Tak Bisa Tanpa Kamu

1120 Words
Sesampainya di gudang barang, Andini berbisik kepada Anisa, "aman, Kak! Kakak mau ngomong apa sih, tentang Billa sampai harus sembunyi-sembunyi segala udah kayak mafia aja," celoteh Andini dengan nada berbisik. "Sini, jangan banyak bacot kalau mau tau tentang Billa," sahut Anisa membawa Andini ke suatu pojok ruang. "Ehm, kemarin si Billa nonton acara First Love ya, kan di rumah kamu." Ekspresi wajah Andini langsung berubah lebih serius dan tampak lebih penasaran lagi. "Iya Kak, yang mau aku omongin juga ada hubungannya dengan acara itu, dengan kejadian kemarin," balasnya excited. "Loh, memangnya dia cerita ke kamu?" Anisa mengerutkan keningnya, kemudian mereka bicara sambil mulai mengambil barang yang akan dibawa keluar. "Justru, karena dia nggak pernah cerita apa-apa makanya aku jadi bingung, Kak." Andini kemudian lebih mendekat lagi kepada Anisa yang berbalik badan dan memandang penuh pada Andini sambil melipat kedua tangannya di d**a setelah meletakkan kotak-kotak nasi pada sebuah meja. "Kamu dulu deh yang cerita, kejanggalan apa yang kamu tangkap dari sikapnya kemarin setelah menonton acara itu?" pinta Anisa dengan sedikit penasaran. "Kak, sikap Billa jadi aneh saat menonton acara kemarin setelah melihat salah satu pesertanya. Terus dia juga..." "Dia kenapa?" "Dia... nangis karena melihat salah satu peserta acara itu yang namanya... Ben..." "Ben Revaldo!" "Iya, itu Kak. Dia sih bilang kalau nangis cuma gara-gara terharu dengan ceritanya doang, tapi ya secara aku udah kenal Billa, ya jelas aku tau ada sesuatu di balik tangisan itu. Aku nggak percaya Kak, kalau misalkan Billa menangis cuma karena terharu. Ditambah lagi setelah nonton acara itu, Billa jadi banyak melamun, seperti sedang membayangkan atau mungkin mengingat-ingat sebuah kejadian masa lalu, gitu." Andini bersandar di sebuah rak barang kemudian lanjut bicara. "Tadi juga nih Kak, pas ada kuis di kelas Billa yang biasanya aktif banget buat ngejawab ini malah bengong nggak jelas." Anisa duduk di ujung meja, "memangnya Billa selama ini nggak pernah curhat soal asmara, atau... tentang cinta pertamanya gitu ke kamu, Din?" pancing Anisa. "Nggak pernah, Kak. Dia bahkan selalu putar haluan tiap kali aku bahas tentang cinta. Apa lagi kalau misalkan aku tanya langsung soal cinta, jangan harap bakal terdengar jawaban satu huruf pun." "Begitulah dia, selalu menyimpan sendiri masalahnya. Kakak sendiri pun sampai kesal membujuknya untuk melupakan si b******k itu!" "b******k? Ben maksud Kakak?" tanya Andini berhati-hati. "Iya, dialah orang pertama yang telah membuat Billa jatuh cinta dan sekaligus membuat Billa hancur." Seperti ada luka tersendiri ketika Anisa mengatakan itu. Andini terkejut dan ekpresinya berubah menjadi makin penasaran. "Jadi, itu sebab yang buat Billa nangis? karena mendengar pernyataan dari mulutnya si Ben itu," Andini mulai merasakan kekesalan juga. "Lalu apa ... firs love yang Ben maksud adalah, Billa, Kak?" Anisa menggeleng pelan, "bukan. Menurut Billa bukan dirinya yang menjadi cinta pertamanya si Ben, karena sebelum Billa bersama dengan Ben, sudah ada seorang cewek yang merupakan kakak kelas Billa yang sudah lama berpacaran dengan Ben, lalu mereka putus dan ada Billa." "Menurut Ben, cinta pertama berbeda dengan pacar pertama, Kak." "Entahlah," jawab Anisa singkat sambil menggedikkan bahunya. "Coba aja kamu jelasin sama sahabat kamu itu, kalau Kakak sih, udah nggak mau nyatuin mereka lagi." "Memangnya kenapa, Kak? Apa segitu menyakitkan ceritanya?" pertanyaan itu membuat Andini kembali penasaran. Anisa menarik napasnya dalam. "Untuk ukuran Nabilla yang sangat lembut dan sensitif hatinya, menurut Kakak itu sangat menyakitkan." "Boleh... aku tau Kak, seperti apa cerita sebenarnya?" "Iya, boleh. Um, waktu itu... belum genap satu minggu mereka berdua pacaran tapi Billa begitu ceria dan bahagia, dia selalu tersenyum dan semangat banget kalau mau pergi ke sekolah, pokoknya dia bahagia banget deh." Kak Anisa menghela napasnya dalam sebelum lanjut bicara. "Dan malam itu..., adalah ketika malam minggu pertamanya, dia merasa senang sekali ketika Ben akan datang ke rumah untuk menemuinya. Tapi ternyata si b******k itu datang hanya untuk memutuskannya. Belum cukup hanya malam itu, esok harinya ketika di sekolah, Billa mendapat perlakuan yang nggak baik dari Ben. Dan yang lebih menyakitkan lagi Ben melakukan itu di depan semua temannya yang kala itu sedang bersama dengannya." "Apa yang Ben lakukan, Kak?" "Ketika Kakak mendatangi sekolah Billa untuk mencari tau kenapa Billa nggak mau ke sekolah, temannya bercerita bahwa Ben sudah mendorong Billa dan menghina Billa dengan kata-kata yang cukup kasar di hadapan semua temannya di sana." "Astaga...!" "Iya, Billa... seperti trauma atau... yeah terlalu patah hati sampai nggak bisa move on dari kejadian di hari itu. Sejak kejadian malam minggu itu, dan kejadian di sekolah itu, Billa menjadi murung,susah makan, dan lebih banyak mengurung diri di dalam kamar. Terkadang dia masih menangis saat malam minggu datang." "Billa nggak percah cerita ke aku hal sebesar ini, Kak?" "Billa nggak cerita ke siapa pun, dia hanya menyimpannya sendiri. Itulah Billa, yeah... paling-paling dia menulis sedikit cerita di lembar diary-nya." "Itulah Billa," kata Andini sambil menengadah satu tangan. Kak Anisa kembali menghela napasnya dalam. "Hhhfff..., untungnya Ayah pindah tugas ke Jakarta. Itu membuat Billa jadi pindah ke sekolah yang jauh dari bayangan si Ben, membuat Billa kembali ke dunianya meski masih dibayang-bayangi oleh si Ben. Dan terima kasih banyak untuk kamu Andini, sejak dekat dengan kamu, Billa semakin ceria. Kakak sayang kamu seperti adik sendiri karena sikap kamu kepada Billa. Kamu yang ceria dan kocak, kamu yang selalu ada di samping Billa." "Aku juga senang bisa bersahabat dengan Billa, dan apalagi bisa jadi adiknya Kak Nisa. Aku bisa bersahabat dengan Billa juga karena sikap Billa yang baik dan tulus. Aku sembarangan pilih sabahat, karena hati yang memilih. Dan ternyata Billa juga sama dengan aku, menyukai ketulusan." "Sifat tulusnya yang diartikan salah oleh Ben itu membuatnya seperti trauma atau sakit hati pada cinta." Andini seperti berpikir lalu bertanya, "Billa udah coba ngejelasin?" Anisa menggeleng. "Menurut Billa kalau memang si Ben itu tulus mencintai dia, dia nggak butuh penjelasan. Dia harus bisa melihat sendiri kebenaran dan perasaan tulus yang ada pada Billa." Andini mengangguk pasti lalu berkata, "sekarang aku udah tau Kak, masalah Billa seperti apa. Dan aku belum menjadi sahabat yang baik jika aku belum bisa membantunya keluar atau pun move on dari masalah itu." "Kamu benar And, bantulah dia sebisamu. Dan Kakak juga akan coba menyadarkannya, bahwa masih banyak laki-laki yang pantas untuk mendapatkan ketulusan hatinya." "Oke Kak, sekarang kita harus cepat mengambil barang yang mau dibawa. Kita sudah terlalu lama di gudang." "Iya benar, itu cepat kamu bawa kotak nasi, biar Kakak bawa yang berat. Ayo kita turun." "Cepat. Sebelum kita dicurigai Billa." Mereka terburu-buru keluar. "Eits!" tiba-tiba Billa muncul dan hampir bertabrakan dengan Andini. "Apa-apaan nih, udah kelamaan di gudang terus sekarang keluar buru-buru. Jadi pingin curiga, deh!" ucap Billa. "Hah, nggak liat nih, orang lagi kerepotan bukannya dibantu malah diprotes!" serang balik Andini dengan mata yang membulat penuh. Anisa yang memperhatikan sikap Andini yang mengelak dari kecurigaan Billa menjadi tersenyum lalu ikut kabur bersama dengan Andini. ... ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD