Naura. "Gue cemburu, De. Gue sayang sama lo," gumamnya. Air mata itu tidak mampu Mikaela bendung lagi, dia menangis meratapi nasibnya yang entah kenapa jelek sekali. Dia hanya ingin Delan tahu dan peka bahwa ucapan suka dan sayang Mikaela itu benar-benar ucapan tulus karena Mikaela mencintai Delan. Tapi, Delan justru menganggapnya hanya sebuah candaan. Isak Mikaela semakin keras saat dirasa perutnya melilit bukan main. Astaga, Mikaela harusnya sudah sedia obat karena kenekatannya memakan ayam geprek level tiga! Apalagi dia juga memakan dua bungkus mie instan karena kemarin malam dia tidak tega dengan mie instan yang disia-siakan Delan. Dengan tertatih, Mikaela masuk kembali ke dalam kamarnya. Gadis itu mencengkeram erat bagian perutnya karena perih bukan main. Napas Mikaela bahkan memburu, keringatnya mulai keluar karena tidak juga menemukan obat di kotak penyimpanan miliknya. "Sial, obatnya abis!" Gadis itu meringis ngilu. Mikaela menatap sejenak ponsel yang dia letakan di atas malas dekat dengan kotak penyimpanan miliknya. Jalan satu-satunya untuk mendapatkan obat hanya Delan. Mikaela harus menghubungi Delan. Namun, sampai gadis itu duduk meringkuk karena sakit, tangannya tidak juga meraih ponsel untuk menghubungi Delan. "Gue harus terbiasa tanpa lo 'kan, De?" lirihnya dengan tangis semakin menjadi-jadi. "Sakit banget." Mikaela tidak kuat, gadis itu jatuh pingsan di dekat nakas di atas lantai yang dingin dengan pintu balkon terbuka lebar. ××××××× "Ya ampun, Non Mikaela!" Pagi-pagi sekali Buk Asih salah satu pekerja di rumah Mikaela dibuat panik karena menemukan sosok Mikaela yang tergeletak pucat di atas lantai. Cepat-cepat Bik Asih memindahkan tubuh gadis itu ke atas ranjang. Meski sudah cukup tua, kekuatan Bik Asih cukup besar untuk memindahkan Mikaela. Wajahnya semakin khawatir saat menyentuh kulit sang nona yang sudah begitu panas. Dengan tergesa, Bik Asih segera memakainya selimut tebal dan menutup pintu balkon kamar Mikaela. "Non Mikaela panas, tolong siapin bubur dan buahnya. Saya mau pergi beli obat, obat di kamar non Mikaela habis!" ucapnya dengan begitu panik. ××××××× Mata gadis itu mengerjap pelan, tangannya refleks memegang perutnya yang masih terasa nyeri bukan main. Meski tidak separah kemarin, Mikaela tetap saja tersiksa dengan efek asam lambungnya yang naik drastis malam tadi. Dahi Mikaela mengernyit begitu sadar dirinya sudah berpindah ke atas kasur empuknya. Begitu menatap jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 5 pagi, Mikaela tidak lagi heran tentang siapa yang memindahkan dirinya. Klek. Pintu kamar terbuka, gadis itu pun menatap Bik Asih yang memasuki kamarnya dengan begitu hati-hati. "Non? Non Mikaela apa yang sakit?" Mikaela menggelengkan kepalanya pelan. "Bik Asih ada obat asam lambung? Mikaela butuh itu." Bik Asih pun meletakkan nampannya di atas nakas. Wanita yang sudah merawat Mikaela sejak kecil itu pun segera mengeluarkan beberapa obat dari plastik yang dia bawa. "Bibi abis cek obat-obatan di nakas Non tadi pagi, ternyata banyak yang abis." Mikaela mengangguk, gadis itu menerima pil berwarna hijau itu dan menelannya bersamaan dengan air putih yang Bik Asih berikan. "Non saya buatkan surat izin ya?" "Nggak usah, Bik. Aku mau mandi dulu." "Tapi, Non Mikaela juga demam." Mikaela tersenyum tipis. "Abis mandi Mikaela makan terus minum obat, pasti langsung sembuh kok." Bik Asih tidak lagi berkata. Wanita paruh baya itu mengangguk saja karena tidak bisa melarang sang nona rumah lebih dari ini. Pagi saat dirinya membeli obat untuk Mikaela, Bik Asih sudah menghubungi kedua orang tua Mikaela soal keadaan gadis itu. Namun, keduanya seolah menyepelekan. "Hanya demam, besok juga sembuh." Itulah kalimat dari sang papa yang memang sedang ada di Singapura untuk urusan bisnis. "Saya jauh, Bik, hubungin saja papanya yang lebih dekat. Kalau saya yang pulang, sampai sana juga sudah sembuh anaknya." Dan ini adalah kalimat tanggapan sang mama. Bik Asih hanya bisa menatap prihatin pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Wanita itu tidak bisa melakukan apa-apa meski telah menyaksikan betapa kasihannya hidup Mikaela sebelum sosok Delan yang sering Nonanya ceritakan itu hadir dalam hidupnya. ××××××× "Non yakin mau sekolah?" Mikaela tersenyum tipis dan mengangguk sambil menerima suapan dari Bik Asih. Tangan gadis itu sibuk menyisir rambutnya dan merias wajah dengan makeup tipis untuk menutupi pucat yang memang sangat ketara. Perut Mikaela sedikit lebih baik karena obat yang diminum satu jam yang lalu. "Non, kalau nanti nggak kuat langsung pulang aja, ya?" "Iya, Bik. Bik Asih tenang aja, Mikaela ini kuat! Lagi pula kalau Mikaela nggak berangkat, bisa-bisa ketinggalan pelajaran terus papa marah-marah." Bik Asih tersenyum paksa. Tangannya kembali menyuapkan bubur terakhir di dalam mangkuk yang dibawa. "Non Mikaela yang sabar, ya? Setelah ini terima saja untuk kuliah di luar negerinya biar Non bebas." Kini giliran Mikaela yang tersenyum paksa. Gadis itu tidak yakin untuk menerima melanjutkan kuliah di luar negeri. Alasannya? Tentu saja Delan. Mikaela tidak akan bisa jauh dari laki-laki itu. Namun, mengingat bahwa dia harus terbiasa tanpa Delan membuat Mikaela kembali memikirkan rencana sang papa. "Minum obatnya dulu, Non." Mikaela pun meletakkan sisirnya, menerima butiran obat berwarna putih itu dan meneguk bersamaan dengan air putih yang Bik Asih berikan. "Bik Asih udah boleh turun kok, Mikaela tinggal siapin jadwal aja." Bik Asih pun menurut. Membawa serta mangkuk dan gelas kosong itu keluar dari kamar Mikaela. "De, gue harus terbiasa tanpa lo." ×××××××
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD