Rindu

1066 Words
Malam gelap membuat Billa menapaki langit hatinya yang kembali mendung setelah melihat seseorang yang dulu telah melukai hatinya. Dia yang meski muncul hanya lewat layar kaca saja. Sepi, dan waktu yang telah ia lewati beberapa tahun tetap saja meninggalkan kepedihan yang mendalam, tak terhapus waktu. . . . RINDU ... Aku selalu merasa rindu entah mengapa, hanya langit yang tahu rasa ini membuat aku membeku hingga tak terbelenggu oleh waktu aku ini bodoh atau apa? aku tak tahu, yang aku tahu hatiku hanya satu hanya akan aku berikan pada yang tulus denganku. Aku akan menunggu meski rasa ini tak terbendung olehku, aku akan menunggu, akan tetap kutitip rindu pada waktu untuk perlahan menghapus rasa rinduku. Tidak sedetik pun waktu membuat aku sungguh-sungguh melupakanmu tidak sedetik pun waktu membuatku menghapus rasa rinduku.... Billa menuliskan kata-katanya pada lembar halaman diary-nya. Tepat pada malam minggu. Malam minggu yang selalu mengingatkannya pada rasa itu. Oh, tapi entah mengapa Billa lalu merobek halaman itu lalu meremasnya dan melempar gumpalannya ke dalam keranjang sampah di sudut kamarnya. "Apa akhirnya akan seperti itu perasaanku ini, terbuang, berakhir dalam keranjang sampah. Tidak akan ada yang tau, dan tidak akan ada yang membaca betapa rapuhnya hatiku," katanya dengan air mata tergenang dan bibir bergetar menatap bulatan kertas di dalam keranjang sampah itu, lalu memejamkan mata untuk beberapa detik hingga genangan air di kelopak matanya mengalir. Billa naik ke atas tempat tidurnya, berharap malam berlalu cepat dan tidur dapat menghapus rasa rindunya yang entah kini harus diberikan pada siapa. Menahan sakit yang kembali menyerang sudut hatinya. __ Di dalam kamarnya, Andini pun tidak bisa tidur memikirkan sahabatnya, Billa. Andini menyalakan lagi lampu tidurnya yang tadi sudah ia padamkan. Ia lalu duduk bersandar di ujung tempat tidurnya kemudian menarik bantal gulingnya untuk kemudian ia peluk erat. Akhirnya ia bisa menemukan jejak masa lalu sahabatnya melalui Kak Anisa. "Gue harus bisa mempertemukan mereka, atau setidaknya mereka bisa berkomunikasi kembali. Meluruskan permasalahan yang dulu." Andini mengangguk pelan, "gue yakin, mereka nggak saling tahu isi hati masing-masing. Kalau pun misalkan Ben nggak mencintai Billa, dia harus tegaskan dengan cara yang baik pada si Billa. Mungkin si Billa bisa mengerti jika Ben bicara baik-baik dan pelan-pelan Billa akan menghapus perasaannya. Mungkin. Ya, kemungkinan memang selalu ada bersama keraguan. Walau pun agak sedikit ragu tapi... tetep aja gue yakin. Gimana sih gue, tadi bilang yakin terus sekarang bilang ragu. Dasar plin-plan!" Andini menepuk jidatnya sendiri. Andini kemudian beranjak dari ujung ranjang menuju keluar kamar. Ia lalu berdiri di pinggir pagar menatap langit malam yang gelap, mengembuskan napas panjang ke udara yang cukup dingin malam ini. Andini terus menatap jauh ke atas sana seolah bisa menembus dan melihat pemilik langit kemudian memohon petunjuk kepada-Nya. Masalah Billa adalah masalahnya, sebagai seorang sahabat yang baik sudah kewajiban baginya untuk bisa membantu sahabatnya itu menemukan kembali kebahagiaannya. __ Pukul lima pagi alarm di kamarnya menjerit nyaring mengagetkan Andini. Ia tak mampu lagi mendengar jeritan itu hingga Andini pun terbangun dari lelapnya. Andini langsung mengatubkan bibirnya yang menganga jika tidurnya terlalu nyenyak, kemudian menggaruk pipinya yang sedikit basah. Astaga Andini ngiler rupanya. Andini yang terbiasa tidur lagi setelah menunaikan solat Subuh namun tidak untuk subuh kali ini. "Ah, gue harus bergerak dari sekarang!" serunya pada diri sendiri. "Jam tujuh pagi gue harus sudah ngejogrok di kampus. Berangkat kuliah lebih cepat. Tapi sebelum gue nyiapin sarapan, terus mandi, beres... siap-siap ke kampus, sekarang mumpung masih subuh gue harus ngelakuin sesuatu." Andini beranjak dari tepi ranjang kemudian menuju meja belajarnya yang ada di sudut kamar. Andini duduk kemudian membuka laptopnya. Ia akan mencari sesuatu dengan menggunakan perangkat itu. "Yang harus gue lakuin sekarang adalah mencari sesuatu yang ada hubungannya dengan acaranya sejuta umat di Indonesia, All About First Love." Kemudian yang Andini lakukan adalah membuka semua sosial media All About First Love. Andini harus merekomendasikan tim dari acara tersebut untuk datang ke kampusnya. Maka ketika ada banyak yang menyetujui Andini, tim dari acara itu akan datang ke kampus Andini untuk siaran langsung di sana. Andini akan datang lebih cepat untuk mengajak teman-teman kampusnya menyetujui permintaannya. Hanya butuh lima pukuh persen suara maka tim dari acara All About First Love pasti akan datang. Ia juga akan men-share ke semua sosial medianya. Selanjutnya ketika sedang sarapan bersama kedua orang tua dan adiknya, Andrean, Andini melirik adik laki-laki satu-satunya itu kemudian ia tersenyum. "Ehm, Dre, Mbak boleh minta bantuan nggak?" "Boleh aja sih, tapi asalkan uang jajan gue tambahin buat beli pulsa, gue mau top-up game, dong Mbak," jawab Andrean. "Top up aja otak lo! gampang deh uang jajan doang mah! berapa, goceng cukup?" "Goceng buat jajan cireng juga kurang!" sahut Andrean. "Ya udah entar deh!" "Sarapan dulu yang bener, elo berdua malah ngedebat duit jajan kayak pejabat sama politikus debat melulu kagak jelas hasilnya," dumal si Babe. "Lagian elo Dre, kayak nggak dikasih uang jajan aja sama Babe sama Umi," protes Umi. "Kurang Mi, jaman sekarang apa aja mahal!" Sahut Andrean. "Elo mah kagak ada cukupnya!" semprot Babe. "Disuruh nyuci angkot satu aja otak lo muter-muter nyari alasan melulu!" "Aye kan anak Babe." "Maksud lo, sifat lo nurun dari gue, huh?!" "Yee, emang dari siapa? dari tetangga? emang Babe nuduh Umi selingkuh sama tetangga waktu jaman ngebuntingin Andre?" semprot Umi yang langsung membuat si Babe mengkeret. "Ya kagak Mi, namanya juga anak jaman sekarang beda ama waktu jamannya kita dulu bukan karena sifat tapi kebiasaan. Otaknya udah dikuasai sama hape!" balas Babe. Andini menyudahi sarapannya karena dia ingin cepat pergi ke kampus. "Ini kenapa jadi pada ribut debat sih, udah Andin berangkat dulu," ia bangkit lalu mencium tangan Babe dan Umi. "Tumben pagi amat?" tanya Umi heran. "Iya Mi, ada kegiatan di kampus. Nanti kalau aye pulang telat pasti ngabarin Umi. Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikumussalam...!" jawab Babe dan Umi. "Ati-ati nyetirnya!" "Iya, Be. Dre, mau bareng nggak, sekalian Mbak omongin yang tadi." "Yuk bareng, males naek angkot Babe, apek!" sahut Andre "s****n ni bocah!" umpat Babe. Andre menyalami tangan kedua orang tuanya kemudian menyusul Andini yang sudah melangkah lebih dulu. "Assalamualaikum!" ucap Andre sambil berlari kecil. "Wa'alaikumussalam!" balas kedua orang tuanya. Kemudian ketika di dalam perjalanan, Andini menjelaskan pertolongan apa yang ingin ia sampaikan kepada Andrean adik Andini yang masih duduk di kelas sepuluh. Andrean pun mengerti dan menyanggupi diri untuk bisa membantu kakaknya, bahkan ia akan meminta bantuan kepada semua teman sekolahnya untuk ikut berpartisipasi menyetujui permintaan Andini di dalam acara itu untuk dapat datang ke kampus tercintanya. __ * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD